Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi Vs Alam, Bagaimana Bisnis Bisa Jadi Motor Transisi Menuju Nature-Positive Economy?

Kompas.com, 8 Oktober 2025, 20:01 WIB
Sri Noviyanti

Penulis


KOMPAS.com – Krisis lingkungan global semakin nyata. Data yang dipublikasi Living Planet Report 2024 menunjukkan degradasi lingkungan terjadi pada laju yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan jutaan spesies terancam punah.

Padahal, lebih dari separuh ekonomi dunia atau setara dengan 58 triliun dollar AS, sangat bergantung pada alam, mulai dari air, udara bersih, hingga stabilitas iklim.

Indonesia sebagai negara megabiodiversitas kedua di dunia, menghadapi dilema besar, bagaimana menjaga kekayaan alam sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi?

Baca juga: Bisnis Hijau Belum Massif di Indonesia, GRI Ungkap Sebabnya

Sekitar 40 persen perekonomian nasional masih bergantung pada sumber daya alam. Di sisi lain, eksploitasi berlebihan tanpa kendali justru mengancam modal dasar pembangunan itu sendiri.

Bisnis dan keuangan, pemain penting dalam transisi

Sektor bisnis dan keuangan selama ini kerap dipandang sebagai penyumbang kerusakan lingkungan.

Namun, keduanya justru memegang kunci untuk mempercepat transisi menuju ekonomi yang ramah alam (nature-positive economy).

Chief Conservation Officer WWF-Indonesia Dewi Lestari Yani Rizki memberikan paparan bertajuk Strengthening Economic Resilience through Nature Positive Transition pada gelaran Lestari Summit 2025 yang digelar KG Media di Raffles Hotel Jakarta, Kamis (2/10/2025).

Baca juga: Mengenal Ekonomi Sirkular, Model Bisnis “Hijau” yang Bisa Dorong Keberlanjutan Bisnis

“Karenanya, misi kami di WWF Indonesia adalah kita perlu memanfaatkan kekuatan sektor swasta dan keuangan untuk mendorong transisi menuju masa depan yang tangguh dan berkelanjutan, di mana bisnis dan masyarakat bisa jalan beriringan sekaligus menjaga alam,” ujar Dewi, Kamis.

Ia menegaskan pula bahwa dunia usaha tidak bisa lagi menempatkan konservasi sebagai beban tambahan.

“Konservasi harus dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan biaya. Dengan begitu, bisnis akan tetap relevan dan bertahan dalam jangka waktu panjang,” lanjutnya.

Meski demikian ia tak menampik bahwa tantangan terbesar ada pada pembiayaan. Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia atau Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2025–2045 memperkirakan kebutuhan dana konservasi mencapai Rp 70,69–75,53 triliun per tahun.

Baca juga: Mengenal “Ugly Fruit”, Si Buruk Rupa yang Punya Peluang Ekonomi di Tanah Air

Namun sebagai perbandingan, alokasi APBN 2022 untuk keanekaragaman hayati hanya sekitar Rp 9,85 triliun.

Kesenjangan seperti itu harusnya membuka ruang kolaborasi. Sektor swasta, perbankan, dan investor dapat mengisi kekosongan melalui instrumen inovatif, seperti obligasi hijau (green bonds), pembiayaan berbasis hasil (result-based financing), atau investasi pada solusi berbasis alam (nature-based solutions).

“Pendanaan publik saja tidak cukup. Kami butuh partisipasi sektor keuangan dan dunia usaha untuk menutup kesenjangan pendanaan, sekaligus membuka peluang ekonomi baru yang berbasis pada keberlanjutan,” kata Dewi.

Dari risiko jadi peluang

Sekali lagi Dewi menegaskan bahwa mengabaikan risiko lingkungan berarti juga menutup mata terhadap risiko bisnis.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Investasi Energi Terbarukan Capai Rp 21,64 Triliun, REC Dinilai Bisa Percepat Balik Modal
Investasi Energi Terbarukan Capai Rp 21,64 Triliun, REC Dinilai Bisa Percepat Balik Modal
Pemerintah
PLTP Kamojang Hasilkan 1.326 GWh Listrik, Tekan Emisi 1,22 Juta Ton per Tahun
PLTP Kamojang Hasilkan 1.326 GWh Listrik, Tekan Emisi 1,22 Juta Ton per Tahun
BUMN
Pertamina EP Cepu Dorong Desa Sidorejo Jadi Sentra Pertanian Organik Blora
Pertamina EP Cepu Dorong Desa Sidorejo Jadi Sentra Pertanian Organik Blora
BUMN
Pergerakan Manusia Melampaui Total Migrasi Satwa Liar, Apa Dampaknya?
Pergerakan Manusia Melampaui Total Migrasi Satwa Liar, Apa Dampaknya?
Pemerintah
Tambang Batu Bara Bekas Masih Lepaskan Karbon, Studi Ungkap
Tambang Batu Bara Bekas Masih Lepaskan Karbon, Studi Ungkap
Pemerintah
KKP Pastikan Udang RI Bebas Radioaktif, Kini Ekspor Lagi ke AS
KKP Pastikan Udang RI Bebas Radioaktif, Kini Ekspor Lagi ke AS
Pemerintah
Sampah Plastik “Berlayar” ke Samudra Hindia dan Afrika, Ini Penjelasan Peneliti BRIN
Sampah Plastik “Berlayar” ke Samudra Hindia dan Afrika, Ini Penjelasan Peneliti BRIN
Pemerintah
75 Persen Hiu Paus di Papua Punya Luka, Tunjukkan Besarnya Ancaman yang Dihadapinya
75 Persen Hiu Paus di Papua Punya Luka, Tunjukkan Besarnya Ancaman yang Dihadapinya
LSM/Figur
Jangan Sia-siakan Investasi Hijau China, Kunci Transisi Energi Indonesia Ada di Sini
Jangan Sia-siakan Investasi Hijau China, Kunci Transisi Energi Indonesia Ada di Sini
Pemerintah
Eropa Sepakat Target Iklim 2040, tapi Ambisinya Melemah, Minta Kelonggaran
Eropa Sepakat Target Iklim 2040, tapi Ambisinya Melemah, Minta Kelonggaran
Pemerintah
Human Initiative Gelar Forum Kolaborasi Multipihak untuk Percepatan SDGs
Human Initiative Gelar Forum Kolaborasi Multipihak untuk Percepatan SDGs
Advertorial
Batu Bara Sudah Tidak Cuan, Terus Bergantung Padanya Sama Saja Bunuh Diri Perlahan
Batu Bara Sudah Tidak Cuan, Terus Bergantung Padanya Sama Saja Bunuh Diri Perlahan
Pemerintah
Kisah Nur Wahida Tekuni Songket hingga Raup Cuan di Mancanegara
Kisah Nur Wahida Tekuni Songket hingga Raup Cuan di Mancanegara
LSM/Figur
Startup Biodiversitas Tarik Investor Beragam, Namun Raih Modal Kecil
Startup Biodiversitas Tarik Investor Beragam, Namun Raih Modal Kecil
Pemerintah
FAO Peringatkan Degradasi Lahan Ancam Miliaran Orang
FAO Peringatkan Degradasi Lahan Ancam Miliaran Orang
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau