Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Gula-gula Pasar Karbon Dunia dan Pahitnya bagi Indonesia

Kompas.com, 14 Oktober 2025, 12:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Vicky Arthiando Putra* dan Fiorentina Refani**

KOMPAS.com - Pada 3 Oktober lalu, pemerintah menandatangani kerja sama saling pengakuan atau Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan badan standar karbon Verra.

Sebelum itu, pemerintah juga sudah menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga standar karbon global, seperti Gold Standard, Plan Vivo Foundation, dan Global Carbon Council (GCC). Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia semakin serius masuk ke pasar karbon global.

Sekilas, integrasi ke pasar karbon global ini mungkin tampak menjanjikan. Apalagi, Indonesia adalah negara dengan hutan tropis ketiga terluas di dunia, ditambah dengan bentangan mangrove hingga gambut yang kaya. Ketiga ekosistem ini merupakan salah satu ‘kolam karbon’ terbesar, alias menjaga karbon di Bumi tidak terlepas ke atmosfer dan memperparah perubahan iklim.

Artinya, negara kita sangat potensial sebagai etalase pasar karbon dunia.

Namun, pertaruhan ini sebenarnya amat berisiko bagi Indonesia. Dengan struktur yang masih timpang antara konglomerat dan elit politik dengan rakyat, kita berpotensi terjebak jadi penyedia jasa lingkungan murah untuk menghapus dosa-dosa iklim korporasi multinasional.

Baca juga: Industri Baja Perparah Kerentanan Cilegon Hadapi Krisis Iklim dan Bencana Ekologis

Daripada mengandalkan pasar karbon yang berisiko mempertajam ketimpangan, Indonesia sebaiknya membangun sistem pendanaan lingkungan yang berbasis pajak progresif. Menjelang konferensi iklim COP 30 di Brasil pada November mendatang kita juga bisa mendorong pembiayaan iklim yang lebih adil dan tidak berbasis mekanisme pasar.

Risiko masuk ke pasar karbon global

Ada beberapa faktor yang membuat Indonesia sangat rentan masuk ke dalam pasar karbon internasional.

1. Harga karbon Indonesia sangat murah

Harga kredit karbon kita bahkan 10,5 hingga 25,8 kali lipat di bawah harga internasional.

Murahnya harga karbon membuat perusahaan hanya perlu membayar sedikit uang untuk menebus emisi mereka. Alhasil, perusahaan bakal dengan mudah terus-menerus membeli kredit karbon sebagai kompensasi atas kelebihan karbon yang mereka keluarkan. Mereka enggan beralih ke teknologi rendah karbon atau proyek energi bersih.

Di lain pihak, biaya atas dampak emisi yang tak terhitung dalam harga kredit karbon, seperti cuaca panas, banjir, kebakaran hutan, harus ditanggung negara dan masyarakat setempat secara langsung.

2. Memicu perampasan lahan

Mekanisme pasar karbon berisiko menyulut masifnya perampasan lahan masyarakat adat dan komunitas lokal (Indigenous Peoples and Local Communities). Sebab, wilayah adat bisa dijadikan sasaran proyek konservasi yang dikelola oleh negara atau perusahaan, bukan oleh masyarakat adat itu sendiri.

Apalagi, sampai saat ini kita tidak memiliki kerangka hukum yang secara khusus mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Sudah lebih dari satu dekade RUU Masyarakat Adat mangkrak di parlemen Senayan.

3. Menambah beban keuangan negara

Integrasi ke pasar karbon global memerlukan biaya besar dari kas negara untuk menanggung ongkos sertifikasi, verifikasi, audit, dan mekanisme lain agar perdagangan karbon lebih kredibel dan berkualitas. Semua itu berisiko menjadi beban baru keuangan negara.

Harga kredit karbon Indonesia yang berkisar Rp96 — 144 ribu per ton jauh dari cukup untuk menutupi biaya operasional dan administrasi yang cukup besar dalam perdagangan karbon internasional.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Investasi Energi Terbarukan Capai Rp 21,64 Triliun, REC Dinilai Bisa Percepat Balik Modal
Investasi Energi Terbarukan Capai Rp 21,64 Triliun, REC Dinilai Bisa Percepat Balik Modal
Pemerintah
PLTP Kamojang Hasilkan 1.326 GWh Listrik, Tekan Emisi 1,22 Juta Ton per Tahun
PLTP Kamojang Hasilkan 1.326 GWh Listrik, Tekan Emisi 1,22 Juta Ton per Tahun
BUMN
Pertamina EP Cepu Dorong Desa Sidorejo Jadi Sentra Pertanian Organik Blora
Pertamina EP Cepu Dorong Desa Sidorejo Jadi Sentra Pertanian Organik Blora
BUMN
Pergerakan Manusia Melampaui Total Migrasi Satwa Liar, Apa Dampaknya?
Pergerakan Manusia Melampaui Total Migrasi Satwa Liar, Apa Dampaknya?
Pemerintah
Tambang Batu Bara Bekas Masih Lepaskan Karbon, Studi Ungkap
Tambang Batu Bara Bekas Masih Lepaskan Karbon, Studi Ungkap
Pemerintah
KKP Pastikan Udang RI Bebas Radioaktif, Kini Ekspor Lagi ke AS
KKP Pastikan Udang RI Bebas Radioaktif, Kini Ekspor Lagi ke AS
Pemerintah
Sampah Plastik “Berlayar” ke Samudra Hindia dan Afrika, Ini Penjelasan Peneliti BRIN
Sampah Plastik “Berlayar” ke Samudra Hindia dan Afrika, Ini Penjelasan Peneliti BRIN
Pemerintah
75 Persen Hiu Paus di Papua Punya Luka, Tunjukkan Besarnya Ancaman yang Dihadapinya
75 Persen Hiu Paus di Papua Punya Luka, Tunjukkan Besarnya Ancaman yang Dihadapinya
LSM/Figur
Jangan Sia-siakan Investasi Hijau China, Kunci Transisi Energi Indonesia Ada di Sini
Jangan Sia-siakan Investasi Hijau China, Kunci Transisi Energi Indonesia Ada di Sini
Pemerintah
Eropa Sepakat Target Iklim 2040, tapi Ambisinya Melemah, Minta Kelonggaran
Eropa Sepakat Target Iklim 2040, tapi Ambisinya Melemah, Minta Kelonggaran
Pemerintah
Human Initiative Gelar Forum Kolaborasi Multipihak untuk Percepatan SDGs
Human Initiative Gelar Forum Kolaborasi Multipihak untuk Percepatan SDGs
Advertorial
Batu Bara Sudah Tidak Cuan, Terus Bergantung Padanya Sama Saja Bunuh Diri Perlahan
Batu Bara Sudah Tidak Cuan, Terus Bergantung Padanya Sama Saja Bunuh Diri Perlahan
Pemerintah
Kisah Nur Wahida Tekuni Songket hingga Raup Cuan di Mancanegara
Kisah Nur Wahida Tekuni Songket hingga Raup Cuan di Mancanegara
LSM/Figur
Startup Biodiversitas Tarik Investor Beragam, Namun Raih Modal Kecil
Startup Biodiversitas Tarik Investor Beragam, Namun Raih Modal Kecil
Pemerintah
FAO Peringatkan Degradasi Lahan Ancam Miliaran Orang
FAO Peringatkan Degradasi Lahan Ancam Miliaran Orang
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau