Oleh Vicky Arthiando Putra* dan Fiorentina Refani**
KOMPAS.com - Pada 3 Oktober lalu, pemerintah menandatangani kerja sama saling pengakuan atau Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan badan standar karbon Verra.
Sebelum itu, pemerintah juga sudah menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga standar karbon global, seperti Gold Standard, Plan Vivo Foundation, dan Global Carbon Council (GCC). Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia semakin serius masuk ke pasar karbon global.
Sekilas, integrasi ke pasar karbon global ini mungkin tampak menjanjikan. Apalagi, Indonesia adalah negara dengan hutan tropis ketiga terluas di dunia, ditambah dengan bentangan mangrove hingga gambut yang kaya. Ketiga ekosistem ini merupakan salah satu ‘kolam karbon’ terbesar, alias menjaga karbon di Bumi tidak terlepas ke atmosfer dan memperparah perubahan iklim.
Artinya, negara kita sangat potensial sebagai etalase pasar karbon dunia.
Namun, pertaruhan ini sebenarnya amat berisiko bagi Indonesia. Dengan struktur yang masih timpang antara konglomerat dan elit politik dengan rakyat, kita berpotensi terjebak jadi penyedia jasa lingkungan murah untuk menghapus dosa-dosa iklim korporasi multinasional.
Baca juga: Industri Baja Perparah Kerentanan Cilegon Hadapi Krisis Iklim dan Bencana Ekologis
Daripada mengandalkan pasar karbon yang berisiko mempertajam ketimpangan, Indonesia sebaiknya membangun sistem pendanaan lingkungan yang berbasis pajak progresif. Menjelang konferensi iklim COP 30 di Brasil pada November mendatang kita juga bisa mendorong pembiayaan iklim yang lebih adil dan tidak berbasis mekanisme pasar.
Ada beberapa faktor yang membuat Indonesia sangat rentan masuk ke dalam pasar karbon internasional.
Harga kredit karbon kita bahkan 10,5 hingga 25,8 kali lipat di bawah harga internasional.
Murahnya harga karbon membuat perusahaan hanya perlu membayar sedikit uang untuk menebus emisi mereka. Alhasil, perusahaan bakal dengan mudah terus-menerus membeli kredit karbon sebagai kompensasi atas kelebihan karbon yang mereka keluarkan. Mereka enggan beralih ke teknologi rendah karbon atau proyek energi bersih.
Di lain pihak, biaya atas dampak emisi yang tak terhitung dalam harga kredit karbon, seperti cuaca panas, banjir, kebakaran hutan, harus ditanggung negara dan masyarakat setempat secara langsung.
Mekanisme pasar karbon berisiko menyulut masifnya perampasan lahan masyarakat adat dan komunitas lokal (Indigenous Peoples and Local Communities). Sebab, wilayah adat bisa dijadikan sasaran proyek konservasi yang dikelola oleh negara atau perusahaan, bukan oleh masyarakat adat itu sendiri.
Apalagi, sampai saat ini kita tidak memiliki kerangka hukum yang secara khusus mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Sudah lebih dari satu dekade RUU Masyarakat Adat mangkrak di parlemen Senayan.
Integrasi ke pasar karbon global memerlukan biaya besar dari kas negara untuk menanggung ongkos sertifikasi, verifikasi, audit, dan mekanisme lain agar perdagangan karbon lebih kredibel dan berkualitas. Semua itu berisiko menjadi beban baru keuangan negara.
Harga kredit karbon Indonesia yang berkisar Rp96 — 144 ribu per ton jauh dari cukup untuk menutupi biaya operasional dan administrasi yang cukup besar dalam perdagangan karbon internasional.
Di sisi lain, masalah teknis seperti sistem pelaporan hingga protokol transfer karbon antarnegara membutuhkan kesiapan lembaga, infrastruktur, dan sumber daya manusia.
Sementara itu, partisipasi publik di Indonesia dalam pemantauan dan pelaporan pelanggaran (grievance mechanism) masih sangat lemah. Tanpa pemantauan publik, skema ini akan menimbulkan celah kebijakan dan justru mengabaikan hak komunitas yang hidup serta menggantungkan penghidupan di dalamnya.
Baca juga: Ratusan Juta Terancam Jadi Pengungsi Iklim, Indonesia Perlu UU yang Berpihak pada Publik
Dengan silang-sengkarut kebijakan lingkungan di dalam negeri serta lemahnya dukungan fiskal, berbagai risiko harus ditakar oleh Indonesia. Jangan sampai skema ini justru menjadi beban baru yang harus ditanggung oleh uang rakyat.
Dan lagi-lagi, masyarakat adat rentan semakin terpinggirkan. Sementara pihak yang justru paling diuntungkan adalah kelompok superkaya yang meraup cuan dari sektor-sektor seperti tambang, minyak, dan gas—penyumbang terbesar emisi karbon.
Ketimbang mengandalkan pasar karbon yang mempertajam ketimpangan, ada banyak pilihan pembiayaan iklim lainnya yang lebih adil bagi masyarakat, sekaligus memastikan kelompok superkaya menanggung kerusakan yang mereka timbulkan.
Dari dalam negeri, ada opsi mencari pendanaan dari pajak. CELIOS memperkirakan setidaknya ada sekitar Rp524 triliun yang bisa didapatkan dari implementasi pajak progresif, salah satunya pajak karbon dari perusahaan penghasil emisi besar.
Semakin banyak karbon yang dikeluarkan oleh perusahaan, maka semakin besar pula pajak yang dikenakan. Kebijakan ini lebih adil sekaligus efektif menjadi salah satu instrumen untuk menekan emisi yang dihasilkan oleh sektor padat karbon.
Menjelang COP30, negara-negara Global South seperti Indonesia, semestinya tidak fokus pada mekanisme pasar karbon. Fokuslah pada pembiayaan berbasis kinerja yang menuntut kompensasi nyata untuk menjaga hutan dan lingkungan.
Salah satunya dengan mendorong Tropical Forest Forever Facility (TFFF) yang rencananya bakal diluncurkan di COP 30.
TFFF memungkinkan adanya insentif tetap bagi negara pemilik hutan tropis yang berhasil menjaga hutannya. Rencananya konsep ini akan mengalokasikan minimal 20% dana langsung kepada masyarakat adat dan komunitas lokal selaku penjaga hutan.
Indonesia menjadi salah satu negara yang dinyatakan eligible dalam mendapatkan pendanaan ini. Tapi sayangnya, sampai saat ini, pemerintah belum merespons ajakan untuk bergabung dalam TFFF dan malah sibuk berjualan karbon.
* Researcher, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
** Director of Socio-Bioeconomy Studies, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
Baca juga: Gen Z Bisa Bergerak Lawan Krisis Iklim, Jangan Sampai Jadi Lost Generation
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya