KOMPAS.com - Kalimantan Timur berpotensi menjadi beranda depan untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan pusat industri hijau berkelanjutan.
Namun, mewujudkan hal ini tidaklah mudah karena transisi energi membutuhkan pengelolaan pada sisi permintaan (demand) yang baik sekaligus memastikan ketersediaan pasokan (supply).
Dari sisi pasokan, Kaltim memiliki potensi energi primer atau bersumber dari alam (EBT dan non-EBT) yang mencapai 400 gigawatt (GW). Sementara dari sisi permintaan, Kaltim bisa mengembangkan pusat industri berat yang haus energi.
Di sisi lain, pengembangan pembangkit listrik EBT sebagai bagian dari transisi energi di Kaltim memiliki beberapa kendala.
Pertama, ketergantungan ekonomi terhadap kegiatan penambangan dan ekspor batu bara. Kedua, keterbatasan infrastruktur dan jaringan listrik untuk EBT. Ketiga, kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati akibat pertambangan. Keempat, ketidakpastian kebijakan dan kurangnya insentif yang mendukung. Kelima, kesenjangan keterampilan dan rendahnya partisipasi masyarakat.
Menurut Deputi Bidang Infrastruktur Kementerian PPN/Bappenas, Abdul Malik Sadat Idris, Sumatera Utara yang membangun pembangkit listrik terintegrasi dengan kawasan pelabuhan dan industri peleburan menjadi contoh praktik terbaik yang bisa ditiru Kaltim.
Baca juga: IESR Desak Reformasi Pengadaan EBT, Lancarkan Transisi Energi yang Tersendat
"Kaltim dapat menggabungkan sumber energi berbeda dari batu bara dan air untuk dijadikan tulang punggung pembangunan," ujar Malik dalam webinar, Selasa (14/10/2025).
Berdasarkan data Bappenas, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Kaltim memiliki potensi mencapai 1.282 megawatt (MW). Sedangkan potensi lainnya adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kaltim dengan 450 MW dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) hanya 17 MW.
Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim, Sri Wahyuni, mengakui sektor migas dan pertambangan mineral masih menjadi tulang punggu perekonomian Kaltim.
Namun, ketergantungan terhadap sumber daya alam (SDA) berkurang secara bertahap seiring dengan meningkatnya kontribusi sektor lain, terutama industri pengolahan.
Selain itu, peralihan dari sektor migas dan pertambangan mineral ke industri hijau berkelanjutan di Kaltim telah dicanangkan sejak 15 tahun lalu.
"Dua gubernur yang sebelumnya sudah mencanangkan program Kaltim Hijau. Dari program itu diturunkan ke RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), kemudian ke Renstra (Rencana Strategis), sehingga yang berkaitan dengan aktivitas ramah lingkungan itu sudah berjalan," tutur Sri.
Salah satu aktivitas ekonomi ramah lingkungan di Kaltim adalah program Forest Carbon Facilities Carbon Fund (FCPF) untuk mendapatkan keuntungan dari pengurangan emisi CO2.
Lewat kerja sama dengan Bank Dunia, FCPF meraup 110 juta dolar AS. Setelah program FCPF berakhir tahun ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim tetap akan melakukan perdagangan karbon dengan menggaet sektor swasta.
"Kebetulan kami punya akses kurang lebih 4 juta karbon dan sudah banyak peminatnya yang mau transaksi, tapi dengan rate yang berbeda-beda, ada dari Amazon, juga ada dari Uni Eropa," ucapnya.
Selain perdagangan karbon, Pemprov Kaltim melirik potensi energi baru terbarukan (EBT) dari proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Kata dia, sudah ada 15 investor yang tertarik membangun proyek PLTSa di Balikpapan.
"Masalahnya, ada perusahaan menginginkan produksi 1.000 ton per hari. Sedangkan kapasitas di Balikpapan hanya 600 ton. Perusahaan lain hanya mampu 600 ton saja untuk menghasilkan energi. Dalam waktu dekat, kami akan mengumpulkan Kota Samarinda, Balikpapan, Kutai Kertanegara agar kerja sama antar daerah ini dapat memperkuat investasi pengelolaan sampah, sehingga Balikpapan tidak sendiri," ujar Sri.
Baca juga: Kaltim Menuju Dunia, Sangkulirang–Mangkalihat Jadi Taman Bumi Perdana
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya