Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Faisal
Dosen

The author of this article serves as a lecturer and a researcher in Governance, Risk Management, and Sustainability at YARSI University in Jakarta.

Energi Bersih: Mimpi Besar atau Janji Kosong Indonesia?

Kompas.com, 15 Oktober 2025, 21:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

TRANSISI energi sedang menjadi perlombaan global. Banyak negara mulai meninggalkan bahan bakar fosil menuju energi bersih demi menyelamatkan iklim. Namun, jalan menuju energi hijau tidak pernah mudah.

Negara-negara demokratis sering tersendat oleh tarik-menarik kepentingan politik, birokrasi, dan kebijakan yang berubah-ubah. Sebaliknya, rezim otoriter seperti Tiongkok bisa bergerak cepat membangun infrastruktur hijau, meski kerap mengabaikan aspek keadilan sosial dan lingkungan. Pertanyaannya, di mana posisi Indonesia?

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dengan cadangan nikel terbesar dan potensi energi terbarukan yang melimpah, Indonesia punya modal besar untuk menjadi pemain utama dalam transisi energi global.

Namun, realitas di lapangan jauh lebih rumit. Target ambisius net zero emission pada 2060 kerap terbentur dengan ketergantungan pada batu bara, investasi hijau yang stagnan, serta kebijakan yang tidak konsisten. Hilirisasi nikel yang digadang-gadang sebagai jalan keluar pun masih sarat dilema karena sebagian besar smelter tetap bergantung pada listrik dari PLTU batu bara.

Baca juga: Tambang Nikel Raja Ampat: Ironi Narasi Transisi Energi Hijau

Tantangan lain datang dari kebijakan energi yang rentan berubah setiap kali pemilu berlangsung. Investor ragu apakah komitmen hari ini akan tetap berlaku lima tahun mendatang. Skema harga karbon dan Just Energy Transition Partnership (JETP) pun sering terganjal koordinasi antar-pemerintah.

Di sisi lain, regulasi pajak dan bursa karbon sudah ada, tetapi implementasinya jalan di tempat karena pemerintah khawatir dampaknya pada harga listrik dan daya saing industri. Selama tidak ada aturan harga yang tegas, perusahaan akan tetap merasa lebih murah menggunakan energi kotor, sehingga transisi ke energi bersih jalan di tempat.

Kita juga tertinggal dalam riset dan inovasi. Potensi geotermal, bioenergi, dan energi laut besar, tetapi dukungan riset minim. Indonesia lebih sering menjadi pembeli teknologi asing ketimbang pencipta solusi lokal.

Baca juga: PLN Tambah 69,5 GW Listrik, Mayoritas dari Energi Hijau

Hambatan birokrasi menambah pelik situasi. Pembangunan energi terbarukan seperti PLTS dan panas bumi terhambat oleh izin yang berlapis, aturan yang tumpang tindih, hingga proses lahan yang berlarut.

Di ranah internasional, Indonesia mulai bekerja sama dengan Barat lewat JETP sekaligus menerima investasi masif dari Tiongkok. Tantangannya adalah memastikan kerja sama ini benar-benar mendukung agenda nasional, bukan sekadar melayani kepentingan asing.

Solusinya jelas: Indonesia butuh kebijakan energi jangka panjang yang tahan terhadap pergantian pemerintahan, misalnya dengan mengikatnya dalam undang-undang atau lembaga independen.

Hilirisasi harus benar-benar hijau dengan pasokan energi terbarukan, bukan batu bara. Implementasi harga karbon perlu dipercepat secara bertahap, disertai insentif bagi industri yang mau bertransformasi. Anggaran riset mesti ditingkatkan dengan fokus pada keunggulan lokal, sementara birokrasi harus dipangkas dengan sistem satu pintu yang sederhana.

Baca juga: Potensi Energi Hijau RI Capai 3.700 Gigawatt, Baru 1 Persen Dimanfaatkan

Posisi geopolitik Indonesia sebaiknya digunakan secara strategis untuk memperkuat kedaulatan energi, bukan menggadaikannya. Pada akhirnya, yang paling menentukan dalam transisi energi Indonesia bukanlah tarik-menarik politik, melainkan kemampuan menjaga konsistensi di tengah dinamika dan kerumitan yang ada.

Jika mampu menjaga kesinambungan kebijakan dan menata kepentingan jangka panjang, Indonesia bisa menjadi teladan bagi negara berkembang lain bahwa demokrasi, ekonomi, dan keberlanjutan dapat berjalan seiring.

Dari negeri yang pernah dikenal sebagai pengekspor nikel mentah, kita berpeluang tampil sebagai pelopor energi hijau di Asia Tenggara dan sejarah akan mencatat, apakah kita memilih jalan konsistensi, atau kembali tersesat di persimpangan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau