TRANSISI energi sedang menjadi perlombaan global. Banyak negara mulai meninggalkan bahan bakar fosil menuju energi bersih demi menyelamatkan iklim. Namun, jalan menuju energi hijau tidak pernah mudah.
Negara-negara demokratis sering tersendat oleh tarik-menarik kepentingan politik, birokrasi, dan kebijakan yang berubah-ubah. Sebaliknya, rezim otoriter seperti Tiongkok bisa bergerak cepat membangun infrastruktur hijau, meski kerap mengabaikan aspek keadilan sosial dan lingkungan. Pertanyaannya, di mana posisi Indonesia?
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dengan cadangan nikel terbesar dan potensi energi terbarukan yang melimpah, Indonesia punya modal besar untuk menjadi pemain utama dalam transisi energi global.
Namun, realitas di lapangan jauh lebih rumit. Target ambisius net zero emission pada 2060 kerap terbentur dengan ketergantungan pada batu bara, investasi hijau yang stagnan, serta kebijakan yang tidak konsisten. Hilirisasi nikel yang digadang-gadang sebagai jalan keluar pun masih sarat dilema karena sebagian besar smelter tetap bergantung pada listrik dari PLTU batu bara.
Baca juga: Tambang Nikel Raja Ampat: Ironi Narasi Transisi Energi Hijau
Tantangan lain datang dari kebijakan energi yang rentan berubah setiap kali pemilu berlangsung. Investor ragu apakah komitmen hari ini akan tetap berlaku lima tahun mendatang. Skema harga karbon dan Just Energy Transition Partnership (JETP) pun sering terganjal koordinasi antar-pemerintah.
Di sisi lain, regulasi pajak dan bursa karbon sudah ada, tetapi implementasinya jalan di tempat karena pemerintah khawatir dampaknya pada harga listrik dan daya saing industri. Selama tidak ada aturan harga yang tegas, perusahaan akan tetap merasa lebih murah menggunakan energi kotor, sehingga transisi ke energi bersih jalan di tempat.
Kita juga tertinggal dalam riset dan inovasi. Potensi geotermal, bioenergi, dan energi laut besar, tetapi dukungan riset minim. Indonesia lebih sering menjadi pembeli teknologi asing ketimbang pencipta solusi lokal.
Baca juga: PLN Tambah 69,5 GW Listrik, Mayoritas dari Energi Hijau
Hambatan birokrasi menambah pelik situasi. Pembangunan energi terbarukan seperti PLTS dan panas bumi terhambat oleh izin yang berlapis, aturan yang tumpang tindih, hingga proses lahan yang berlarut.
Di ranah internasional, Indonesia mulai bekerja sama dengan Barat lewat JETP sekaligus menerima investasi masif dari Tiongkok. Tantangannya adalah memastikan kerja sama ini benar-benar mendukung agenda nasional, bukan sekadar melayani kepentingan asing.
Solusinya jelas: Indonesia butuh kebijakan energi jangka panjang yang tahan terhadap pergantian pemerintahan, misalnya dengan mengikatnya dalam undang-undang atau lembaga independen.
Hilirisasi harus benar-benar hijau dengan pasokan energi terbarukan, bukan batu bara. Implementasi harga karbon perlu dipercepat secara bertahap, disertai insentif bagi industri yang mau bertransformasi. Anggaran riset mesti ditingkatkan dengan fokus pada keunggulan lokal, sementara birokrasi harus dipangkas dengan sistem satu pintu yang sederhana.
Baca juga: Potensi Energi Hijau RI Capai 3.700 Gigawatt, Baru 1 Persen Dimanfaatkan
Posisi geopolitik Indonesia sebaiknya digunakan secara strategis untuk memperkuat kedaulatan energi, bukan menggadaikannya. Pada akhirnya, yang paling menentukan dalam transisi energi Indonesia bukanlah tarik-menarik politik, melainkan kemampuan menjaga konsistensi di tengah dinamika dan kerumitan yang ada.
Jika mampu menjaga kesinambungan kebijakan dan menata kepentingan jangka panjang, Indonesia bisa menjadi teladan bagi negara berkembang lain bahwa demokrasi, ekonomi, dan keberlanjutan dapat berjalan seiring.
Dari negeri yang pernah dikenal sebagai pengekspor nikel mentah, kita berpeluang tampil sebagai pelopor energi hijau di Asia Tenggara dan sejarah akan mencatat, apakah kita memilih jalan konsistensi, atau kembali tersesat di persimpangan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya