JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah tengah menyiapkan mekanisme pengawasan karbon, yang mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional.
Aturan ini sekaligus mengantikan Perpres Nomor 98 tahun 2021. Menurut Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, pihaknya saat ini tengah berupaya meningkatkan keunggulan dan integritas perdagangan karbon dalam negeri.
"Integritas artinya karbon ini harus benar, tidak boleh ada fraud. Mudah-mudahan tidak dalam waktu yang terlalu lama, kami dengan Jaksa Agung bisa merumuskan langkah-langkah operasional yang memang diperlukan untuk menjaga penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon dalam sisi voluntary maupun complience," kata Hanif ditemui di Jakarta Selatan, Rabu (15/10/2025).
Baca juga: Oil Change International: Jepang Lakukan Kolonialisme Karbon di Asia Tenggara lewat Teknologi Gagal
Dia menyatakan, NEK tak bisa dijalankan dengan main-main. Penurunan integritas akan berdampak langsung terhadap kepercayaan publik dan investor terhadap kredibilitas karbon Indonesia.
Oleh sebab itu, KLH bersama Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) menyusun mekanisme safeguard guna memastikan setiap sertifikat perdagangan karbon yang diterbitkan terbukti menurunkan emisi gas rumah kaca.
"Kita wajib hati-hati, sekali kita kemudian ketahuan curang maka nilai ekonomi karbon itu tidak ada harganya," tutur dia.
Hanif menyatakan, adanya instrumen pengawasan diperlukan sebab pemerintah sudah menandatangani Persetujuan Saling Pengakuan atau Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan badan standar karbon global Verra, Global Carbon Council, Plan Vivo, dan Gold Standard, dan memiliki Letter of Intent dengan Puro Earth.
Dalam kesempatan itu, dia mengungkapkan Perpres 110 Tahun 2025 membawa perubahan signifikan dalam upaya pemenuhan kebutuhan pendanaan. Setidaknya dibutuhkan Rp 700 triliun untuk mencapai target penurunan emisi nasional.
Baca juga: Gula-gula Pasar Karbon Dunia dan Pahitnya bagi Indonesia
"Maka voluntary carbon market juga dibuka di dalam Peraturan Presiden ini. Nanti Utusan Khusus Kepresidenan akan menjelaskan kepada kami, rencananya kami akan mengundang seluruh kementerian lembaga untuk melakukan sosialisasi perdana (Perpres baru)," ucap Hanif.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Asep Nana Mulyana, menyatakan keberhasilan penyelenggaraan NEK bergantung pada kepercayaan publik dan kepastian hukum.
"Investor, mitra internasional, maupun pelaku usaha hanya akan berpartisipasi jika mereka percaya bahwa setiap ton karbon yang dihasilkan di Indonesia benar-benar mencerminkan pengurangan emisi yang nyata dan berinteres tinggi," jelas Asep.
NEK merupakan isu yang sangat kompleks dengan modus operasi yang beragam. Kejahatan karbon acap kali berkaitan dengan tindak pidana lain seperti kehutanan, lingkungan, perpajakan, pasar modal, perlindungan konsumen, korupsi, hingga pencucian uang.
Karenanya, aparat penegak hukum dituntut memahami secara mendalam ekosistem maupun mekanisme NEK.
"Jaksa dalam sistem tindak pidana dan tata usaha negara memegang kunci untuk memastikan bahwa seluruh proses penanggakan Nilai Ekonomi Karbon berjalan sesuai dengan empat prinsip utama hukum," tutur dia.
Prinsip kepastian hukum diperlukan agar setiap kegiatan penyelenggaraan NEK, termasuk verifikasi registrasi serta transaksi kredit karbon dilaksanakan sesuai ketentuan hukum dan bebas dari penyimpangan.
Baca juga: Norwegia Cetak Sejarah, Jadi yang Pertama Kubur Emisi Karbon ke Bawah Laut
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya