JAKARTA, KOMPAS.com – Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tidak semestinya hanya dilihat sebagai tahap awal dari pendidikan formal, melainkan sebagai fondasi yang membentuk cara anak memahami dunia.
Pendekatan PAUD yang kontekstual menjadi penting agar anak-anak belajar bukan dengan cara yang seragam dan hierarkis, melainkan melalui pengalaman yang relevan dengan kehidupan mereka sendiri.
Hal ini mengemuka dalam Annual Early Childhood Care Education and Parenting Regional Forum yang diselenggarakan oleh SEAMEO CECCEP (Southeast Asian Ministers of Education Organization Centre for Early Childhood Care Education and Parenting) di Jakarta, Rabu (15/10/2025).
Baca juga: Perkuat Kerja Sama Pendidikan, Kampus Ukraina Angkat Dubes Arief Muhammad Jadi Profesor Kehormatan
Forum tahunan bertema “Strengthening Parenting for Holistic Integrative Early Childhood Development” ini menegaskan pentingnya penguatan pengasuhan dalam kerangka PAUD Holistik Integratif (PAUD HI) di kawasan Asia Tenggara.
Direktur SEAMEO CECCEP, Prof. Vina Adriany menekankan bahwa PAUD yang kontekstual dapat membantu melepaskan cara pandang hierarkis terhadap pengetahuan, di mana anak dianggap sebagai penerima pasif informasi dari orang dewasa.
“Pendekatan ini mengembalikan makna belajar pada nilai-nilai kepedulian, keadilan, dan saling ketergantungan,” ujar Vina. “Dengan begitu, pendidikan anak usia dini menjadi ruang tumbuh yang menghargai pengalaman lokal dan budaya, bukan sekadar meniru model dari luar,” jelas Vina dalam keterangan resminya, Kamis.
Selain soal pendekatan pembelajaran, forum ini juga menyoroti pentingnya penguatan praktik pengasuhan yang terintegrasi dan holistik. Pengasuhan yang baik tak hanya urusan keluarga, tetapi juga tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali, menegaskan bahwa 90 persen perkembangan otak anak terjadi sebelum usia enam tahun.
“Investasi pada pendidikan anak usia dini adalah langkah strategis membangun masa depan bangsa. Namun, keberhasilannya bergantung pada ekosistem pengasuhan dan kesehatan yang kuat,” ujarnya.
Baca juga: Kolaborasi SIS dan Cambridge, Wujudkan Pendidikan Internasional yang Inklusif dan Terjangkau
Masih banyak tantangan yang dihadapi, seperti terbatasnya layanan penitipan anak yang aman dan terjangkau, belum optimalnya kebijakan cuti ayah, hingga masih ditemukannya praktik disiplin yang menggunakan kekerasan.
Forum ini menekankan perlunya advokasi dan kolaborasi lintas sektor agar sistem pengasuhan mampu menopang tumbuh kembang anak secara optimal.
Country Head Tanoto Foundation Indonesia Inge Kusuma, menambahkan bahwa hanya sepertiga anak di Indonesia yang terlayani PAUD. Menurutnya, hal ini menunjukkan masih lemahnya kesadaran kolektif akan pentingnya masa awal kehidupan anak.
“Orang tua adalah jembatan antara langkah pertama seorang anak dan perjalanan panjang hidupnya. Tapi mereka tidak bisa berjalan sendiri,” kata Inge.
“Diperlukan ekosistem yang saling mendukung antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah agar pengasuhan menjadi lebih berdaya,” lanjut dia.
Pendekatan disiplin positif pun menjadi bagian penting dari transformasi tersebut. Alih-alih menghukum, anak didorong untuk memahami konsekuensi dan belajar dari setiap tindakan.
Paradigma bahwa pengasuhan adalah tanggung jawab ibu semata juga mulai bergeser menjadi tanggung jawab bersama.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya