Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prabowo Teken Perpes 110 Tahun 2025, Disebut Bisa Percepat Investasi Hijau

Kompas.com, 21 Oktober 2025, 09:17 WIB
Zintan Prihatini,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Prabowo Subianto resmi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 pada 10 Oktober 2025 lalu. Hal ini dinilai sebagai tonggak penting perjalanan ekonomi hijau Indonesia.

Menurut Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, Perpres tersebut merupakan komitmen pemerintah untuk membangun pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat.

“Perpres Nomor 110 Tahun 2025 ini menjadi tonggak penting dalam mempercepat investasi hijau, memperkuat green growth, serta memaksimalkan kontribusi Indonesia terhadap target iklim nasional dan global,” kata Raja Juli dalam keterangannya, Senin (20/10/2025).

Adapun Perpres Nomor 110 Tahun 2025 mengatur tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional. Raja Juli menjelaskan, melalui Perpres 110/2025 sektor kehutanan berada pada posisi strategis dalam menyediakan kredit karbon bernilai ekonomi tinggi.

Baca juga: Bappenas: Alokasi Dana Mitigasi Iklim Baru Rp 305 T, Pemerintah Buka Investasi

Raja Juli menyebut, masyarakat bisa mengelola hutan lewat skema perhutanan sosial dan program rehabilitasi lahan kritis. Karenanya, Kemenhut menyiapkan regulasi turunan antara kain Peraturan Menteri (Permen) yang akan memperkuat tata kelola pasar karbon nasional.

Empat regulasi yang disiapkan mencakup revisi Permen LHK Nomor 7 Tahun 2023, Permen LHK Nomor 8 Tahun 2021, Permen LHK Nomor 9 Tahun 2021, serta rancangan Permen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem tentang pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi.

“Kami pastikan pelaksanaan Perpres berjalan transparan, kredibel, dan berintegritas tinggi. Semua proses akan disinergikan dengan standar global agar Indonesia menjadi pusat pengembangan pasar karbon dunia,” ucap Raja Juli.

Perpres 110/2025 dinilai membuka peluang besar bagi pengembangan nature-based solutions (NbS) seperti reforestasi, restorasi mangrove, serta aforestasi. Dengan begitu, unit karbon dari proyek kehutanan dapat diperjualbelikan di pasar karbon domestik maupun internasional.

Baca juga: Nilai Ekonomi Karbon: Jangan Jadi Komoditas Baru yang Hijau di Atas Kertas

Berdasarkan BloombergNEF, potensi NEK sektor kehutanan Indonesia mencapai 7,7 miliar dollar AS atau Rp 119,35 triliun per tahun dengan asumsi rata-rata harga 15 dollar AS per ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

“Sektor kehutanan kini bukan hanya penjaga ekosistem, tapi juga penggerak utama ekonomi hijau nasional. Inilah era baru di mana pohon yang tumbuh juga berarti ekonomi rakyat yang ikut tumbuh,” kata dia.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau