JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Essential Services Reform (IESR) menuntut pemerintah Indonesia penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan skala yangambius dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mencegah bencana iklim global.
IESR juga mendesak pemerintah Indonesia segera menyerahkan Second NDC kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), sebelum Conference of the Parties (COP) 30 berlangsung pada November 2025.
Second NDC adalah dokumen komitmen iklim terbaru Indonesia yang akan memperbarui Enhanced NDC (ENDC) sebelumnya, berisi target mitigasi (pengurangan emisi) dan adaptasi (peningkatan ketahanan) terhadap perubahan iklim untuk periode 2031–2035
"Acuan kami adalah draft Second NDC yang tahun lalu sudah pernah dikeluarkan. Dan sepengetahuan saya, mungkin nggak terlalu banyak berubah, hanya target yang berubah. Tapi, beberapa aspeknya sudah mungkin mirip," ujar Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Baca juga: IESR Desak Reformasi Pengadaan EBT, Lancarkan Transisi Energi yang Tersendat
IESR menilai terdapat beberapa kemajuan dalam draf Second NDC yang dikomunikasikan National Focal Point pada 2024 lalu.
Di antaranya, peningkatan target penurunan emisi dibandingkan Enhanced NDC (ENDC), perubahan baseline ke tingkat referensi emisi tahun 2019, perluasan cakupan GRK dengan mengakomodir hidrofluorokarbon (HFC), serta mencakup sub sektor kelautan dan hulu migas.
"Penurunan emisinya berdasarkan tahun referensi pada 2019 itu lebih bagus dan lebih mudah untuk kami mengukur keberhasilannya. Kalau sekarang, pemerintah itu bisa berbicara bahwa emisinya sudah ambisius, sudah tercapai, enggak perlu ngapa-ngapain juga akan tetap tercapai. Karena referensinya dari proyeksi masa depan, yang belum tentu proyeksinya benar," ucapnya.
Selain itu, draf Second NDC juga memasukkan target nir-sampah pada 2040 dan menambahkan prinsip transisi berkeadilan. Namun, target dan aksi iklim dalam draf tersebut belum selaras dengan Persetujuan Paris.
Menurut Fabby, target bersyarat (conditional) dan tidak bersyarat (unconditional) dalam draf Second NDC belum konsisten dengan pembatasan kenaikan temperatur di bawah 2°C sesuai tujuan Persetujuan Paris.
Target tidak bersyarat masih memungkinkan peningkatan emisi hingga pertengahan abad ini. Sedangkan target bersyarat baru menunjukkan upaya penurunan signifikan setelah 2035.
Penundaan aksi iklim ke periode setelah 2035 akan menimbulkan risiko teknis dan biaya ekonomi yang mahal, tidak efisien, serta menghambat ambisi pemerintahan untuk mencapai target Indonesia Emas 2045 yang memerlukan pertumbuhan ekonomi konsisten di atas 6,5 persen per tahun.
Baca juga: IESR : Metana Sektor Energi Belum Terkontrol, Indonesia Harus Bergerak Lebih Cepat
"Terlepas dari itu (beberapa perbaikan), menurut kami tetap tidak sejalan dengan target Perjanjian Paris. Jadi, dengan tingkat emisi yang ingin dicapai pada tahun 2035, masih belum sejalan dengan target Perjanjian Paris yang ingin mencapai di bawah 2°C. Jadi, yang tidak bersyarat, namanya unconditional itu masih lebih tinggi ya dan ini membuat emisi 2050 nanti akan terus naik. Kalau misalnya kalau masih terus seperti sekarang," tutur Fabby.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya