KOMPAS.com - Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 110/2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional.
Aturan tersbeut menjadi tonggak baru karena mengakui semua jenis pasar karbon, baik sukarela (voluntary carbon market/VCM), wajib (mandatory), pembayaran berbasis kinerja (result-based payment), pajak karbon, maupun instrumen lainnya.
Lebih dari itu, Perpres ini juga mengantisipasi tumpang tindih proyek karbon yang kerap terjadi antar-sektor dan antar-lembaga di lokasi yang sama.
Misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup (LH) mengelola limbah, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengurus kegiatan industri, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menangani aspek energi.
"Itu saja dalam satu site tuh, kalau kita mau kreditkan itu jadi kredit karbon semuanya. Itu sudah bisa, beda-bedakan. Di dalam Perpres terbaru ini, itu dimasukkan dalam salah satu pasal yang terkait dengan multi sektor dan lintas sektor dalam satu site," ujar Climate & Energy Economics Researcher CSIS, Ardhi Wardhana, kepada Kompas.com, Senin (20/10/2025).
Ardhi menjelaskan, Perpres No. 110/2025 juga menyinggung masalah perhutanan sosial dan hutan adat, termasuk biaya sertifikasi yang selama ini memberatkan. Namun, ia menegaskan, keberhasilan implementasi aturan ini bergantung pada detail teknis di peraturan turunannya.
"Tapi, again, the devil's in the details kan sebetulnya, gimana caranya di level bawah, di Permen itu menerapkan hal-hal yang lebih operasional. Jadi, yang harus dikawal dari organisasi masyarakat sipil dan lembaga think tank itu (penyusunan Permen)," tuturnya.
Beberapa Peraturan Menteri (Permen) disebut perlu disesuaikan, antara lain Permen LH No. 21, Permen ESDM No. 16, dan Permen Kehutanan No. 7, 8, dan 9.
Perpres ini juga memberi kewenangan penuh kepada Kementerian LH untuk memastikan pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC), termasuk melalui pemberian otorisasi dan corresponding adjustment bagi unit karbon yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban internasional di bawah Artikel 6 Perjanjian Paris.
Baca juga: KLH Perluas Perdagangan Karbon Global, Gandeng Global Carbon Council dan Plan Vivo
Dengan demikian, pasar karbon sukarela tidak akan mempengaruhi pencapaian NDC selama tidak ada corresponding adjustment.
Jika penyesuaian tersebut dibutuhkan, kata Ardhi, Kementerian LH berperan memastikan bahwa mitigasi GRK dan manfaat ekonomi dari perdagangan karbon tetap seimbang.
Kasus tumpang tindih proyek karbon di Bujang Raba, Jambi, menjadi pelajaran penting bagi penyusunan Perpres baru ini. Kala itu, proyek komunitas Bujang Raba berbenturan dengan BioCarbon Fund yang dijalankan pemerintah bersama Bank Dunia.
Karena skema BioCarbon Fund mencakup seluruh provinsi, ruang gerak masyarakat Bujang Raba untuk mengembangkan proyek karbon sendiri jadi terbatas. Akibatnya, muncul risiko penghitungan ganda atas satu area yang dihargai dalam dua skema berbeda.
"Di situlah kami berkomunikasi untuk mengklarifikasi bahwa yang terjadi disini tidak ada karbon kredit yang pindah karena sifatnya ini layanan ini layanan lingkungan pembayaran. Jadi, yang membayarnya bisa individu, bisa lembaga, tidak memerlukan kredit karbon. Jadi, berbeda dengan perdagangan karbon. Itu kami klarifikasi, tapi izin tetap tidak didapat, sehingga pasca 2021, komunitas Bujang Raba menghentikan dulu kegiatannya," ujar Senior Advisor KKI Warsi, Rudi Syaf, dalam sebuah webinar, Jumat (26/9/2025).
Dengan Perpres baru ini, pemerintah berharap kasus serupa tidak terulang dan semua proyek karbon dapat beroperasi secara transparan, terukur, dan saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
Baca juga: Nilai Ekonomi Karbon: Jangan Jadi Komoditas Baru yang Hijau di Atas Kertas
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya