Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perpres Baru Akui Semua Skema Karbon, Akhiri Tumpang Tindih Proyek Hijau

Kompas.com, 21 Oktober 2025, 10:16 WIB
Manda Firmansyah,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 110/2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional.

Aturan tersbeut menjadi tonggak baru karena mengakui semua jenis pasar karbon, baik sukarela (voluntary carbon market/VCM), wajib (mandatory), pembayaran berbasis kinerja (result-based payment), pajak karbon, maupun instrumen lainnya.

Lebih dari itu, Perpres ini juga mengantisipasi tumpang tindih proyek karbon yang kerap terjadi antar-sektor dan antar-lembaga di lokasi yang sama.

Misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup (LH) mengelola limbah, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengurus kegiatan industri, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menangani aspek energi.

"Itu saja dalam satu site tuh, kalau kita mau kreditkan itu jadi kredit karbon semuanya. Itu sudah bisa, beda-bedakan. Di dalam Perpres terbaru ini, itu dimasukkan dalam salah satu pasal yang terkait dengan multi sektor dan lintas sektor dalam satu site," ujar Climate & Energy Economics Researcher CSIS, Ardhi Wardhana, kepada Kompas.com, Senin (20/10/2025).

Ardhi menjelaskan, Perpres No. 110/2025 juga menyinggung masalah perhutanan sosial dan hutan adat, termasuk biaya sertifikasi yang selama ini memberatkan. Namun, ia menegaskan, keberhasilan implementasi aturan ini bergantung pada detail teknis di peraturan turunannya.

"Tapi, again, the devil's in the details kan sebetulnya, gimana caranya di level bawah, di Permen itu menerapkan hal-hal yang lebih operasional. Jadi, yang harus dikawal dari organisasi masyarakat sipil dan lembaga think tank itu (penyusunan Permen)," tuturnya.

Beberapa Peraturan Menteri (Permen) disebut perlu disesuaikan, antara lain Permen LH No. 21, Permen ESDM No. 16, dan Permen Kehutanan No. 7, 8, dan 9.

Peran Sentral Kementerian LH

Perpres ini juga memberi kewenangan penuh kepada Kementerian LH untuk memastikan pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC), termasuk melalui pemberian otorisasi dan corresponding adjustment bagi unit karbon yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban internasional di bawah Artikel 6 Perjanjian Paris.

Baca juga: KLH Perluas Perdagangan Karbon Global, Gandeng Global Carbon Council dan Plan Vivo

Dengan demikian, pasar karbon sukarela tidak akan mempengaruhi pencapaian NDC selama tidak ada corresponding adjustment.

Jika penyesuaian tersebut dibutuhkan, kata Ardhi, Kementerian LH berperan memastikan bahwa mitigasi GRK dan manfaat ekonomi dari perdagangan karbon tetap seimbang.

Belajar dari Kasus Bujang Raba

Kasus tumpang tindih proyek karbon di Bujang Raba, Jambi, menjadi pelajaran penting bagi penyusunan Perpres baru ini. Kala itu, proyek komunitas Bujang Raba berbenturan dengan BioCarbon Fund yang dijalankan pemerintah bersama Bank Dunia.

Karena skema BioCarbon Fund mencakup seluruh provinsi, ruang gerak masyarakat Bujang Raba untuk mengembangkan proyek karbon sendiri jadi terbatas. Akibatnya, muncul risiko penghitungan ganda atas satu area yang dihargai dalam dua skema berbeda.

"Di situlah kami berkomunikasi untuk mengklarifikasi bahwa yang terjadi disini tidak ada karbon kredit yang pindah karena sifatnya ini layanan ini layanan lingkungan pembayaran. Jadi, yang membayarnya bisa individu, bisa lembaga, tidak memerlukan kredit karbon. Jadi, berbeda dengan perdagangan karbon. Itu kami klarifikasi, tapi izin tetap tidak didapat, sehingga pasca 2021, komunitas Bujang Raba menghentikan dulu kegiatannya," ujar Senior Advisor KKI Warsi, Rudi Syaf, dalam sebuah webinar, Jumat (26/9/2025).

Dengan Perpres baru ini, pemerintah berharap kasus serupa tidak terulang dan semua proyek karbon dapat beroperasi secara transparan, terukur, dan saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Baca juga: Nilai Ekonomi Karbon: Jangan Jadi Komoditas Baru yang Hijau di Atas Kertas

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau