JAKARTA, KOMPAS.com - Belantara Foundation mendorong upaya mitigasi konflik manusia-gajah sumatra melalui pendekatan koeksistensi.
Upaya tersebut disampaikan dalam panel diskusi dengan tema “A Conservation Partnership Fighting to Protect Biodiversity in Asia” di Asia Pavilion pada IUCN World Conservation Congress, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA).
Panel tersebut diinisiasi oleh Conservation Allies, sebuah organisasi konservasi asal Amerika Serikat, dengan menghadirkan mitra-mitranya di Asia.
Baca juga: BKSDA Aceh Umumkan Kematian Panton, Bayi Gajah yang Terseret Arus Sungai
Mitigasi konflik tersebut diperlukan karena populasi gajah sumatra jumlahnya menurun dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1980-an, populasi gajah yang ada di Pulau Sumatra diperkirakan masih berjumlah sekitar 2.800-4.800 individu. Kemudian, data Departemen Kehutanan tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah populasi gajah sumatra menurun menjadi sekitar 2.400- 2.800 individu.
Penurunan jumlah populasi gajah sumatra terus berlanjut. Selama periode 2007-2017 populasi gajah sumatra menurun 21,2 persen atau setara dengan kehilangan sekitar 700 individu, dan jumlahnya di alam menjadi sekitar 1.694-2.038 individu pada tahun 2017.
Hasil penghitungan di tahun 2019, jumlah gajah sumatra di alam diperkirakan tinggal 928-1.379 individu yang kondisinya tersebar di 23 kantong populasi yang terpisah satu sama lain.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation yang juga dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan Dolly Priatna menyebutkan penurunan drastis jumlah populasi gajah sumatra di habitat alaminya antara lain dipicu oleh kehilangan habitat akibat alih fungsi kawasan hutan, perburuan, serta konflik antara manusia dengan gajah.
Oleh karenanya, diperlukan satu pendekatan khusus yang inovatif untuk memastikan semua kepentingan dapat terakomodasi.
“Selain mengoptimalkan fungsi koridor ekologis yang telah disepakati para pemangku kepentingan untuk mengakomodasi terjadinya interaksi gajah antar kelompok, diperlukan upaya jitu untuk solusi terbaik atas semakin seringnya rombongan gajah liar masuk desa dan memakan tanaman padi masyarakat,” ujar Dolly dalam keterangan resmi, Selasa (21/10/2025).
Meski tidak mudah, ia percaya bahwa konsep koeksistensi atau hidup berdampingan secara harmonis bisa diterapkan dalam mitigasi konflik manusia-gajah di Lanskap Sugihan-Simpang Heran.
Hal ity bisa terwujud asalkan semua stakeholders yang ada lanskap seperti pemerintah pusat dan daerah, para pelaku usaha, lembaga konservasi, akademisi, serta media, bahu-membahu membangun strategi bersama yang saling bersinergi.
“Diperlukan adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari semua pihak agar hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan gajah sumatra yang kita impikan bersama dapat terwujud,” lanjut Dolly.
Baca juga: Terungkap Penyebab Anak Gajah Tari Mati, karena Virus
Pada waktu yang sama, President of Conservation Allies, Paul Salaman mengatakan bahwa panel ini diperuntukan bagi mitra untuk mempromosikan upaya konservasi satwa liar yang dilakukan di negara masing-masing guna menggalang dukungan dari masyarakat global.
“Kami berkomitmen kuat untuk mendukung program konservasi gajah sumatra yang dijalankan Belantara Foundation di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan melalui hibah, penggalangan dana publik, serta peningkatan kapasitas yang dibutuhkan,” tegas Paul.
Dirjen KSDAE Kemenhut RI Satyawan Pudyatmoko yang mengikuti berjalannya panel diskusi, menyambut baik serta mengapresiasi kemitraan Belantara Foundation dan Conservation Allies untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam upaya konservasi gajah sumatra, khususnya untuk mewujudkan koeksistensi di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya