Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sampah Jadi Energi: Bisa Jadi Solusi Maupun Petaka, Risikonya Terlihat Mata

Kompas.com, 22 Oktober 2025, 17:14 WIB
Zintan Prihatini,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai Waste to Energy atau WTE merupakan proyek yang berisiko tinggi. Kendati, teknologi pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) ini menjadi solusi bagi permasalahan gunungan sampah di Indonesia. 

"Saya melihat proyek ini cukup kompleks dan risikonya tinggi. Paling tidak, ada tiga risikonya yang bisa make or break," kata Fabby dalam CEO Connect yang digelar Kompas di Menara Kompas, Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).

Dia menjelaskan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, memprioritaskan PSEL di kabupaten/kota yang menghasilkan minimal 1.000 ton sampah per hari. Batas minimal 1.000 ton per hari itu ditetapkan karena menjadi nilai minimum keekonomian proyek.

Baca juga: Mau Proyek Sampah Jadi Energi Sukses? Kuncinya Duit, Transparansi, dan Kebijakan Jelas

"Memang yang paling minimum 1.000 (ton sampah) itu untuk menghasilkan listriknya antara 10-15 megawatt. Karena ini juga tergantung pada tipping value dari sampahnya dan itu minimum," ungkap dia.

Apabila kurang dari jumlah tersebut, maka proyek tak layak untuk dijalankan. Catatan lainnya ialah teknologi insinerator yang dipilih untuk mengelola sampah. Fabby mengakui bahwa insinerator telah digunakan pada sekitar 2.500 proyek di berbagai negara.

"Tetapi juga yang harus dilihat, kebanyakan insinerator yang tadi dilakukan dari berbagai macam produsen dan banyak yang spesifik bekerjanya di negara subtropis. Dan ini menjadi penting karena parameter teknisnya mungkin agak berbeda termasuk sampahnya," jelas Fabby.

"Karena sampah di Indonesia khususnya, 70 persen organik sisanya yang non-organik," imbuh dia.

Oleh sebab itu, perlu kehati-hatian dalam menjalankan PSEL sekaligus memperhitungkan kelayakan bagi investor. Risiko ketiga ialah kemampuan pemerintah daerah (pemda) mengangkut ataupun menjamin pasokan sampah. Fabby lalu menekankan, rata-rata pengumpulan sampah oleh pemda baru mencapai 35 persen.

"Artinya memang 65 persennya belum di-collect karena keterbatasan kemampuan pemda untuk mengangkut sampah. Armadanya terbatas, orangnya terbatas dan ini terjadi karena anggaran sampahnya minim," ucap dia.

Di Jakarta, misalnya, satu truk pengangkut sampah menuju TPST Bantargebang, Bekasi, menelan biaya Rp 60.000-Rp 100.000 per ton. Bila dikalikan dengan 1.000 ton sampah per hari untuk PSEL, maka anggaran yang dibutuhkan pun sangat besar.

Di sisi lain, banyak pemda memiliki anggaran persampahan yang minim padahal idealnya mencapai 3–5 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Baca juga: Ekspor Sampah Plastik Inggris ke Negara Berkembang Naik 84 Persen dalam Setahun

"APBD itu proses politik yang kita enggak bisa kendalikan. Nah, ini faktor saya bilang faktor yang sangat krusial untuk bikin proyek ini berhasil, tentunya yang harus melibatkan banyak pihak untuk menyelesaikan masalahnya," kata Fabby.

Diberitakan sebelumnya, Chief Investment Officer (CIO) Danantara, Pandu Sjahrir, menyebut satu proyek WTE membutuhkan biaya 150-200 juta dollar AS, setara Rp 2,5-Rp 3,3 triliun. Proyek ini digadang-gadang menjadi konversi limbah menjadi energi terbesar di dunia. Setidaknya, akan ada 10 proyek WTE yang dimulai pada akhir 2025.

Sementara itu, Member of Supervisory Board, Standard Chartered Indonesia, Adhi Sulistyo Wibowo, menyatakan WTE membutuhkan pembiayaan hijau berstandar global. Dia berpandangan, teknologi pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) ini berpotensi masuk dalam kategori investasi berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG).

Syaratnya, memenuhi prinsip keberlanjutan dan transparansi pada setiap tahap pengembangannya.

“Dari perspektif perbankan internasional, minat terhadap proyek energi terbarukan di Indonesia terus meningkat, termasuk pada sektor WTE. Namun, keberhasilan pembiayaan sangat bergantung pada kejelasan kebijakan, stabilitas proyek, serta adanya jaminan kepastian pendapatan bagi investor,” ungkap Adhi.

Pihaknya pun aktif mendorong instrumen pembiayaan hijau guna mendukung proyek ramah lingkungan di negara berkembang. Adhi menyebutkan, penguatan tata kelola, kepastian keandalan pasokan limbah sebagai bahan baku, serta hubungan kolaborasi yang solid antar sektor menjadi kunci menarik investor.

Baca juga: KLH Usul Pemda Tarik Retribusi untuk Kelola Sampah Jadi Energi Listrik

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau