JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai Waste to Energy atau WTE merupakan proyek yang berisiko tinggi. Kendati, teknologi pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) ini menjadi solusi bagi permasalahan gunungan sampah di Indonesia.
"Saya melihat proyek ini cukup kompleks dan risikonya tinggi. Paling tidak, ada tiga risikonya yang bisa make or break," kata Fabby dalam CEO Connect yang digelar Kompas di Menara Kompas, Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
Dia menjelaskan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, memprioritaskan PSEL di kabupaten/kota yang menghasilkan minimal 1.000 ton sampah per hari. Batas minimal 1.000 ton per hari itu ditetapkan karena menjadi nilai minimum keekonomian proyek.
Baca juga: Mau Proyek Sampah Jadi Energi Sukses? Kuncinya Duit, Transparansi, dan Kebijakan Jelas
"Memang yang paling minimum 1.000 (ton sampah) itu untuk menghasilkan listriknya antara 10-15 megawatt. Karena ini juga tergantung pada tipping value dari sampahnya dan itu minimum," ungkap dia.
Apabila kurang dari jumlah tersebut, maka proyek tak layak untuk dijalankan. Catatan lainnya ialah teknologi insinerator yang dipilih untuk mengelola sampah. Fabby mengakui bahwa insinerator telah digunakan pada sekitar 2.500 proyek di berbagai negara.
"Tetapi juga yang harus dilihat, kebanyakan insinerator yang tadi dilakukan dari berbagai macam produsen dan banyak yang spesifik bekerjanya di negara subtropis. Dan ini menjadi penting karena parameter teknisnya mungkin agak berbeda termasuk sampahnya," jelas Fabby.
"Karena sampah di Indonesia khususnya, 70 persen organik sisanya yang non-organik," imbuh dia.
Oleh sebab itu, perlu kehati-hatian dalam menjalankan PSEL sekaligus memperhitungkan kelayakan bagi investor. Risiko ketiga ialah kemampuan pemerintah daerah (pemda) mengangkut ataupun menjamin pasokan sampah. Fabby lalu menekankan, rata-rata pengumpulan sampah oleh pemda baru mencapai 35 persen.
"Artinya memang 65 persennya belum di-collect karena keterbatasan kemampuan pemda untuk mengangkut sampah. Armadanya terbatas, orangnya terbatas dan ini terjadi karena anggaran sampahnya minim," ucap dia.
Di Jakarta, misalnya, satu truk pengangkut sampah menuju TPST Bantargebang, Bekasi, menelan biaya Rp 60.000-Rp 100.000 per ton. Bila dikalikan dengan 1.000 ton sampah per hari untuk PSEL, maka anggaran yang dibutuhkan pun sangat besar.
Di sisi lain, banyak pemda memiliki anggaran persampahan yang minim padahal idealnya mencapai 3–5 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Baca juga: Ekspor Sampah Plastik Inggris ke Negara Berkembang Naik 84 Persen dalam Setahun
"APBD itu proses politik yang kita enggak bisa kendalikan. Nah, ini faktor saya bilang faktor yang sangat krusial untuk bikin proyek ini berhasil, tentunya yang harus melibatkan banyak pihak untuk menyelesaikan masalahnya," kata Fabby.
Diberitakan sebelumnya, Chief Investment Officer (CIO) Danantara, Pandu Sjahrir, menyebut satu proyek WTE membutuhkan biaya 150-200 juta dollar AS, setara Rp 2,5-Rp 3,3 triliun. Proyek ini digadang-gadang menjadi konversi limbah menjadi energi terbesar di dunia. Setidaknya, akan ada 10 proyek WTE yang dimulai pada akhir 2025.
Sementara itu, Member of Supervisory Board, Standard Chartered Indonesia, Adhi Sulistyo Wibowo, menyatakan WTE membutuhkan pembiayaan hijau berstandar global. Dia berpandangan, teknologi pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) ini berpotensi masuk dalam kategori investasi berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG).
Syaratnya, memenuhi prinsip keberlanjutan dan transparansi pada setiap tahap pengembangannya.
“Dari perspektif perbankan internasional, minat terhadap proyek energi terbarukan di Indonesia terus meningkat, termasuk pada sektor WTE. Namun, keberhasilan pembiayaan sangat bergantung pada kejelasan kebijakan, stabilitas proyek, serta adanya jaminan kepastian pendapatan bagi investor,” ungkap Adhi.
Pihaknya pun aktif mendorong instrumen pembiayaan hijau guna mendukung proyek ramah lingkungan di negara berkembang. Adhi menyebutkan, penguatan tata kelola, kepastian keandalan pasokan limbah sebagai bahan baku, serta hubungan kolaborasi yang solid antar sektor menjadi kunci menarik investor.
Baca juga: KLH Usul Pemda Tarik Retribusi untuk Kelola Sampah Jadi Energi Listrik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya