KETIKA Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional, banyak pihak menyambutnya sebagai tonggak ekonomi hijau Indonesia.
Dunia usaha melihat peluang baru dari pasar karbon. Lembaga keuangan berharap pada instrumen investasi hijau. Sementara pemerintah menyebutnya langkah besar menuju ekonomi rendah emisi.
Namun di balik tepuk tangan itu, terselip satu pertanyaan penting: apakah ini sungguh langkah menyelamatkan bumi, atau hanya cara baru memperdagangkan udara yang kian menipis?
Kebijakan ini lahir dari semangat global menahan laju pemanasan bumi agar tidak melebihi 1,5 derajat Celsius.
Sejak Paris Agreement ditandatangani pada 2015, setiap negara wajib menurunkan emisi dan menyusun komitmen nasionalnya.
Indonesia menjanjikan penurunan emisi sebesar 31,89 persen secara mandiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Namun setelah hampir satu dekade, capaian global masih jauh dari target. COP28 di Dubai pada 2023 menunjukkan dunia belum berada di jalur aman, dan COP29 di Baku pada 2024 hanya menegaskan satu hal: waktu kita hampir habis.
Dunia memang berkomitmen mengucurkan pembiayaan iklim hingga 300 miliar dolar AS per tahun sampai 2035, tetapi tanpa kesiapan negara-negara pelaksana, uang sebesar itu bisa menguap tanpa arah.
Indonesia mencoba menyiapkan jalannya melalui Perpres 110 Tahun 2025, menggantikan aturan lama yang lahir empat tahun sebelumnya.
Dalam skema baru ini, karbon diakui sebagai aset ekonomi. Ia bisa diukur, dihitung, dan diperjualbelikan melalui empat instrumen: perdagangan emisi, offset karbon, pungutan karbon, dan pembayaran berbasis hasil.
Secara teori, mekanisme ini memberi insentif bagi pelaku usaha yang berinvestasi pada teknologi bersih dan menghukum mereka yang boros emisi.
Namun di lapangan, teori sering berbelok. Mekanisme pasar kerap lebih berpihak kepada mereka yang punya modal, bukan kepada masyarakat yang menjaga hutan dengan tangan kosong.
Hutan-hutan tropis yang menyerap karbon terbesar dijaga oleh komunitas adat dan petani kecil. Mereka yang hidup dari alam justru tidak punya posisi tawar dalam ekonomi karbon.
Kredit karbon dijual oleh korporasi dan lembaga keuangan, sementara penjaga hutan tetap hidup dalam keterbatasan.
Inilah sisi gelap dari pasar udara bersih: nilai sosialnya sering dikalahkan oleh nilai ekonominya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya