Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Maman Silaban
Konsultan Individu

Aktivis dan peneliti; Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB University.

Nilai Ekonomi Karbon dan Politik Keberlanjutan

Kompas.com, 22 Oktober 2025, 17:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional, banyak pihak menyambutnya sebagai tonggak ekonomi hijau Indonesia.

Dunia usaha melihat peluang baru dari pasar karbon. Lembaga keuangan berharap pada instrumen investasi hijau. Sementara pemerintah menyebutnya langkah besar menuju ekonomi rendah emisi.

Namun di balik tepuk tangan itu, terselip satu pertanyaan penting: apakah ini sungguh langkah menyelamatkan bumi, atau hanya cara baru memperdagangkan udara yang kian menipis?

Kebijakan ini lahir dari semangat global menahan laju pemanasan bumi agar tidak melebihi 1,5 derajat Celsius.

Sejak Paris Agreement ditandatangani pada 2015, setiap negara wajib menurunkan emisi dan menyusun komitmen nasionalnya.

Indonesia menjanjikan penurunan emisi sebesar 31,89 persen secara mandiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.

Namun setelah hampir satu dekade, capaian global masih jauh dari target. COP28 di Dubai pada 2023 menunjukkan dunia belum berada di jalur aman, dan COP29 di Baku pada 2024 hanya menegaskan satu hal: waktu kita hampir habis.

Dunia memang berkomitmen mengucurkan pembiayaan iklim hingga 300 miliar dolar AS per tahun sampai 2035, tetapi tanpa kesiapan negara-negara pelaksana, uang sebesar itu bisa menguap tanpa arah.

Indonesia mencoba menyiapkan jalannya melalui Perpres 110 Tahun 2025, menggantikan aturan lama yang lahir empat tahun sebelumnya.

Dalam skema baru ini, karbon diakui sebagai aset ekonomi. Ia bisa diukur, dihitung, dan diperjualbelikan melalui empat instrumen: perdagangan emisi, offset karbon, pungutan karbon, dan pembayaran berbasis hasil.

Secara teori, mekanisme ini memberi insentif bagi pelaku usaha yang berinvestasi pada teknologi bersih dan menghukum mereka yang boros emisi.

Namun di lapangan, teori sering berbelok. Mekanisme pasar kerap lebih berpihak kepada mereka yang punya modal, bukan kepada masyarakat yang menjaga hutan dengan tangan kosong.

Hutan-hutan tropis yang menyerap karbon terbesar dijaga oleh komunitas adat dan petani kecil. Mereka yang hidup dari alam justru tidak punya posisi tawar dalam ekonomi karbon.

Kredit karbon dijual oleh korporasi dan lembaga keuangan, sementara penjaga hutan tetap hidup dalam keterbatasan.

Inilah sisi gelap dari pasar udara bersih: nilai sosialnya sering dikalahkan oleh nilai ekonominya.

Perpres ini memang berbicara tentang nilai ekonomi karbon, tetapi belum secara eksplisit menjawab bagaimana memastikan keadilan bagi mereka yang menjaga bumi dari barisan depan.

Indonesia sebenarnya memiliki posisi strategis. Potensi penyimpanan karbon nasional dari sektor kehutanan, energi, dan kelautan mencapai sekitar 1,4 miliar ton CO2 per tahun.

Jika dikelola baik, maka ini bisa menjadi modal besar dalam transisi energi dunia. Namun potensi tanpa tata kelola hanya akan menjadi angka di layar monitor.

Dua tahun setelah peluncuran pasar karbon, sebagian besar proyek masih berhenti di tahap registrasi.

Aktivitas nyata penurunan emisi di lapangan belum menunjukkan peningkatan berarti. Ambisi besar belum diimbangi oleh kesiapan teknis dan kelembagaan yang kuat.

Masalah pertama terletak pada sinyal harga karbon yang terlalu rendah. Harga karbon di bursa domestik pada 2024 tercatat sekitar 3,9 dolar AS per ton CO2, jauh di bawah kisaran 50 hingga 100 dolar AS yang direkomendasikan agar kebijakan harga karbon efektif.

Dengan harga serendah itu, membayar izin emisi menjadi lebih murah daripada berinvestasi dalam teknologi hijau.

Maka wajar bila perusahaan lebih memilih membayar denda daripada mengubah perilaku produksinya. Ini seperti menebus dosa dengan diskon.

Masalah kedua ada pada integrasi data dan kelembagaan. Perpres baru memang membentuk Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon dan memperkenalkan Sistem Registri Unit Karbon yang bersifat transparan dan real time.

Namun sampai hari ini, belum ada satu lembaga pun yang secara tegas ditunjuk sebagai pengelola utama sistem itu.

Data emisi masih tersebar di berbagai kementerian. Sistem verifikasi antarsektor belum saling terhubung, dan mekanisme pengawasan masih lemah.

Akibatnya, risiko penghitungan ganda atau klaim palsu atas penurunan emisi tetap terbuka. Jika sistem pencatatannya belum kredibel, bagaimana mungkin pasar karbon bisa dipercaya?

Masalah ketiga, yang paling mendasar, adalah hilangnya dimensi keadilan dari perdebatan iklim kita.

Di ruang-ruang rapat, karbon dihitung dalam satuan ton dan dolar. Di lapangan, ia berarti hutan yang ditebang, laut yang rusak, dan masyarakat adat yang kehilangan sumber penghidupan.

Nilai Ekonomi Karbon semestinya tidak hanya menjadi soal harga, tetapi juga soal hak. Kebijakan ini akan gagal bila tidak memastikan bahwa masyarakat penjaga hutan mendapat manfaat langsung dari setiap transaksi karbon yang dilakukan atas nama mereka.

Tanpa mekanisme redistribusi yang adil, Indonesia hanya akan menjadi penyedia udara bersih bagi dunia tanpa memastikan kesejahteraan bagi rakyatnya sendiri.

Menjelang COP30 di Belem, Brasil, dunia akan menilai seberapa serius Indonesia menepati janji iklimnya. Forum itu bukan sekadar ajang diplomasi, tetapi panggung ujian integritas.

Dunia tidak akan terkesan dengan banyaknya regulasi, melainkan pada seberapa nyata dampaknya di lapangan. Apakah kita sungguh menurunkan emisi, atau hanya memperdagangkan izin untuk tetap mencemari?

Di sinilah tantangan terbesar Indonesia: menjembatani tiga dimensi kebijakan iklim yang sering berjalan sendiri-sendiri.

Dimensi ekonomi menuntut agar harga karbon cukup tinggi untuk mendorong transformasi industri. Dimensi sosial menuntut agar keuntungan dari karbon tidak berhenti di tangan korporasi, tetapi mengalir ke masyarakat penjaga alam.

Dan dimensi ekologis menuntut agar hutan, laut, dan ekosistem yang menjadi penyerap karbon alamiah tetap dijaga integritasnya.

Tiga hal ini harus berjalan bersama. Jika tidak, maka ekonomi hijau hanya akan menjadi nama baru bagi kapitalisme lama yang berganti warna.

Namun, kritik saja tidak cukup. Indonesia masih punya peluang besar untuk membuktikan diri. Langkah pertama adalah memperkuat tata kelola data agar Sistem Registri Nasional benar-benar terintegrasi dan bisa diaudit publik.

Kedua, memperbaiki desain harga karbon agar memberi sinyal kuat bagi industri untuk beralih ke energi bersih.

Ketiga, memastikan pembagian manfaat yang adil dengan menetapkan mekanisme insentif langsung bagi masyarakat adat, petani hutan, dan nelayan yang menjaga kawasan penyerap karbon.

Tanpa tiga langkah ini, regulasi sebesar apa pun hanya akan menjadi dokumen administratif tanpa daya ubah.

Kebijakan iklim sejatinya bukan soal teknokrasi, melainkan soal moralitas pembangunan. Ketika udara bersih diperdagangkan seperti komoditas, di situlah nurani publik diuji.

Apakah kita masih memandang alam sebagai ruang hidup bersama, atau sekadar pasar baru untuk dieksploitasi.

Perpres 110 Tahun 2025 bisa menjadi pijakan menuju ekonomi hijau yang bermartabat, asalkan pelaksanaannya tidak berhenti pada logika pasar, melainkan berpihak pada keadilan ekologi. Dunia sedang menunggu bukti, bukan janji.

Yang dibutuhkan Indonesia saat ini bukan sekadar pasar karbon, tetapi politik keberlanjutan yang berakar pada nurani, pada hutan yang tetap hidup, laut yang bernafas, dan masyarakat yang terus menjaga keseimbangan di antara keduanya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau