Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WMO: Peringatan Dini Bencana Hak Asasi Manusia, Tak Boleh Ada yang Mati Sia-sia

Kompas.com, 24 Oktober 2025, 14:05 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memberikan peringatan global agar segera melakukan tindakan lebih cepat untuk melindungi masyarakat dari meningkatnya bahaya terkait cuaca, air, dan iklim.

Desakan ini diungkapkan selama Kongres Luar Biasa WMO yang diadakan di Jenewa, Swiss, dari tanggal 20 hingga 22 Oktober.

Sebanyak 193 negara anggota WMO pun menyetujui dan mendukung "Seruan untuk Bertindak" tersebut. Inti dari seruan ini adalah mencapai cakupan peringatan dini universal paling lambat pada tahun 2027, di mana setiap orang di mana pun memiliki akses ke sistem peringatan dini.

Target tahun 2027 ini merupakan pencapaian atau tonggak kunci yang ditetapkan di bawah inisiatif PBB yang disebut Early Warnings for All.

Inisiatif ini bertujuan untuk memastikan seluruh populasi dunia terlindungi dari bahaya alam.

"Setiap dolar yang diinvestasikan dalam peringatan dini menghemat hingga lima belas dolar dari kerugian yang dapat dihindari," kata Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo, dikutip dari Down to Earth, Rabu (22/10/2025).

Baca juga: BNPB: Banjir, Cuaca Ekstrem, dan Karhutla Jadi Bencana Paling Dominan sejak Awal 2025

Seruan untuk bertindak yang disahkan dalam kongres tersebut mendesak negara-negara untuk memperkuat rantai nilai peringatan dini yang di antaranya adalah pemantauan dan perkiraan bahaya, penilaian risiko, penyebaran peringatan serta memastikan masyarakat dapat bertindak berdasarkan peringatan tersebut.

Kendati demikian, negara-negara anggota menekankan bahwa teknologi saja tidak dapat menyelamatkan nyawa kecuali peringatan tersebut dipercaya, tepat waktu, dan dapat dipahami di tingkat komunitas.

"Kita harus beralih dari menyampaikan perkiraan menjadi menyampaikan pemahaman," kata seorang perwakilan dari Fiji, menyoroti perlunya komunikasi yang inklusif secara budaya dan berpusat pada masyarakat.

Lebih lanjut, meskipun telah ada kemajuan dalam pengembangan sistem peringatan dini, masih ada ketidaksetaraan yang sangat jelas dalam akses terhadap perlindungan ini di seluruh dunia.

Kesenjangan terbesar terdapat di Negara-Negara Kurang Berkembang (LDC), Negara-Negara Kepulauan Berkembang Kecil (SIDS), dan wilayah yang terdampak konflik.

Data menunjukkan per tahun 2024, 108 negara melaporkan bahwa mereka memiliki setidaknya sejumlah kapasitas untuk sistem peringatan dini yang mencakup berbagai jenis bahaya. Angka ini adalah peningkatan signifikan dibandingkan sepuluh tahun sebelumnya, di mana hanya 52 negara yang memilikinya.

Namun itu belum cukup. Hampir setengah dari seluruh negara di dunia masih rentan atau belum memiliki sistem peringatan dini yang memadai untuk melindungi warganya.

Data dari WMO menunjukkan bahwa di negara-negara yang tidak memiliki sistem yang memadai, tingkat kematian akibat bencana enam kali lebih tinggi, dan jumlah orang yang terkena dampaknya empat kali lebih besar dibandingkan di negara-negara yang memiliki sistem berfungsi.

Baca juga: BNPB Minta Daerah Tanggap Peralihan Musim, Tingkatkan Mitigasi Bencana

Hasil evaluasi terhadap 62 negara menunjukkan bahwa 50 persen dari negara-negara tersebut hanya memiliki kemampuan dasar dalam memantau dan memprakirakan bahaya.

Lebih mengkhawatirkan lagi, 16 persen dari negara-negara yang dinilai tersebut memiliki kapasitas di bawah standar dasar alias sistem peringatan dini mereka sangat minim atau hampir tidak berfungsi.

Untuk mengatasi kerentanan ini, WMO menyerukan tiga pilar investasi mendasar yakni infrastruktur, berbagi informasi, dan komitmen dana jangka panjang.

WMO juga mendesak negara-negara donor dan bank pembangunan untuk meningkatkan pembiayaan yang dapat diprediksi untuk infrastruktur peringatan dini dan pengembangan kapasitas.

Seiring meningkatnya peristiwa cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, sistem peringatan dini menjadi salah satu alat paling efektif untuk mengurangi korban jiwa dan kerugian ekonomi.

Menurut catatan WMO, selama 50 tahun terakhir, bencana yang berkaitan dengan cuaca, air, dan iklim telah merenggut lebih dari 2 juta jiwa, 90 persen di antaranya di negara-negara berkembang.

Sebagaimana disimpulkan oleh Saulo dari WMO, Peringatan dini bukanlah sebuah kemewahan, itu adalah hak asasi manusia. Dan biaya dari tidak bertindak tentu akan selalu lebih tinggi.

Baca juga: Perubahan Iklim Picu Musim Kebakaran Hutan Makin Parah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Banjir Sumatera dan Ancaman Sunyi bagi Perempuan, Belajar dari Pengalaman dalam Bencana Likuefaksi di Sulawesi
Banjir Sumatera dan Ancaman Sunyi bagi Perempuan, Belajar dari Pengalaman dalam Bencana Likuefaksi di Sulawesi
LSM/Figur
Warga Bantu Warga, JNE Percepat Distribusi 500 Ton Bantuan ke Sumatera
Warga Bantu Warga, JNE Percepat Distribusi 500 Ton Bantuan ke Sumatera
Swasta
Pasar Software Akuntansi Karbon Diprediksi Meroket sampai 2033
Pasar Software Akuntansi Karbon Diprediksi Meroket sampai 2033
LSM/Figur
Kemenhut Segel Lagi 3 Entitas di Tapanuli Selatan, Diduga Picu Banjir Sumatera
Kemenhut Segel Lagi 3 Entitas di Tapanuli Selatan, Diduga Picu Banjir Sumatera
Pemerintah
Suhu Laut Naik akibat Perubahan Iklim Bikin Siklon di Asia Makin Parah
Suhu Laut Naik akibat Perubahan Iklim Bikin Siklon di Asia Makin Parah
LSM/Figur
Bahan Kimia Sintetis Dalam Pangan Ciptakan Beban Kesehatan 2,2 Triliun Dollar AS Per Tahun
Bahan Kimia Sintetis Dalam Pangan Ciptakan Beban Kesehatan 2,2 Triliun Dollar AS Per Tahun
LSM/Figur
Pendanaan Hijau Diproyeksikan Naik Tahun 2026, Asal..
Pendanaan Hijau Diproyeksikan Naik Tahun 2026, Asal..
Swasta
Longsor di Hulu DAS Padang dan Agam, Kemenhut Lakukan Kajian Mendalam
Longsor di Hulu DAS Padang dan Agam, Kemenhut Lakukan Kajian Mendalam
Pemerintah
BEI Sebut Investasi Berbasis ESG Naik 194 Kali Lipat dalam 1 Dekade Terakhir
BEI Sebut Investasi Berbasis ESG Naik 194 Kali Lipat dalam 1 Dekade Terakhir
Pemerintah
Perkuat Digital Nasional, TIS Kembangkan Kabel Laut TGCS-2 Jakarta–Manado
Perkuat Digital Nasional, TIS Kembangkan Kabel Laut TGCS-2 Jakarta–Manado
Swasta
EIB Global dan Uni Eropa Bersihkan Sampah Laut di Kepulauan Seribu
EIB Global dan Uni Eropa Bersihkan Sampah Laut di Kepulauan Seribu
LSM/Figur
Panas Ekstrem Bikin 8.000 Spesies Terancam Punah, Amfibi dan Reptil Paling Rentan
Panas Ekstrem Bikin 8.000 Spesies Terancam Punah, Amfibi dan Reptil Paling Rentan
LSM/Figur
Masyarakat Sipil Desak Prabowo Tetapkan Status Bencana Nasional di Sumatera
Masyarakat Sipil Desak Prabowo Tetapkan Status Bencana Nasional di Sumatera
LSM/Figur
DAS Kuranji di Sumatera Barat Melebar hingga 150 Meter Usai Banjir, Ini Penjelasan Kemenhut
DAS Kuranji di Sumatera Barat Melebar hingga 150 Meter Usai Banjir, Ini Penjelasan Kemenhut
Pemerintah
Bibit Siklon Tropis 91S Muncul di Samudera Hindia, Apa Dampaknya untuk Sumatera?
Bibit Siklon Tropis 91S Muncul di Samudera Hindia, Apa Dampaknya untuk Sumatera?
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau