KOMPAS.com - Laporan State of Wildfires edisi kedua memberikan peringatan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan area yang hangus akibat kebakaran hutan hingga 30 kali lipat di beberapa lokasi secara global.
Para peneliti menggunakan pengamatan satelit dan pemodelan canggih untuk mengidentifikasi dan menyelidiki penyebab kebakaran hutan antara Maret 2024 hingga Februari 2025, serta peran yang dimainkan oleh perubahan iklim dan penggunaan lahan.
Dr. Hamish Clarke dari University of Melbourne yang memimpin penelitian dari pihak Australia, menyatakan bahwa hubungan yang begitu nyata antara perubahan iklim dan kejadian ekstrem di level global ini adalah hal yang patut diwaspadai.
'Studi kami mengungkapkan bahwa area seluas total 3,7 juta kilometer persegi hangus terbakar oleh kebakaran hutan secara global'," katanya seperti dikutip dari Phys, Kamis (16/10/2025).
"Kita kini menyaksikan sendiri dampak perubahan iklim yang bermain di seluruh penjuru dunia pada tingkat yang ekstrem," papar Dr. Clarke lagi.
Baca juga: Kebakaran Hutan di Uni Eropa Capai Level Terburuk Sepanjang Sejarah
Pemanasan global tidak hanya menghasilkan cuaca yang lebih rentan terhadap kebakaran, tetapi juga memengaruhi siklus kehidupan tumbuhan mulai dari cara vegetasi tumbuh, lalu mengering, hingga menjadi bahan bakar yang mempercepat penyebaran api.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kebakaran hutan di kawasan Pantanal-Chiquitano Amerika Selatan meluas 35 kali lipat karena perubahan iklim.
Selain itu, kebakaran ekstrem yang memecahkan rekor juga melanda Amazon dan Kongo, yang melepaskan miliaran ton karbon dioksida (CO2) ke atmosfer.
Dr. Clarke menjelaskan bahwa kemungkinan terjadinya kebakaran hebat di Los Angeles pada Januari lalu adalah 2 kali lipat lebih tinggi, dan area yang terbakar 25 kali lipat lebih luas, dibandingkan jika tidak ada pemanasan global akibat aktivitas manusia.
Laporan tersebut juga menyoroti adanya kasus dan dampak kebakaran ekstrem yang serupa di Kanada, Bolivia, dan Brasil.
Lebih lanjut, laporan ini mencatat bahwa sebanyak 100 juta jiwa terdampak oleh kebakaran hutan sepanjang 2024-2025, dan diperkirakan kerugian terhadap properti serta infrastruktur mencapai 215 miliar dolar AS.
Laporan kemudian memproyeksikan pandangan suram jika emisi gas rumah kaca berlanjut dan tidak dikendalikan.
Peningkatan gelombang panas dan kekeringan ekstrem diperingatkan akan membuat frekuensi dan intensitas kebakaran hutan di seluruh dunia makin parah, sehingga meningkatkan risiko yang mengancam nyawa manusia, properti, ekonomi, dan kelestarian lingkungan.
Baca juga: Dampak Jangka Panjang Kebakaran Hutan: Cemari Perairan Hingga 10 Tahun
Namun sekali lagi belum terlambat untuk bertindak.
Menurut Dr. Clarke, ada beberapa aksi yang bisa diambil. Pertama, kita perlu mengambil tindakan iklim yang jauh lebih kuat dan cepat, termasuk mengurangi emisi bahan bakar fosil dan mengurangi deforestasi serta pembukaan lahan.
Selain itu, ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk mempersiapkan dan merespons risiko kebakaran, mulai dari pengelolaan vegetasi hingga persiapan penghuni rumah dan mendukung pemulihan bencana jangka pendek dan jangka panjang.
"Perspektif global ini menjadi pengingat tegas tentang eratnya keterkaitan dalam krisis iklim dan betapa mendesaknya kita memerlukan aksi global terpadu, serta komitmen berani untuk memangkas emisi gas rumah kaca secara signifikan dalam dekade ini," tambah Dr. Clarke.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya