KOMPAS.com - Walhi menilai model adaptasi dan mitigasi krisis iklim di Indonesia hanya mengotak-atik sektor hilir.
Model adaptasi dan mitigasi krisis iklim di Indonesia masih berorientasi bisnis. Misalnya, skema keseimbangan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan penyerapan karbon melalui konservasi hutan atau penerapan co-firing biomassa.
Di dalam Dokumen Komitmen Iklim (Second Nationally Determined Contribution/SNDC), Indonesia lebih berfokus pada pengurangan operasional PLTU batu bara secara bertahap, bukan penghentian total dalam waktu dekat.
"Ketika membicarakan energi, (Indonesia) masih ditetapkan dalam konteks bisnis, sehingga yang kemudian terjadi adalah pembesaran produksi dan penggenjotan konsumsi," ujar Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian dalam webinar Sabtu (8/11/2025).
Baca juga: Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
Menurut Uli, aksi adaptasi dan mitigasi krisis iklim tidak akan berhasil kalau Indonesia masih memakai paradigma pertumbuhan ekonomi.
Ia menilai, paradigma pertumbuhan ekonomi 8 persen justru kontraproduktif terhadap upaya mengatasi krisis iklim. Apalagi, paradigma pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih berkutat pada eksploitasi hutan dan lahan.
"Enggak akan mungkin SNDC itu bisa tercapai kalau kemudian yang dibasiskan di dalam permodelan ekonomi kita itu mengejar pertumbuhan (ekonomi) 8 persen dan sumber-sumber penghidupan kita menjadi sasaran eksploitasi," tutur Uli.
SNDC Indonesia menekankan sektor energi serta hutan dan lahan (forestry and other land use/FOLU.
Namun, model transisi energi di Indonesia masih bersifat ekstraktif dan berbasis lahan. Yaitu, mengandalkan substitusi energi biomassa, bioethanol, hingga biofuel. Ia memperkirakan alih fungsi 26 juta hektar hutan dan lahan untuk industri yang memproduksi biomassa, bioethanol, sampai biofuel, malah berisiko melepaskan emisi GRK sebesar 9 miliar ton CO2.
"Jadi, model transisi energi yang diklaim bersih dan berkelanjutan hari ini, itu sama sekali enggak benar-benar bersih karena melegalkan krisis iklim dan pelanggaran hak asasi manusia. Artinya, kalau misalnya ambisi kendaraan listrik itu masih terus digenjot, maka izin-izin di atas hutan, izin usaha produksi pertambangan di atas hutan ya, itu pasti harus membuka hutan," ucapnya.
Sebagai tuan rumah Konferensi Para Pihak (Can,OP) 30, Brasil seperti Indonesia, memunculkan percepatan model transisi energi berbasis lahan. Padahal, Brasil juga menyodorkan model TFFF (tropical forest forever facility) atau skema pembiayaan inovasi yang menggabungkan pendanaan publik dan swasta untuk mendanai konservasi hutan tropis.
"Jadi, kayak ada semacam kontradiksi dan itu kan juga sebenarnya terlihat dari SNDC-nya Indonesia," ujar Uli.
Baca juga: PSN Tebu untuk Etanol di Merauke Dinilai Tak Jawab Transisi Energi Bersih
Ia menyesalkan COP 30 yang sedang berlangsung di Brasil belum memperlihatkan kemajuan secara signifikan dalam menjawab permasalahan krisis iklim.
Bahkan, COP 30 justru menjadi ajang pengakuan kolektif negara-negara dunia atas kegagalan bersama menahan laju pemanasan bumi di bawah 1,5 derajat celcius.
"Enggak ada terobosan-terobosan atau kebaharuan kebijakan di nasional untuk mendukung semua komitmen yang diceritakan (Indonesia di COP 30)," tutur Uli.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya