Penulis
YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Algoritma media sosial kini tidak lagi sekadar alat penyebar informasi, melainkan telah menjelma menjadi aktor yang menentukan isu apa yang dianggap penting oleh publik dan mana yang terlupakan.
Fenomena ini menjadi sorotan utama dalam seminar nasional bertema “Disinformasi & Algoritma: Bagaimana Media Digital Membentuk Opini Publik” yang digelar Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada Komunitas Pers Mahasiswa (Kagama Persma) di University Club UGM, Sabtu (1/11/2025).
Ketua Kagama Persma, Dia Mawesti menyebut teknologi algoritma telah menggeser medan pertempuran dunia pers ke ranah digital. Di mana tantangan baru muncul dalam bentuk disinformasi, bias digital, dan dominasi mesin terhadap persepsi publik.
Baca juga: Media Sosial Bisa Dipakai untuk Pantau Migrasi Satwa karena Iklim
“Teknologi, khususnya algoritma, tidak hanya jadi alat, tetapi juga aktor yang berperan dalam membentuk opini publik dan persepsi masyarakat, bahkan menentukan isu apa yang dianggap penting dan apa yang dilupakan,” ujar Dia.
Jika dahulu jurnalis menghadapi tekanan fisik dan sensor, kini tantangan terbesar datang dari algoritma yang mengendalikan arus informasi.
Kondisi ini, katanya, menuntut insan pers dan pers mahasiswa untuk memperkuat literasi digital, menjaga etika, serta mempertahankan independensi agar kebebasan berekspresi tidak digantikan oleh “kebebasan algoritma”.
“Kita perlu menjaga etika, independensi, dan literasi digital agar kebebasan berekspresi tidak tergantikan oleh kebebasan algoritma,” tegasnya.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni UGM, Arie Sujito, menilai peran pers mahasiswa tetap relevan di tengah gempuran disinformasi dan kecerdasan artifisial (AI).
Ia menyebut persma berfungsi sebagai ruang kritis mahasiswa dan pendorong kebebasan berpendapat yang lebih bertanggung jawab.
“Membicarakan kebebasan bersuara masih sangat relevan hingga saat ini. Ruang yang terbuka besar ini harus kita manfaatkan secara lebih berkualitas,” kata Arie.
Sementara itu, Aghnia Adzkia, jurnalis visual dan data BBC News yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut, menyoroti paradoks penggunaan AI yang di satu sisi memudahkan kerja jurnalistik, namun di sisi lain mempercepat penyebaran disinformasi.
“AI memang sangat memudahkan pekerjaan, tapi juga membawa hal-hal yang mengkhawatirkan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Elin Y. Kristanti, menambahkan bahwa digitalisasi dan algoritma media sosial telah mengubah orientasi media dari memenuhi kebutuhan pembaca menjadi memenuhi kebutuhan mesin.
“Saya sebagai wartawan tidak pernah berpikir menulis berita untuk mesin, tetapi kenyataan saat ini seperti itu,” ucapnya.
Baca juga: Ramai Kesenjangan Sosial di Medsos, Data: Ketimpangan Ekonomi Makin Lebar
Elin menilai kondisi ini semakin diperparah dengan kehadiran AI yang menyedot informasi dari media tanpa memberikan kompensasi apa pun.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya