JAKARTA, KOMPAS.com - Data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) tahun 2021 mengungkapkan, 8 juta anak Indonesia diperkirakan memiliki kadar timbal dalam darah di atas 5 mikrogram per desiliter. Kepala Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wahyu Pudji Nugraheni, mengatakan angka itu melebihi ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Hasil kajian literatur review penyakit atau gangguan yang disebabkan atau diperparah paparan timbal pada anak ada tujuh yang kami berhasil kumpulkan. Pertama, penurunan kemampuan kognitif atau kehilangan IQ, neurodevelopmental impairment," ujar Pudji dalam webinar, Kamis (13/11/2025).
Dampak kedua, gangguan perkembangan dan keterlambatan perkembangan. Kemudian, gangguan perilaku, masalah perhatian, stunting dan hambatan pertumbuhan, anemia atau gangguan hematologi, kerusakan ginjal, gangguan fungsi ginjal, nephrotoxicitas, hingga risiko kardiovaskuler jangka panjang, termasuk hipertensi di masa dewasa.
Baca juga: Tingkat Konsentrasi Timbal di Udara Berdampak pada Kematian Bayi
Berdasarkan analisis data Global Burden of Disease (GBD) 2023, beban penyakit akibat timbal terus meningkat sejak 1990 hingga 2023.
"Hal ini menandakan bahwa beban penyakit akibat paparan timbal cenderung memburuk dalam tiga dekade terakhir," tutur dia.
BRIN menggunakan pendekatan Disability Adjusted Life Years (DALYs) untuk mengestimasi beban penyakit akibat paparan timbal. Menurut Pudji, di Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi kedua tertinggi setelah Myanmar terkait DALYs akibat paparan timbal.
Angkanya meningkat tajam sejak awal 2000-an, menunjukkan bahwa paparan timbal pada anak di dalam negeri menjadi isu kesehatan masyarakat yang makin serius. Kendati bukan merupakan penyebab utama, timbal turut meningkatkan risiko jantung iskemik maupun penyakit yang berkaitan dengan saraf.
"Sepanjang 1990 hingga 2023, penyakit jantung iskemik dan stroke tetap menempati peringkat pertama dan kedua sebagai penyakit dengan beban tertinggi akibat papanan timbal," jelas Pudji.
Baca juga: Mayoritas Penduduk Negara Berpenghasilan Menengah Rasakan Dampak Krisis Iklim
"Hal ini menunjukkan bahwa timbal berkontribusi besar terhadap peningkatan risiko gangguan pembuluh darah dan jantung melalui mekanisme peningkatan tekanan darah, stres oksidatif, dan kerusakan endotel pembuluh darah," imbuh dia.
Beban penyakit akibat timbal juga menyebabkan pola peningkatan pada kelompok usia lanjut. Dampak paparan jangka panjang mulai terlihat signifikan sejak usia 40 tahun, dan mencapai puncaknya pada kelompok usia 95 tahun ke atas.
"Dampak paparan timbal bersifat kumulatif dan progresif dimana efek toksik jangka panjang semakin memperparah kondisi kesehatan lansia yang sudah rentan," tutur Pudji.
Secara global, paparan timbal diperkirakan menyebabkan 1 juta kematian per tahun dengan beban terbesar berada di negara berkembang. Dampak jangka panjang pada anal berupa penurunan IQ dan gangguan perilaku, bersifat irreversibel atau tak bisa kemballi normal, dan mempengaruhi produktivitas.
Studi internasional memperkirakan kerugian ekonomi akibat paparan timbal dapat mencapai 1-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara berkembang.
"Di Indonesia, penelitian tentang beban ekonomi spesifik akibat paparan timbal pada anak masih sangat berbatas. Penelitian ini diperlukan untuk memberikan evidence-based policy support dalam upaya perlindungan anak dari paparan timbal," ungkap Pudji.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya