JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dinilai tidak konsistem dalam kebijakan transisi energi. Misalnya, kebijakan feed-in tariff (FiT) untuk memberikan insentif untuk energi terbarukan yang ditetapkan dalam Perpres 22/2017 justru dicabut karena dianggap merugikan.
Indonesia juga kerap mengumumkan komitmen meningkatkan bauran energi terbarukan. Misalnya, janji pemerintahan baru untuk menghentikan energi fosil dalam 10-15 tahun dan mencapai 100 persen energi terbarukan.
Namun, Indonesia juga tetap mengizinkan berbagai kebijakan yang bertentangan dengan komitmen tersebut. Terdapat disharmoni antar kementerian/lembaga; sebagian mendorong energi terbarukan, sebaliknya sebagian yang lain justru mendukung ekspansi energi fosil.
"Kita menetapkan target (bauran energi terbarukan) yang ambisius, lalu kemudian kita merevisinya karena dilihat itu tidak tercapai. Bukan kita berusaha untuk mencoba untuk mencapai target itu, tapi kita turunkan target itu," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa di Jakarta, Kamis (20/11/2025).
Baca juga: Transisi Energi di Daerah 3T harus Disesuaikan dengan Potensi Sumber Energi Baru
Bahkan, untuk mempertahankan energi fosil, Indonesia menghalalkan segala cara. Misalnya, memaksa penggunaan batu bara untuk dimethyl ether (DME) yang sama sekali tidak ekonomis dan layak secara finansial.
"Perdebatan lain, biofuel, ya, dalam rangka mengurangi impor BBM, kita menggunakan energi yang mahal yang sebenarnya disubsidi untuk bisa layak. Sementara pilihan lainnya ada (energi terbarukan)," tutur Fabby.
Berdasarkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2026, komitmen energi terbarukan Indonesia terkendala buruknya tata kelola pemerintahan. Ini diperparah dengan fragmentasi kelembagaan yang terjadi dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Rezim saat ini membentuk struktur dan kementerian/lembaga baru yang menyebabkan birokasi pemerintah semakin kompleks. Imbasnya, terjadi tumpang tindih dalam pengambilan keputusan antar kementerian/lembaga.
Di pemerintahan sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mengurus agenda- agenda iklim nasional. Di antaranya, pengembangan kendaraan listrik (electric vehicle/EV), nilai ekonomi karbon (carbon pricing), sampai just energy transtition partnership (JETP). Namun, dalam pemerintahan saat ini kewenangan-kewenangan Kemenko Marves sudah dipisah-pisah ke beberapa lembaga lain.
"Kami menilai tahun ini memang komitmen politik (energi terbarukan) pemerintah itu memang sangat tinggi, tapi hal ini tidak sepenuhnya sejalan dengan komitmen di level institusi karena adanya isu tata kelola," tutur Analis Finansial dan Ekonomi IESR, Putra Maswan.
Penasihat Presiden Urusan Energi, Purnomo Yusgiantoro mengatakan, Indonesia tidak bisa sepenuhnya meninggalkan energi fosil yang krusial bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Strategi transisi energi di Indonesia, kata dia, perlu mempertimbangkan upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Jadi, Indonesia harus tetap melanjutkan eksplorasi produksi untuk mendukung keberlangsungan suplai energi fosil pada masa transisi ini. Menurut Purnomo, kebijakan eksplorasi produksi suplai energi fosil harus menggunakan teknologi ramah lingkungan.
Di sisi lain, Indonesia juga mendorong eksplorasi produksi dari energi non-fosil seperti air, surya, panas bumi, bioenergy, hydrogen, dan nuklir.
Baca juga: Indonesia Masih Nyaman dengan Batu Bara, Transisi Energi Banyak Retorikanya
"Saya katakan bahwa kegiatan eksplorasi produksi untuk keberadaan energi, supply energi fosil itu mesti diteruskan. Mau enggak mau, suka enggak suka, kita hidup di dalam alam yang tidak hanya ingin EBT (energi baru terbarukan) itu dikembangkan. Yes, saya setuju sekali," ucapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya