Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Dianggap Kena Jebakan di KTT COP30 karena Jual Karbon Murah

Kompas.com, 26 November 2025, 09:49 WIB
Manda Firmansyah,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia membuka terlalu banyak sesi pasar karbon selama perhelatan Konferensi Iklim ke-30 (KTT COP30) di Brasil.

Namun, skema perdagangan karbon yang ditawarkan Indonesia tidak menyertakan persyaratan tata kelola yang jelas. Apalagi, hingga saat ini, belum ada perlindungan hukum dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat yang akan terbebani dengan skema perdagangan karbon ke depannya.

"Salah satu pembahasan dalam COP30, lahan (hutan) adat yang diakui sebenarnya menjadi syarat material sebagai dasar produksi dalam sistem perekonomian masyarakat adat. Sampai saat ini, itu belum ada mekanismenya di Indonesia atau diakui setidaknya secara terstruktur dan legal," ujar Direktur Socio-Bioeconomy Celios, Fiorentina Refani di Jakarta, Selasa (25/11/2025).

Baca juga: CELIOS: RI Terlalu Jualan Hutan dan Laut di KTT COP30

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mengkhianati amanat Reformasi 1998 untuk desentralisasi kekuasaan dan justru bergerak ke arah resentralisasi kebijakan.

Di dalam konteks skema perdagangan karbon, segala keputusan berada di tangan pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah daerah yang diberikan beban berganda, menjadi korban dari skema perdagangan karbon.

"(Di tengah pemangkasan anggaran dan pemangkasan kebijakan pemerintah daerah, (keberadaan) pasar karbon sebenarnya menjadi momentum untuk mendukung masyarakat yang bekerja atau terintegrasi lebih erat dengan pemerintah daerah," tutur Fiorentina.

Selain itu, membangun ekosistem perdagangan karbon membutuhkan biaya sangat mahal. Indonesia perlu membangun berbagai infrastruktur untuk pemantauan, seperti satelit, untuk mendukung perdagangan karbon.

"Dengan infrastruktur ekonomi sekarang, arsitektur ekonomi sekarang, itu akan menjadi beban finansial sebenarnya bagi Indonesia," ucapnya.

Di sisi lain, harga karbon dari Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain, terutama di Eropa. Bahkan, nilai karbon Indonesia lebih rendah 10-25 kali lipat dari harga pasar global. Besarnya gap tersebut mencerminan ketimpangan asimetri kuasa dalam pasar global karbon.

Untuk terintegrasi ke dalam pasar karbon global, kata dia, Indonesia sebenarnya perlu investasi awal dengan biaya finansial yang besar untuk mempersiapkan infrastruktur monitoring sampai tata kelola.

Baca juga: Fokus Perdagangan Karbon, Misi RI di COP 30 Dinilai Terlalu Jualan

"Kami melihat ini sebagai jebakan finansial. Nantinya akan jadi beban finansial ketika pasar karbon ini diterapkan di Indonesia dengan (harga) terlalu jauh di bawah pasar global dan belum ada reformasi tata kelola," ujar Fiorentina.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Indonesia Dianggap Kena Jebakan di KTT COP30 karena Jual Karbon Murah
Indonesia Dianggap Kena Jebakan di KTT COP30 karena Jual Karbon Murah
LSM/Figur
Rafflesia, Tesso Nilo, dan Dua Wajah Hutan Indonesia di Media Sosial
Rafflesia, Tesso Nilo, dan Dua Wajah Hutan Indonesia di Media Sosial
Pemerintah
Mikroplastik di Air Hujan hingga Pakaian, Produsen Didesak Ikut Tanggung Jawab
Mikroplastik di Air Hujan hingga Pakaian, Produsen Didesak Ikut Tanggung Jawab
LSM/Figur
Sawit Masuk Tesso Nilo, Gajah–Harimau Terjepit, Reputasi Indonesia Terancam
Sawit Masuk Tesso Nilo, Gajah–Harimau Terjepit, Reputasi Indonesia Terancam
LSM/Figur
Ada 'Penumpang Gelap' di Balik Kebun Sawit yang Kepung Taman Nasional Tesso Nilo
Ada "Penumpang Gelap" di Balik Kebun Sawit yang Kepung Taman Nasional Tesso Nilo
LSM/Figur
BRIN: Bioetanol dari Aren Bisa Jawab Kebutuhan BBM Ramah Lingkungan
BRIN: Bioetanol dari Aren Bisa Jawab Kebutuhan BBM Ramah Lingkungan
Pemerintah
Analisis Global: Hak Dasar akan Lingkungan Sehat Miliaran Orang Terancam
Analisis Global: Hak Dasar akan Lingkungan Sehat Miliaran Orang Terancam
Pemerintah
Kontaminasi Cs-137 dan Keracunan MBG, BRIN Tawarkan Teknologi Plasma
Kontaminasi Cs-137 dan Keracunan MBG, BRIN Tawarkan Teknologi Plasma
LSM/Figur
Guru Besar IPB: Tumpukan Limbah Cangkang Kerang di Cilincing Ancam Ekosistem
Guru Besar IPB: Tumpukan Limbah Cangkang Kerang di Cilincing Ancam Ekosistem
Pemerintah
Personel Tambahan Dikerahkan Usai Massa Rusak Pos Tesso Nilo
Personel Tambahan Dikerahkan Usai Massa Rusak Pos Tesso Nilo
Pemerintah
Pengusaha Siap-siap meski Penerapan Deforestasi EUDR Ditunda Setahun
Pengusaha Siap-siap meski Penerapan Deforestasi EUDR Ditunda Setahun
Swasta
Studi: Bisnis Gagal Nilai Dampak Lingkungan Penggunaan AI
Studi: Bisnis Gagal Nilai Dampak Lingkungan Penggunaan AI
Pemerintah
Ekspor Produk Hasil Hutan Stagnan, Kemenhut Genjot Hilirisasi
Ekspor Produk Hasil Hutan Stagnan, Kemenhut Genjot Hilirisasi
Pemerintah
Kemenhut Akui Sulit Relokasi Warga dari Tesso Nilo karena Provokator
Kemenhut Akui Sulit Relokasi Warga dari Tesso Nilo karena Provokator
Pemerintah
Energia Prima Nusantara Catat Kapasitas Listrik dari Pembangkit EBT Capai 162 MW
Energia Prima Nusantara Catat Kapasitas Listrik dari Pembangkit EBT Capai 162 MW
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau