JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia membuka terlalu banyak sesi pasar karbon selama perhelatan Konferensi Iklim ke-30 (KTT COP30) di Brasil.
Namun, skema perdagangan karbon yang ditawarkan Indonesia tidak menyertakan persyaratan tata kelola yang jelas. Apalagi, hingga saat ini, belum ada perlindungan hukum dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat yang akan terbebani dengan skema perdagangan karbon ke depannya.
"Salah satu pembahasan dalam COP30, lahan (hutan) adat yang diakui sebenarnya menjadi syarat material sebagai dasar produksi dalam sistem perekonomian masyarakat adat. Sampai saat ini, itu belum ada mekanismenya di Indonesia atau diakui setidaknya secara terstruktur dan legal," ujar Direktur Socio-Bioeconomy Celios, Fiorentina Refani di Jakarta, Selasa (25/11/2025).
Baca juga: CELIOS: RI Terlalu Jualan Hutan dan Laut di KTT COP30
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mengkhianati amanat Reformasi 1998 untuk desentralisasi kekuasaan dan justru bergerak ke arah resentralisasi kebijakan.
Di dalam konteks skema perdagangan karbon, segala keputusan berada di tangan pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah daerah yang diberikan beban berganda, menjadi korban dari skema perdagangan karbon.
"(Di tengah pemangkasan anggaran dan pemangkasan kebijakan pemerintah daerah, (keberadaan) pasar karbon sebenarnya menjadi momentum untuk mendukung masyarakat yang bekerja atau terintegrasi lebih erat dengan pemerintah daerah," tutur Fiorentina.
Selain itu, membangun ekosistem perdagangan karbon membutuhkan biaya sangat mahal. Indonesia perlu membangun berbagai infrastruktur untuk pemantauan, seperti satelit, untuk mendukung perdagangan karbon.
"Dengan infrastruktur ekonomi sekarang, arsitektur ekonomi sekarang, itu akan menjadi beban finansial sebenarnya bagi Indonesia," ucapnya.
Di sisi lain, harga karbon dari Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain, terutama di Eropa. Bahkan, nilai karbon Indonesia lebih rendah 10-25 kali lipat dari harga pasar global. Besarnya gap tersebut mencerminan ketimpangan asimetri kuasa dalam pasar global karbon.
Untuk terintegrasi ke dalam pasar karbon global, kata dia, Indonesia sebenarnya perlu investasi awal dengan biaya finansial yang besar untuk mempersiapkan infrastruktur monitoring sampai tata kelola.
Baca juga: Fokus Perdagangan Karbon, Misi RI di COP 30 Dinilai Terlalu Jualan
"Kami melihat ini sebagai jebakan finansial. Nantinya akan jadi beban finansial ketika pasar karbon ini diterapkan di Indonesia dengan (harga) terlalu jauh di bawah pasar global dan belum ada reformasi tata kelola," ujar Fiorentina.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya