Pariwisata merupakan salah satu sektor dengan potensi limbah tinggi. Tanpa sistem yang baik, limbah ini bisa merusak ekosistem sekitar.
Baca juga: Taman Safari Indonesia Hadiahkan Wuling Air EV Lite untuk Pemenang IAPVC 2025
TSI Cisarua menyadari hal ini lebih awal dan membangun fasilitas integrated waste management (IWM) yang dikelola Greenprosa untuk memastikan limbah dikelola sejak dari hulu hingga hilir.
Direktur Utama Greenprosa Arky Gilang Wahab menjelaskan bahwa volume sampah bisa mencapai puluhan ton pada akhir pekan dan libur panjang.
Hampir tiga perempatnya berupa sampah organik, terutama sisa makanan dari restoran dan hotel. Namun, karena suhu kawasan Puncak relatif rendah, proses composting konvensional tidak bisa berjalan optimal.
Untuk mengatasinya, TSI mengembangkan teknologi berbasis maggot black soldier fly (BSF). Dalam proses ini, sampah organik menjadi pakan bagi maggot yang kemudian dipanen menjadi minyak dan tepung bernilai ekonomi tinggi.
“Kami ingin pendekatannya tidak sekadar mengolah sampah, tetapi menciptakan ekonomi sirkular,” kata Arky.
Pendekatan tersebut terbukti efektif. IWM kini tidak hanya menyelesaikan persoalan sampah internal, tetapi juga memberi manfaat bagi masyarakat sekitar, mulai dari peternak ikan yang memanfaatkan tepung maggot hingga petani hortikultura yang memakai pupuk organik hasil kompos.
Selain sampah organik, IWM juga mengolah limbah anorganik dan residu. Sampah plastik dipilah untuk didaur ulang, kertas dikumpulkan untuk industri pengolahan ulang, sedangkan limbah residu diproses agar tidak mencemari tanah dan air.
Baca juga: Menteri LH Apresiasi Taman Safari Indonesia: Konservasi Alam Bukan Sekadar Komitmen, tetapi Tindakan
Seluruh sistem dirancang tertutup demi memastikan tidak ada sampah yang bocor ke lingkungan alam sekitar.
Upaya pengelolaan sampah itu kemudian dipadukan dengan visi jangka panjang TSI. Selama satu dekade ke depan, TSI Cisarua menargetkan diri menjadi pusat konservasi terintegrasi terbesar dan paling berpengaruh di Asia.
Visi itu menyatukan lima komponen besar, yakni kesejahteraan satwa kelas dunia, fasilitas pendidikan konservasi modern, riset dan kolaborasi global, ekspansi model konservasi, serta ekosistem wisata edukatif berbasis keberlanjutan.
Beberapa langkah konkret ke arah itu sudah terlihat. TSI berencana memperluas area hijau yang terhubung langsung dengan hutan TNGGP, mengembangkan pusat penelitian biodiversitas, serta menggunakan kendaraan listrik untuk mobilitas pengunjung.
TSI juga berencana mengembangkan aplikasi digital untuk edukasi dan navigasi wisata. Layanan ini memungkinkan pengunjung memahami ekosistem dan jejak lingkungan kunjungan mereka secara langsung.
Baca juga: Harapan Baru Konservasi: Trio Anak Harimau Sumatera Terpotret di Way Kambas
Momen Hari Keanekaragaman Hayati menjadi penanda penting bagi perjalanan tersebut. Setiap tahun, TSI Cisarua menggelar berbagai aktivitas edukasi, mulai dari pameran satwa langka, tur interpretatif, hingga lokakarya konservasi untuk pelajar.
Semua itu dirancang agar masyarakat memahami bahwa menjaga keberagaman hayati bukan hanya tugas lembaga besar, melainkan bagian dari tanggung jawab bersama.
Aswin menegaskan bahwa keberhasilan konservasi bergantung pada kolaborasi antara pengelola, masyarakat, dan pengunjung.
“Kita semua punya peran. Konservasi (bisa) bekerja jika publik ikut peduli,” tegasnya.
Dengan pendekatan konservasi berbasis sains, sistem pengelolaan sampah terpadu, dan pariwisata yang berdampak nyata, TSI Cisarua menunjukkan bahwa wisata dapat menjadi bagian dari solusi.
Pada momen Hari Keanekaragaman Hayati, pesan “melindungi alam berarti menjaga masa depan kita bersama” pun semakin kuat.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya