“Kami melihat shift besar. Orang datang tidak hanya ingin bersenang-senang. Mereka kini ingin tahu dampak yang mereka tinggalkan,” ujar Sere.
Baca juga: Safari Night di Taman Safari Bali, Ketemu Satwa Apa Saja?
TSI kemudian memperkuat konsep pariwisata berdampak (impactful tourism) yang menyatukan edukasi, konservasi, dan pemberdayaan masyarakat. Konsep ini memastikan bahwa setiap aktivitas wisata memiliki kontribusi positif, baik terhadap satwa, ekosistem, maupun komunitas lokal.
Salah satu bentuk nyata dari pendekatan itu adalah pengembangan pengalaman wisata berbasis edukasi.
Edukasi soal satwa dikembangkan menjadi sesi interpretatif dengan penjelasan mengenai perilaku alami satwa dan tantangan konservasi di alam.
Safari Journey yang ikonik pun diperkaya dengan papan informasi untuk memperkuat pemahaman pengunjung tentang ekosistem hutan pegunungan Jawa.
Program keeper talk juga diperluas agar pengunjung dapat mengenal satwa lebih dekat tanpa kontak yang berlebihan.
Sere mengatakan, perubahan itu diterima sangat baik oleh pengunjung.
“Pengunjung bisa menikmati pengalaman yang menyenangkan, tetapi juga pulang dengan pemahaman baru tentang pentingnya keanekaragaman hayati,” katanya.
Baca juga: Bersejarah, Taman Safari Indonesia Jalankan Inseminasi Panda Raksasa
Penerapan pariwisata berkelanjutan juga menyentuh pemberdayaan masyarakat sekitar. TSI Cisarua secara aktif melibatkan warga dalam berbagai aktivitas, mulai dari penanaman pohon, produksi kompos, hingga program edukasi lingkungan untuk sekolah-sekolah di kawasan Puncak, Cisarua.
Banyak pedagang kuliner dan pengrajin lokal mendapatkan manfaat ekonomi dari keberadaan TSI Cisarua.
Dari sisi ekologis, posisi TSI sebagai kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) membuat pengelolaan kawasan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Satwa-satwa yang berada di TSI tidak hanya dirawat untuk kepentingan edukasi, tetapi juga sebagai bagian dari upaya memperkuat populasi spesies endemik.
Beberapa keberhasilan konservasi penting, seperti pembiakan kodok merah bleeding tooth, program perawatan tapir dan anoa, hingga pelepasliaran harimau sumatera, lahir dari kawasan ini.
Sere menegaskan bahwa keberhasilan itu tidak mungkin tercapai tanpa keseimbangan antara wisata dan konservasi.
“Konservasi dan wisata bukan dua hal yang saling bertentangan. Keduanya bisa berjalan bersama jika dikelola dengan benar,” ujarnya.
Tak dapat dimungkiri, di balik kunjungan wisata, ada persoalan lingkungan yang sering tidak terlihat mata, yakni sampah.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya