BANJIR bandang dan tanah longsor yang meluluhlantakkan wilayah Sumatra minggu-minggu ini bukanlah takdir, melainkan sebuah pesan yang mengerikan bahwa kita sedang kalah perang. Bukan perang melawan alam, melainkan perang melawan sebuah bentuk kejahatan baru yang luput dari radar hukum kita: Ecological Tech Crime (Kejahatan Teknologi Ekologis)
Narasi klasik bahwa bencana ini semata akibat "Siklon Tropis Senyar" adalah penyederhanaan yang berbahaya. Hujan mungkin adalah pemicunya, namun kehancurannya diamplifikasi oleh teknologi.
Lihatlah Taman Nasional Tesso Nilo di Riau. Kawasan yang seharusnya menjadi penyangga hidrologis ini telah "dirampok" hingga tersisa kurang dari 20% tutupan hutan aslinya. Perubahan bentang alam sedrastis ini tidak terjadi secara manual. Pelaku menggunakan alat berat (ekskavator), chainsaw modern, dan pemetaan GPS untuk menyulap hutan hujan menjadi perkebunan sawit ilegal dalam skala masif dan waktu singkat.
Teknologi di sini bertindak sebagai akselerator kiamat ekologis. Mesin-mesin ini mempercepat laju air larian (run-off) ke sungai hingga berkali-kali lipat lebih cepat dibanding kemampuan tanah menyerap air. Akibatnya, saat hujan turun, air tidak lagi meresap, melainkan menerjang pemukiman sebagai banjir bandang.
Penebangan presisi di hutan Batang Toru adalah bukti lain bahwa kerusakan alam kini telah terindustrialisasi bukan lagi penebangan tradisional oleh warga.
Namun, tragedi ini juga menyingkap "dosa" lainnya, yaitu pembiaran negara. Di era di mana satelit dapat memantau deforestasi secara real-time, ketidaktahuan pemerintah adalah sebuah kemustahilan. Ini adalah bagian dari State-Facilitated Corporate Crime kejahatan korporasi yang difasilitasi oleh diamnya negara.
Tidak mungkin deforestasi sebanyak 257.384 hektar pada 2023 yang melingkupi 31 taman nasional, 45 cagar alam, dan 26 suaka margasatwa tidak terlihat. Pemerintah saja yang tutup mata akan keberadaannya.
Jika hukum Indonesia saat ini tumpul menghadapi fenomena ini, kita tidak perlu bingung mencari solusinya. Dunia internasional telah menyediakan preseden hukum yang bisa dan harus segera kita adopsi.
Baca juga: WALHI Tantang Menhut Raja Juli Tegas Usai Main Domino dengan Eks Tersangka Pembalak Liar
Kita sering mendengar alasan "secara administrasi izinnya lengkap" atau "menurut laporan konsultan, area itu aman." Alibi semacam ini runtuh jika kita melihat penanganan kasus jebolnya Bendungan Brumadinho di Brazil (2019). Bencana yang menewaskan 270 orang itu terjadi karena auditor keamanan memanipulasi data sensor digital agar bendungan terlihat stabil di atas kertas.
Brazil merespons dengan tegas. Mereka tidak menyebutnya "musibah", melainkan pembunuhan. Pengadilan menjatuhkan denda US$ 7 miliar kepada korporasi (Vale) dan memidana auditor yang memalsukan data tersebut.
Relevansinya untuk Sumatra sangat telak. Banyak izin tambang dan properti di zona merah bencana kita terbit berdasarkan dokumen AMDAL dan peta tata ruang digital yang dimanipulasi (Digital Zoning Fraud). Indonesia harus mengadopsi standar hukum Brazil: Jadikan manipulasi data lingkungan sebagai tindak pidana berat. Konsultan atau pejabat yang "menyulap" data zona merah menjadi hijau dalam sistem perizinan harus diadili setara dengan pelaku perusakan fisik.
Baca juga: Kata Menhut Raja Juli soal Main Domino Bareng Tersangka Pembalak Liar
Selain Brazil, kita bisa menengok Uni Eropa yang baru saja menerapkan EU Deforestation Regulation (EUDR). Aturan ini mewajibkan setiap komoditas memiliki data geolokasi (koordinat GPS) yang presisi. Jika sebuah perusahaan tidak bisa membuktikan secara digital bahwa sawit atau kayunya bukan berasal dari hutan lindung, produknya ilegal.
Bayangkan jika standar ini diterapkan di Sumatra. Pemerintah seharusnya mewajibkan "Digital Traceability" bagi seluruh alat berat yang beroperasi. Setiap ekskavator wajib memiliki GPS aktif yang terhubung ke server penegak hukum. Jika alat itu bergerak ke koordinat hutan lindung, sistem akan memberi peringatan, dan jika diabaikan, pemiliknya dipidana.
Teknologinya sudah ada. Yang tidak ada adalah kemauan politik (political will) untuk menerapkannya, karena transparansi adalah musuh bagi mafia sumber daya alam.
Dalam hukum lingkungan modern, kita mengenal asas Strict Liability atau Tanggung Jawab Mutlak atau merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan atau dikenal dengan istilah liability without fault. Artinya, jika terjadi bencana di wilayah konsesi perusahaan, jaksa tidak perlu lagi pusing membuktikan "niat jahat" atau kelalaian direksi.
Fakta bahwa (1) perusahaan beroperasi di sana, dan (2) bencana terjadi menyebabkan kerugian, sudah cukup untuk memaksa perusahaan membayar ganti rugi penuh dan pemulihan ekologis.
Asas ini sudah ada di UU PPLH kita (Pasal 88), namun penerapannya masih sangat minim dan seringkali kalah di pengadilan oleh dalih "bencana alam".
Kita harus mendesak Mahkamah Agung untuk menerbitkan pedoman bahwa dalam kasus bencana hidrometeorologi di wilayah konsesi, beban pembuktian harus dibalik (reverse burden of proof): Perusahaanlah yang harus membuktikan bahwa mereka tidak bersalah, bukan sebaliknya.
Terakhir, Puing-puing rumah di pesisir Sumatra dan lumpur yang menimbun jalanan adalah "Tempat Kejadian Perkara" (TKP). Ini adalah bukti kegagalan kita mengendalikan sisi gelap teknologi ekstraktif. Indonesia tidak perlu menciptakan roda baru. Instrumen hukum dari Brazil, Eropa, hingga Amerika (Lacey Act) sudah tersedia sebagai rujukan.
Pilihan kini ada di tangan pemerintah: Terus bersembunyi di balik narasi "takdir Tuhan", atau mulai mengadopsi hukum progresif untuk menyeret para penjahat teknologi ekologis ini ke pengadilan. Sumatra butuh keadilan, bukan sekadar bantuan sembako.
Baca juga: Pemerintah Bakal Telusuri Pembalak Liar yang Bikin Banjir Sumatera
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya