JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mengakui tak bisa rutin memantau lima juta unit usaha yang berdiri di Indonesia. Hal ini menyusul operasional perusahaan yang diduga memicu banjir bandang di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat akhir November lalu.
"Kami dari awal sudah melakukan evaluasi setelah kejadian ini, karena tidak semua lokasi bisa kami pantau setiap hari ya. Ada lima juta unit usaha di Indonesia dengan pengawasan dari provinsi sampai kabupaten jumlah tenaga pengawasnya kurang dari 3.000 orang," jelas Hanif di Jakarta Selatan, Senin (8/12/2025).
Baca juga:
Hanif tak menampik kritikan dari masyarakat usai banjir parah melanda tiga provinsi di Sumatera. Terlebih, sistem pemantauan dalam negeri belum terbangun sehingga pihaknya masih kesulitan memantau setiap daerah.
"Tentu saya tidak mau menghindari diri dari kesalahan ini, tetapi memang posisi dari kapasitas dan kapabilitas kami seperti itu," tambah dia.
Kata Hanif, banjir dan longsor di Sumut terjadi di lima daerah aliran sungai (DAS), antara lain DAS Batang Toru, DAS Garoga, DAS Badili, DAS Aek Pandan, serta DAS Sibuluan.
Sebelumnya, Kementerian Kehutanan mencatat 85 persen tutupan hutan di DAS itu telah berubah menjadi areal penggunaan lain (APL).
Kondisi yang sama terjadi di Sumatera Barat yakni di DAS Anai, Antokan, Banda Gadang, Masang Kanan, Masang Kiri, dan Ulakan Tapis. Penggunaan lahan di enam DAS itu didominasi APL dengan proporsi 45 sampai 98 persen.
Baca juga:
Foto udara kondisi jalan yang putus akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). Bencana banjir bandang yang terjadi pada Selasa (25/11) lalu menyebabkan rumah warga rusak, kendaraan hancur, jalan dan jembatan putus.Adapun saat ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memeriksa delapan perusahaan yag disinyalir memicu banjir di Sumatera.
KLH juga menghentikan operasional PT Agincourt Resources, PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III), PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) pengembang PLTA Batang Toru, dan satu entitas perusahaan.
"Hari ini delapan perusahaan dipanggil secara berkantian. Hari ini empat perusahaan, besok empat perusahaan yang memiliki persetujuan lingkungan di dalam daerah Alian Sungai Batang Toru," tutur Hanif.
Selain penghentian operasional, KLH mewajibkan audit lingkungan sebagai langkah pengendalian tekanan ekologis di hulu DAS yang memiliki fungsi vital bagi masyarakat.
Menurut Hanif, DAS Garoga menjadi wilayah paling terdampak lantaran satu desa tertimbun tanah. Berdasarkan penelusuran, perkebunan kelapa sawit milik entitas swasta terbangun di DAS ini.
Sementara itu, Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH, Rizal Irawan, menyatakan bahwa hasil pantauan udara menunjukkan adanya pembukaan lahan masif yang memperbesar tekanan DAS.
“Dari overview helikopter, terlihat jelas aktivitas pembukaan lahan untuk PLTA, hutan tanaman industri, pertambangan, dan kebun sawit. Tekanan ini memicu turunnya material kayu dan erosi dalam jumlah besar," papar Rizal.
"Kami akan terus memperluas pengawasan ke Batang Toru, Garoga, dan DAS lain di Sumatera Utara,” lanjut dia.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya