KOMPAS.com - Perdagangan global tetap stabil meski ada tarif, ketegangan geopolitik, dan penataan ulang rantai pasokan. Bahkan, pada awal 2025, perdagangan diprediksi tumbuh 4 persen, menentang prediksi adanya perlambatan.
Namun laporan Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) 2025 memperingatkan bahwa stabilitas perdagangan itu sebenarnya menutupi kerentanan yang lebih dalam yakni sistem keuangan yang membiayainya.
Laporan menyebut, fondasi keuangan global sedang rapuh dan sedang digoyahkan oleh serangkaian faktor yang meliputi krisis iklim dan tekanan ekonomi makro.
Rebeca Grynspan, sekretaris jenderal UNCTAD mengungkapkan perdagangan bukan hanya kumpulan pemasok.
“Ini juga merupakan rangkaian jalur kredit, sistem pembayaran, pasar valuta asing, dan arus modal. Dan perubahan iklim sedang menekan semua itu sekaligus," katanya dikutip dari Down to Earth, Rabu (3/12/2025)
Baca juga: Perdagangan Global Picu Kenaikan Emisi Metana yang Berbahaya
Lebih dari 90 persen perdagangan global kini bergantung pada pembiayaan perdagangan (trade finance) misalnya surat kredit, pembiayaan rantai pasok, jaminan, platform kliring digital, dan derivatif yang memungkinkan eksportir dan importir bertukar bisnis lintas negara.
Itu berarti mesin nyata perdagangan dunia adalah neraca keuangan bukan pabrik.
Gambarannya, di balik setiap pengiriman terdapat penilaian kredit. Di balik setiap kontainer, terdapat nilai tukar. Di balik setiap rantai pasok, terdapat jaringan bank koresponden.
Namun, sistem pembiayaan perdagangan global sekarang berada di bawah tekanan dan hal ini paling parah dirasakan di negara-negara berkembang.
Perubahan iklim juga mempercepat tekanan tersebut.
Seiring meningkatnya dampak iklim seperti badai, gelombang panas, kekeringan, dampak tersebut semakin diperhitungkan dalam pasar keuangan.
Misalnya saja, bank memperketat model risiko, biaya asuransi melonjak, jaminan ekspor menyusut, dan negara-negara yang menghadapi guncangan iklim berulang kehilangan kelayakan kredit. Hal tersebut membatasi akses mereka ke pembiayaan perdagangan justru ketika mereka sangat membutuhkannya.
Menurut UNCTAD, peristiwa cuaca ekstrem meningkatkan risiko gagal bayar di industri pertanian dan komoditas. Di negara-negara yang rentan terhadap dampak iklim, volatilitas mata uang meningkatkan biaya lindung nilai.
Lembaga keuangan sedang mengevaluasi kembali kelayakan pemberian pinjaman kepada eksportir di wilayah dengan risiko tinggi.
Baca juga: Perdagangan Pangan Global: Hemat Air buat Negara Kaya, Picu Krisis untuk yang Miskin
Transisi hijau berisiko pula memperlebar kesenjangan ini. Eksportir tanpa akses ke pembiayaan perdagangan yang terjangkau tidak dapat meningkatkan produksi, memenuhi standar hijau, membeli peralatan yang lebih bersih, atau berintegrasi ke dalam rantai nilai global rendah karbon.
Masa depan yang selaras dengan iklim, menurut UNCTAD, akan ditentukan tidak hanya oleh pilihan energi tetapi juga oleh siapa yang mengendalikan jalur keuangan perdagangan.
Laporan UNCTAD menyimpulkan: krisis iklim kini adalah risiko finansial, bukan hanya risiko lingkungan. Dampaknya yang mendalam dan mendasar ini secara paksa mendefinisikan ulang cara kerja perdagangan internasional.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut UNCTAD pun merekomendasikan beberapa hal: jaminan publik untuk ekonomi rentan iklim, likuiditas kontrasiklus dari bank multilateral, reformasi risiko volatilitas mata uang, platform pembiayaan regional non dolar, dan juga aturan global untuk standar hijau.
Jika sistem keuangan tidak diperbaiki untuk mengatasi risiko iklim dan tekanan likuiditas perdagangan global akan menjadi semakin terfragmentasi, bukan karena rantai pasok gagal, tetapi karena keuangan gagal terlebih dahulu dalam menyediakan pembiayaan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya