KOMPAS.com - Selama ini kita hanya melihat hasil sebuah perdagangan pangan global terpampang di rak-rak supermarket, misalnya saja produk beras yang asalnya dari Vietnam.
Namun, yang sering tidak kita sadari adalah perdagangan pangan global ini ternyata secara tidak langsung mengakibatkan krisis air di negara miskin.
Mengapa bisa begitu? Mari kita uraikan.
Melansir Earth, Jumat (29/8/2025), ketika suatu negara mengimpor pangan, itu berarti menghemat air. Hal itu terjadi karena tanaman ditanam di tempat lain dan menggunakan air milik negara lain.
Negara-negara yang lebih kaya mampu melakukan hal ini. Dengan membeli pangan, mereka mengurangi tekanan pada pasokan air mereka sendiri.
Baca juga: Krisis Air Picu Kelaparan, Retno Marsudi Ungkap 3 Solusinya
Di sisi lain, negara-negara pengekspor pangan kehilangan air. Air tertanam dalam setiap ton jagung, kedelai, atau gula yang mereka kirim ke luar negeri. Dan ketika hilang, itu tidak akan kembali, menjadikan air langka di banyak negara pengekspor.
Mudah untuk menganggap sistem ini saling menguntungkan, tetapi kenyataannya tidak sesederhana itu.
Sebuah laporan baru dari UN Institute for Water, Environment and Health menunjukkan bahwa meskipun perdagangan makanan dapat mengurangi tekanan air di banyak tempat, hal ini juga bisa memperburuk keadaan di tempat lain terutama bagi orang-orang yang tinggal di daerah miskin.
Menurut laporan tersebut, transfer air virtual melalui perdagangan makanan pada umumnya mengurangi kelangkaan air bagi sebagian besar populasi global.
Namun, pada saat yang sama, transfer ini justru memperparah kekurangan air bagi jutaan orang lainnya, terutama mereka yang tinggal di komunitas berpenghasilan rendah.
Ini adalah sebuah kontras yang tajam.
Misalnya, China Utara, sebagian Eropa, dan Afrika Utara meraih keuntungan nyata dalam hal penghematan air berkat perdagangan global.
Namun, tempat-tempat seperti India, Pakistan, Australia bagian timur, dan AS bagian tengah tidak seberuntung itu. Mereka berada di posisi yang sulit atau bahkan semakin tenggelam dalam kelangkaan air.
"Bentuk perdagangan air virtual ini mencerminkan pola ketidakadilan lingkungan yang lebih luas di seluruh dunia. Biaya dan risiko lingkungan semakin dialihkan dari pihak yang mampu menanggungnya kepada pihak yang tidak mampu," kata Profesor Kaveh Madani, Direktur UNU-INWEH dan salah satu penulis laporan tersebut.
Masalahnya tidak hanya sebatas geografi, tetapi juga terkait pendapatan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya