Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
BANJIR bandang di Tapanuli Selatan dan Aceh bukan sekadar air bah yang meluap dari langit. Ia adalah wajah peradaban yang sedang muntah, memuntahkan ribuan batang kayu besar ke pemukiman, menenggelamkan rumah dan mimpi.
Kayu-kayu itu bukan sembarang pohon tumbang. Mereka memiliki tato: barcode kuning, nomor seri merah, kulit yang dikupas rapi. Bagi mata awam, mungkin hanya puing bencana. Namun bagi siapa pun yang mau jujur, mereka adalah mayat bernomor yang sedang bersaksi.
Alam tidak pernah berbohong. Manusialah yang piawai memanipulasi kebenaran. Label SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) yang seharusnya menjadi jaminan kelestarian justru menempel pada batang yang menghancurkan desa.
Jean Baudrillard pernah memperingatkan tentang simulacra—salinan palsu yang menggantikan realitas. SVLK kini menjelma simulakra administratif: di atas kertas kayu itu sah, tetapi di lapangan ia menjadi instrumen kematian.
Investigasi mengungkap keterlibatan nama-nama perusahaan sawit dalam pembukaan lahan. Legalitas dokumen dipakai sebagai anestesi publik: selama ada izin, dianggap aman. Padahal sertifikat tidak bisa menahan tanah jenuh air, tidak bisa membendung energi ribuan ton kayu yang meluncur dari bukit.
Kita sedang mengalami myopia risiko ekologis. Demi efisiensi biaya angkut, nyawa manusia di hilir dipertaruhkan. Disonansi kognitif ini menyakitkan: ekspor kayu legal dibanggakan ke Eropa, sementara rakyat sendiri tenggelam dihantam produk kebanggaan itu. SVLK, yang seharusnya melindungi hutan, berubah menjadi stempel legalisasi praktik yang membunuh ekosistem dan manusia.
Lebih jauh, tragedi ini memperlihatkan paradoks birokrasi: negara sibuk menata dokumen, sementara alam menata kuburan. Kita terjebak dalam ilusi bahwa administrasi mampu menggantikan etika ekologis. Padahal, ketika banjir datang, yang tersisa hanyalah lumpur, trauma, dan label yang kehilangan makna.
Baca juga: Kejagung Ungkap 1 Perusahaan Diproses Pidana terkait Banjir Sumatera
Kayu-kayu gelondongan yang terdampar di pantai Kabupaten Pesisir Barat, Minggu (7/12/2025).Jika berdiri di tepi Aek Garoga, naluri akan berteriak ada yang salah. Kayu-kayu itu seragam: diameter konsisten, panjang presisi, kulit dikupas rapi. Alam tidak bekerja dengan gergaji industri. Keseragaman ini adalah jejak forensik yang membungkam argumen naif tentang longsor alami.
Kayu bernomor itu adalah stok dagangan, inventory yang ditimbun menunggu harga atau cuaca baik. Manajemen penyimpanan dilakukan dengan kelalaian kriminal. Dalam kriminologi, pelaku menggunakan teknik netralisasi psikologis: “pinjam bendera” korporasi untuk mencuci tangan. Tanggung jawab dikaburkan melalui lapisan birokrasi. Ketika bencana terjadi, mereka berlindung di balik istilah force majeure.
Padahal menumpuk kayu industri di zona merah banjir adalah kesengajaan. Hati nurani tumpul, tertutup mekanisme pertahanan diri yang menolak rasa bersalah. Sementara keluarga korban harus mengais sisa hidup di antara batang kayu yang memberi keuntungan segelintir orang. Fenomena ini menunjukkan intensi ekonomi mendahului bencana.
Banjir bukan sekadar curah hujan ekstrem, melainkan hasil akumulasi keputusan bisnis yang mengabaikan ekologi. Gelondong bernomor itu adalah bukti bahwa kapitalisme hutan telah melampaui batas moral: menjadikan sungai sebagai gudang, desa sebagai korban, dan izin sebagai tameng.
Kita menyaksikan bagaimana logistik industri berubah menjadi logistik kematian. Seragamnya batang kayu adalah tanda bahwa alam telah dipaksa tunduk pada kalkulasi pasar. Di titik ini, bencana bukan lagi peristiwa alamiah, melainkan konsekuensi sistemik dari ekonomi ekstraktif yang menolak akuntabilitas.
Lebih ironis lagi, masyarakat lokal yang menjadi korban sering kali dipaksa menerima narasi resmi: bahwa ini hanyalah musibah alam. Padahal mereka tahu, dari bau kayu basah yang seragam, dari luka yang ditinggalkan batang-batang itu, bahwa tragedi ini adalah hasil tangan manusia. Kesaksian warga yang melihat tumpukan kayu di hulu sebelum banjir adalah bukti yang tak bisa dihapus dengan tinta birokrasi.
Baca juga: Aparat Gunakan Pasal Tindak Pidana Lingkungan Hidup-TPPU Usut Kayu Gelondongan di Tapsel
Foto udara kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Desa Geudumbak, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, Aceh, Jumat (5/12/2025). Kayu gelondongan tersebut menumpuk di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Arakundo pasca diterjang banjir bandang pada Rabu (26/11) yang menimpa puluhan rumah warga di desa setempat.
Apakah kita akan membiarkan siklus “banjir-bantuan-lupa” berulang? Emosi harus dikonversi menjadi tuntutan sistemik. Hukum konvensional terbukti gagap menghadapi kejahatan lingkungan yang berlindung di balik izin legal. Kita butuh terobosan melampaui sekadar memenjarakan operator lapangan. Solusi ada pada transparansi tanpa kompromi.
Teknologi blockchain dalam pelacakan kayu, sebagaimana studi Seedtrack (2024), harus diadopsi mutlak. Bayangkan sistem di mana setiap batang pohon memiliki identitas digital kekal, mencatat koordinat tebang dan posisi tumpukan real-time.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya