Terdapat beberapa alasan mengapa banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukanlah bencana alam, melainkan kegagalan tata kelola sistemik.
Pertama, pengabaian daya dukung lingkungan melalui perizinan secara masif yang diterbitkan di hulu daerah aliran sungai (DAS).
Kedua, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Audit ekologis dan verifikasi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) di lapangan tidak berjalan optimal, yang membiarkan pelangagran terjadi.
Ketiga, kebijakan yang tertawan kepentingan modal. Dominasi konsesi berbasis komoditas ekstraktif menunjukkan prioritas pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek, bukan keberlanjutan ekologis jangka panjang.
Baca juga: Menteri LH Sebut Gelondongan Kayu Terseret Banjir Sumatera Bisa Dimanfaatkan
Sebelumnya, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian menganggap, krisis iklim yang dipicu kebijakan bercorak ekonomi-politik memperparah dampak banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barta.
Siklon tropis senyar, yang sebenarnya fenomena langka, terbentuk seiring semakin tingginya pemanasan muka air laut akibat krisis iklim. Siklon tropis yang biasanya terjadi di lautan dan kawasan pesisir, saat inimulai sering ke daratan akibat krisis iklim.
Kayu pohon berukuran besar yang terbawa arus banjir tersangkut di atap bangunan Pondok Pesantren Darul Mukhlisin Aceh Tamiang, Jumat (13/12/2025).Di sisi lain, infrastruktur ekologis di daratan, seperti hutan, sudah tidak mampu menahan daya rusak dari siklon tropis. Infrastruktur ekologis yang rapuh meningkatkan kerentanan dalam menghadapi berbagai ancaman iklim, seperti siklon tropis, La Nina, hingga El Nino.
Sebaliknya, penguatan infrastruktur ekologis menjadi bagian dari upaya adaptasi dan mitigasi krisis iklim.
Kerapuhan infrastruktur ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat erat kaitannya dengan deforestasi. Bahkan, banyak sekali izin usaha yang diberikan pemerintah untuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam di Pegunungan Bukit Barisan. Di antaranya, sektor pertambangan, perkebunan sawit, dan proyek energi.
Walhi mencatat lebih dari 600 perusahaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang kegiatan eksploitasi sumber daya alamnya memperparah kerapuhan infrastruktur ekologis.
"Jadi memang kebijakan-kebijakan nasional yang menargetkan pertumbuhan ekonomi delapan persen sebenarnya mempengaruhi kerentanan kita dan memicu krisis iklim semakin parah ya," ujar Uli dalam konferensi pers, Senin (1/12/2025).
Baca juga: Viral Kayu Gelondongan Hanyut Saat Banjir, Kemenhut Telusuri Asalnya
Ia menilai, target pertumbuhan ekonomi delapan persen bisa mengancam jutaan penduduk Indonesia dalam empat tahun ke depan, bukan hanya di ketiga provinsi tersebut.
Hal ini mengingat logika pertumbuhan ekonomi senantiasa berupaya menggenjot produksi dan konsumsi secara beriringan. Kenaikan produksi akan berdampak terhadap eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi peningkatan konsumsi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya