KOMPAS.com - Tumpukan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, disebut menjadi bukti degradasi fungsi hutan. Tumpukan kayu gelondongan kemungkinan dapat terseret banjir akibat erosi parah, aktivitas pembalakan liar berskala besar, penebangan kayu secara ilegal, atau praktik pencucian kayu (wood laundering).
Hutan berfungsi untuk mengatur tata air. Kanopi pepohonan di hutan bisa menahan 15-25 persen air hujan agar tidak langsung jatuh jatuh ke tanah. Dari segi porositas, pori-pori akar pohon dapat menyerap puluhan hingga ribuan liter air.
Baca juga:
Menurut Guru Besar Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU), Muhammad Basyuni, tumpukan kayu gelondongan sebenarnya indikator awal kerusakan ekosistem yang sistemik dan tak terbantahkan.
Bahkan, banyak ditemukan kayu gelondongan dari pohon endemik di Tapanuli, yang menunjukkan adanya rantai pasok ilegal secara terorganisasi.
"Harusnya sungai itu membawa air yang jernih ya, ternyata membawa material-material yang tidak pernah dibayangkan oleh masyarakat ya, seperti pasir, batu, kayu-kayu gelondongan itu banyak yang rapi-rapi," ujar Basyuni dalam webinar, Sabtu (27/12/2025).
BANJIR SUMATERA: Petugas Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh mengambil sampel kayu gelondongan yang terbawa arus luapan Sungai Tamiang, di area pasantren Islam Terpadu Darul Mukhlishin, Desa Tanjung Karang, Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (19/12/2025). Kemenhut telah mengirim tim verifikasi dan membentuk tim investigasi gabungan bersama Polri untuk menelusuri asal-usul kayu gelondongan yang ditemukan pascabencana banjir di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Provinsi Aceh. Basyuni mengkritik narasi "anomali cuaca" sebagai biang kerok banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang disuarakan berbagai pihak, termasuk akademisi.
Ia menilai, siklon tropis senyar hanya pemicu dari banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Utara. Sementara itu, penghilangan tutupan hutan (deforestasi) dan kegagalan tata ruang menjadi faktor amplifikasi atau penyebabnya, yang mengubah pemicu menjadi bencana besar.
"Ada anomali siklon senyar yang disalahkan. Jadi, sebenarnya kalau secara jujur itu tidak ilmiah," tutur Basyuni.
Daya rusak banjir bandang, kata dia, mengungkapkan kehilangan tutupan hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang telah melampaui ambang batas.
Ia menggangap, curah hujan tinggi yang dipicu siklon tropis senyar hanya akan menyebabkan banjir akibat air sungai meluap, jika luas tutupan hutan di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat masih jauh di atas ambang batas.
Mengutip data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), deforestasi di ketiga provinsi tersebut mencapai 1,4 juta hektar selama periode tahun 2016-2025. Deforestasi disebut hampir merata di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
"Menyalahkan cuaca saja itu bukan sesuatu yang bijak," ucapnya.
Baca juga:
Warga melintas di antara tumpukan kayu yang dipotong dan ditata warga, untuk sampai ke pusat Desa Sekumur, Aceh Tamiang, Selasa (16/12/2025).Terdapat beberapa alasan mengapa banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukanlah bencana alam, melainkan kegagalan tata kelola sistemik.
Pertama, pengabaian daya dukung lingkungan melalui perizinan secara masif yang diterbitkan di hulu daerah aliran sungai (DAS).
Kedua, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Audit ekologis dan verifikasi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) di lapangan tidak berjalan optimal, yang membiarkan pelangagran terjadi.
Ketiga, kebijakan yang tertawan kepentingan modal. Dominasi konsesi berbasis komoditas ekstraktif menunjukkan prioritas pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek, bukan keberlanjutan ekologis jangka panjang.
Baca juga: Menteri LH Sebut Gelondongan Kayu Terseret Banjir Sumatera Bisa Dimanfaatkan
Sebelumnya, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian menganggap, krisis iklim yang dipicu kebijakan bercorak ekonomi-politik memperparah dampak banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barta.
Siklon tropis senyar, yang sebenarnya fenomena langka, terbentuk seiring semakin tingginya pemanasan muka air laut akibat krisis iklim. Siklon tropis yang biasanya terjadi di lautan dan kawasan pesisir, saat inimulai sering ke daratan akibat krisis iklim.
Kayu pohon berukuran besar yang terbawa arus banjir tersangkut di atap bangunan Pondok Pesantren Darul Mukhlisin Aceh Tamiang, Jumat (13/12/2025).Di sisi lain, infrastruktur ekologis di daratan, seperti hutan, sudah tidak mampu menahan daya rusak dari siklon tropis. Infrastruktur ekologis yang rapuh meningkatkan kerentanan dalam menghadapi berbagai ancaman iklim, seperti siklon tropis, La Nina, hingga El Nino.
Sebaliknya, penguatan infrastruktur ekologis menjadi bagian dari upaya adaptasi dan mitigasi krisis iklim.
Kerapuhan infrastruktur ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat erat kaitannya dengan deforestasi. Bahkan, banyak sekali izin usaha yang diberikan pemerintah untuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam di Pegunungan Bukit Barisan. Di antaranya, sektor pertambangan, perkebunan sawit, dan proyek energi.
Walhi mencatat lebih dari 600 perusahaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang kegiatan eksploitasi sumber daya alamnya memperparah kerapuhan infrastruktur ekologis.
"Jadi memang kebijakan-kebijakan nasional yang menargetkan pertumbuhan ekonomi delapan persen sebenarnya mempengaruhi kerentanan kita dan memicu krisis iklim semakin parah ya," ujar Uli dalam konferensi pers, Senin (1/12/2025).
Baca juga: Viral Kayu Gelondongan Hanyut Saat Banjir, Kemenhut Telusuri Asalnya
Ia menilai, target pertumbuhan ekonomi delapan persen bisa mengancam jutaan penduduk Indonesia dalam empat tahun ke depan, bukan hanya di ketiga provinsi tersebut.
Hal ini mengingat logika pertumbuhan ekonomi senantiasa berupaya menggenjot produksi dan konsumsi secara beriringan. Kenaikan produksi akan berdampak terhadap eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi peningkatan konsumsi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya