Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
RAPAT kerja Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dibuka dengan diskusi terbuka pada 9 Desember 2025.
Saya menjadi salah satu narasumber mewakili Sekretaris Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, bersama Penasihat Utama Menteri Kehutanan, dan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University.
Organisasi yang beranggotakan kurang lebih 426 pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan tersebut menyematkan tema rekonfigurasi hulu hilir hasil hutan untuk penyusunan rencana kerja tahun 2026.
Pidato kunci Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Kehutanan menyiratkan beberapa pesan.
Pertama, industri hutan sedang memasuki masa senja. Ia mengingatkan bahwa setelah senja datang di ufuk barat, maka sang surya akan kembali terbit keesokan pagi.
Optimisme dan semangat untuk bangkit disampaikan kepada ratusan pengusaha hutan yang hadir.
Kedua, industri hutan menghadapi tantangan besar seiring derasnya tudingan yang diarahkan pada kegiatan usaha sektor tersebut sebagai salah satu penyebab utama (driving force) kejadian bencana banjir dan tanah longsor.
Baca juga: Alam Minangkabau dan Guru yang Marah
Ketiga, data faktual menunjukkan pola ruang kawasan hutan Indonesia telah mengalami perubahan sedemikian rupa, berakibat pada inkonsistensi penetapan zona sesuai peruntukannya.
Keempat, industri hutan dituntut mengikuti prinsip pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management) secara konsekuen memastikan pemanfaatan secara adil dan berkelanjutan.
Kelima, kerangka bisnis sektor kehutanan sudah waktunya mengoptimalkan potensi non-timber seperti hasil hutan bukan kayu dan jasa ekosistem termasuk imbal jasa karbon sebagai sumber pembiayaan alternatif yang lebih berkelanjutan di masa depan.
Presiden Prabowo Subianto menuangkan kerangka prioritas pembangunan nasional periode 2025-2029 dalam bentuk Asta Cita.
Poin ke-2 menegaskan misi kedaulatan energi untuk diwujudkan melalui, salah satu yang utama, percepatan hilirisasi dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana poin ke-5.
Komitmen politik percepatan hilirisasi tidak hanya difokuskan sektor mineral, batu bara, minyak dan gas bumi. Sektor prioritas lain juga diutamakan, termasuk kehutanan, pertanian serta kelautan dan perikanan.
Selain untuk meningkatkan nilai tambah dan mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi, hilirisasi juga diarahkan untuk memperkuat terwujudnya kedaulatan energi nasional, sebuah hajat kolektif negara yang tidak bisa lagi ditunda.
Sumber daya besar hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu berpotensi mendukung hajat nasional tersebut.
Menteri Kehutanan selaku Wakil Ketua Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi dalam rapat perdana 17 Januari 2025 memaparkan, kontribusi sektor kehutanan terhadap pengembangan energi terbarukan dapat dilakukan melalui pembangunan hutan tanaman energi untuk memproduksi bioenergi dan bioetanol.
Komoditas nyamplung, kaliandra, kepuh, gamal, dan kemiri sunan malapari adalah sumber utama penghasil bioenergi dalam bentuk wood pellet dan biofuel. Sedangkan bioetanol dapat diproduksi dari pengolahan aren, nira, singkong, tebu dan sorgum.
Nilai tambah berlipat juga dapat dihasilkan melalui hilirisasi. Industri pulp dan kertas, kayu lapis (plywood) dan wood pellet untuk biomassa merupakan produk akhir dari pengolahan hasil hutan kayu.
Getah pinus sebagai bagian dari hasil hutan bukan kayu juga dapat dioptimalkan menjadi gondorukem dan terpentin, bahkan turunan produk derivatif yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.
Baca juga: Hukum (Bukan) untuk Oligarki
Komoditas aren digadang-gadang sebagai produk unggulan hasil hutan bukan kayu untuk menopang ketahanan energi nasional.
Kementerian Kehutanan merencanakan penanaman satu juta hektar aren pada kawasan hutan dari Sumatera sampai Papua, kemudian dibangun industri hilir pengolahan menjadi 24 juta kilo liter bioetanol setiap tahun.
Proyeksi angka produksi bioetanol aren tersebut mereka sebut sebagai ikhtiar untuk substitusi impor bahan bakar minyak (BBM) nasional.
Novita, Basuki dkk. (2022) merilis laporan penting yang dipublikasikan pada jurnal internasional bertajuk Natural Climate Solutions (NCS).
Mereka mengidentifikasi sekitar 26 juta hektar kawasan hutan mineral, lahan gambut dan mangrove berpotensi menghasilkan kredit karbon sebesar 1,3 giga ton setara CO2 setiap tahun.
Data tersebut menyingkap masa depan baru ekonomi kehutanan, dari yang bertumpu pada produksi kayu menuju pendanaan berkelanjutan jasa ekosistem, khususnya dari pengembangan imbal jasa karbon.
Berbagai kalangan kerap mempertanyakan tren penurunan kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kontribusi subsektor kehutanan dan penebangan kayu rerata lima belas tahun terakhir hanya 0,7 persen, di mana terjadi penurunan dari 0,85 persen (2010) menjadi 0,61 persen (2024).
Para ilmuwan dan praktisi kehutanan memberikan pembelaan, bahwa nilai manfaat sektor kehutanan tidak boleh hanya dinilai dari nilai barang dan jasa seperti yang digunakan pada perhitungan produk domestik bruto (PDB).
Sumber air, penangkapan emisi gas rumah kaca, dan keanekaragaman hayati juga aset ekonomi yang jauh lebih besar.
Baca juga: Penantian Tobat Ekologis
Menghindari perdebatan dua madzhab (ekonomi dan ekologi) tersebut, penulis menilai potensi ekonomi imbal jasa karbon sangat besar.
Merujuk publikasi Trove Research (2023), proyeksi harga satuan unit karbon dari sektor kehutanan, khususnya kredit REDD+, diperkirakan mencapai 52,8 dollar AS per ton CO2 pada 2030.
Estimasi kredit karbon hutan Indonesia sebesar 1,3 giga ton setara CO2 per tahun tersebut berpotensi menghasilkan nilai transaksi sebesar 68,73 miliar dollar AS atau setara lebih dari Rp 1.099 triliun.
Apabila kinerja industri kayu serta pengembangan dan pengelolaan hasil hutan kayu berjalan dengan konstan, ditambah potensi pendapatan dari imbal jasa karbon, maka pada 2030 sektor kehutanan akan berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian nasional.
Perhitungan di atas dapat diperkirakan peningkatan kontribusi dari rerata 0,7 persen (2010-2024) menjadi 5,3 persen pada 2030.
Keresahan dan kekhawatiran dari pelaku usaha hutan bahwa industri kayu sedang memasuki masa senja memang valid.
Namun, harapan untuk bangkit dengan rekonfigurasi hulu hilir serta optimalisasi jasa ekosistem akan menyuntikkan harapan baru: kejayaan sektor kehutanan akan segera tiba esok pagi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya