KOMPAS.com - Indonesia perlu mendorong integrasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan ekonomi digital untuk mengakses pasar dan mendapatkan pembiayaan.
Direktur Program INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan Indonesia juga perlu mengintegrasikan sektor industri dengan investasi teknologi tinggi (high-tech) dan teknologi menengah (medium-tech).
Ini dilakukan mengingat investasi teknologi informasi dan komunikasi pada sektor industri di negara-negara maju sudah melibatkan robotisasi dan internet of things (IoT).
Namun demikian, di sisi lain, pemanfaatan teknologi berpotensi menggantikan penggunaan tenaga kerja.
Baca juga: AI Jadi Ancaman Jutaan Pekerjaan di Asia, Ini Peringatan PBB
"Masalah yang kita hadapi adalah kerentanan pada struktur tenaga kerja yang masih banyak berupa lulusan sekolah, SMK, kemudian S1 atau fresh graduate yang belum dapat pekerjaan atau banyak juga yang kemudian akan tergeserkan dengan adanya penggunaan robotisasi dan teknologi yang tinggi," ujar Eisha Maghfiruha Rachbini dalam webinar, Senin (29/12/2025).
Menurutnya, kemajuan teknologi semestinya diarahkan bukan untuk menggantikan, melainkan sebagai komplementer atau sesuatu yang saling melengkapi, dengan dioperasikan oleh manusia.
Karena itu, tenaga kerja di Indonesia harus dibekali keterampilan dalam mengoperasikan teknologi tinggi agar dapat berkontribusi meningkatkan produktivitas.
Investasi ICT diprediksi akan terus meningkat di tingkat global. Bahkan, selama periode tahun 2020-2024, investasi ICT naik dua kali lipat dari 64 dolar AS, menjadi 124 dolar AS. Artificial intelligence (AI) bisa berdampak positif jika pemerintah memiliki regulasi yang memadai, serta memfasilitasi program pasar tenaga kerja untuk peningkatan keterampilan dan reskilling.
Di sisi lain, AI dapat menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi jika Indonesia tidak mampu memanfaatkannya.
"Perkembangan digital AI ini ada dampak positifnya di satu sisi. Ini meningkatkan produktivitas dan ini menjadi kunci untuk pertumbuhan di 2026 ke depan," tutur Eisha.
Direktur Kolaborasi Internasional INDEF, Imaduddin Abdullah menilai, Indonesia gagal untuk berpindah dari industri bernilai tambah rendah ke industri bernilai tambah tinggi. Indonesia perlu meniru China untuk bisa perlahan-lahan bergeser ke industri dengan nilai tabah tinggi.
Sekitar 20 tahun lalu, China masih mengandalan industri bernilai tambah rendah. China enggak mempedulikan nilai tambah rendahnya, yang terpenting saat itu dapat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Namun, perlahan-lahan China mampu menjadi negara dengan industri bernilai tambah tinggi, karena beberapa hal.
Pertama, mengadopsi teknologi. Kedua, berinvestasi untuk recearch and develpment (R&D). Ketiga, peningkatan keterampilan sumber daya manusia (SDM).
"Mereka yang tadinya di bawah kita (pada 1998), tapi sekarang produktivitas industrinya hampir tiga kali lipat dari kita, ya karena mereka berhasil mewujudkan prasyarat-prasyarat tadi," ucapnya.
Menurut Imaduddin, ketiga hal tersebut kurang mendapatkan perhatian di Indonesia. Misalnya, industri tekstil di Indonesia memang pernah berjaya pada 1980-an dengan mengandalan produksi secara massal. Akan tetapi, industri tekstil di Indonesia tidak beranjak ke arah untuk memiliki nilai tambah tinggi.
Indonesia tidak mengincar pasar yang mencari tekstil dengan kualitas lebih tinggi. Imbasnya, Indonesia sekarang bersaing dengan Bangladesh, Pakistan, atau negara-negara di Afrika yang biaya tenaga kerjanya murah.
Untuk investasi R&D di Indonesia, kata dia, hanya di bawah 1 persen terhadap produk dometik bruto (PDB) atau jauh lebih rendah darpada negara-negara lain. Selain itu, kualitas tenaga kerja di Indonesia mayoritas lulusan pendidikan menengah ke bawah. Yang mempunyai keterampilan mengoperasikan teknologi tinggi relatif terbatas.
Di luar itu, Indonesia masih belum bisa menyelesaikan permasalahan dalam negeri, seperti industri dengan biaya tinggi dibandingkan negara-negara tertangga. Imbasnya, investasi berkualitas yang dapat mendorong produktivitas lebih tinggi akan lebih memilih negara-negara tertangga daripada masuk ke Indonesia.
Produktivitas industri Indonesia tertinggal dari negara-negara tertangga. Nilai tambah per pekerja yang lebih rendah daripada negara-negara tetangga menunjukkan keterbatasan efisiensi dan kapabilitas produksi industri nasional.
"Kita disusul oleh China ya, yang tahun 1998 di bawah kita dalam hal produktivitas sektor industrinya, tetapi di tahun 2023, mereka hampir dua kali lipat dari kita dalam hal produktivitas sektor industri," tutur Imaduddin.
Industrialisasi di Indonesia belum diiringi dengan pendalaman teknologi dan keterampilan. Kesenjangan produktivitas mencerminkan lemahnya adopsi teknologi, rendahnya aktivitas inovasi, serta keterbatasan peningkatan keterampilan tenaga kerja industri.
Produktivitas yang tertahan, kata dia, membatasi kenaikan upah dan daya saing. Ruang bagi peningkatan upah rill pekerja dan penguatan daya saing industri di Indonesia akan tetap sempit jika produktivitas tidak meningkat secara signifikan.
Jika kualitas produktivitas sektor industri tidak dibenahi, maka daya saing Indonesia akan semakin tertinggal di level global.
"Kita mungkin dulu bersaing dengan China, Malaysia, Filipina, Thailand misalnya ya, tetapi mungkin ke depan kita akan bersaing dengan negara-negara seperti Bangladesh, Pakistan, Ethiopia, dan sebagainya, yang mana mereka menawarkan biaya tenaga kerja yang jauh lebih murah dibandingkan kita," ucapnya.
Penciptaan lapangan kerja pada sektor manufaktur di Indonesia cenderung menurun dan fluktuatif. Kenaikan daya serap sektor manufaktur hanya bersifat sementara dan tidak struktural. Jadi, tidak menggambarkan perubahan mendasar dalam pola industrialisasi.
Selain itu, menguatnya indikasi jobless industrialisation atau pertumbuhan industri tidak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja. Tren penurunan daya serap tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor manufaktur semakin padat modal.
Baca juga: UN Women Peringatkan, Kekerasan Digital Berbasis AI Ancam Perempuan
"Patut kita khawatirkan adalah ada beberapa subsektor industri yang seperti tekstil dan pakaian jadi, lalu industri kayu, barang dari kayu, yang kontribusi penyerapan tenaga kerja besar. Tapi sayangnya pertumbuhannya di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan, industri kayu dan barang dari kayu ini pertumbuhannya di bawah nol," ucapnya.
Kendati produk domestik bruto (PDB) telah pulih pasca pandemi Covid-19, upah riil relatif tidak mengalami perbaikan atau tetap stagnan. Jumlah pekerja dengan status penuh waktu terus menyusut pasca pandemi Covid-19. Di saat bersamaan, pekerja dengan status setengah manganggur malah mengalami peningkatan.
"Pemerintah menyampaikan bahwa pengangguran terus mengalami penurunan, tapi kalau kita lihat sebenarnya ada kualitas tenaga kerja, kualitas lapangan pekerjaan yang sebenarnya tidak sebaik dari angka yang ditampilkan," ujar Imaduddin.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya