Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 13 Juni 2023, 18:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Adanya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive di smelter nikel menjadi ironi transisi energi yang digaungkan pemerintah.

PLTU batu bara captive adalah pembangkit yang dioperasikan oleh perusahaan tertentu duntuk menyuplai pasokan listriknya sendiri.

Hal tersebut disampaikan Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Fanny Tri Jambore atau akrab disapa Rere dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (12/6/2023).

Dalam kesempatan tersebut, Walhi Sulawesi Tengah, Walhi Sulawesi Tenggara, dan Walhi Sulawesi Selatan memaparkan adanya PLTU captive di sejumlah smelter nikel di Sulawesi beserta dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.

Baca juga: Walhi Sebut PLTU Captive Berdampak Buruk bagi Lingkungan dan Masyarakat

Nikel adalah salah satu komponen penting dalam kendaraan listrik. Dan ekosistem kendaraan listrik menjadi salah satu upaya transisi energi di Indonesia untuk menekan emisi karbon.

"Akan tetapi seluruh proses pembangunan ekosistem kendaraan listrik ini ternyata justru memberikan dampak luar biasa. Emisi tidak ditekan karena operasi PLTU pakai batu bara," kata Rere.

Belum lagi perubahan lahan untuk penambangan nikel yang akan melepaskan karbon ke udara.

Rere menyampaikan, saat ini ada 1 juta hektare lahan yg diberikan konsesi ke perusahan nikel dan 700.000 hektare di antaranya adalah kawasan hutan.

Baca juga: Ini 12 PLTU yang Bisa Dipensiunkan Dini Tahun Ini

Dia menuturkan, jika seluruh lahan konsesi dibuka maka akan ada 83 juta ton emisi karbon yang lepas ke udara akibat perubahan lahan.

"Tentu ini bukan transisi energi yang kita bayangkan atau ingingkan, ini adalah bentuk dari proses ekstraksi operasi keruk," kata Rere.

Setiap pembangunan PLTU batu bara biasa, tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.

Di satu sisi, pembangunan PLTU batu bara captive bersifat tertutup dan bergantung pada masing-masing perusahaan.

Baca juga: Pembatalan PLTU Batu Bara Efektif Pangkas Emisi, Ini Alasannya

Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tenggara Andi Rahman mengatakan, karena ketertutupan itulah sangat sulit untuk melacak pembangunan dan kapasitas PLTU captive.

Andi meminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan rencana pembangunan PLTU captive karena tidak membuka datanya ke publik maupun pemerintah.

"Kami harus melakukan banyak cara untuk mendapatkan informasi (mengenai PLTU captive). Padahal dampak dari PLTU mereka yang menerima adalah masyarakat dan lingkungan kita," kata Andi.

Baca juga: Taksonomi Terbaru ASEAN Diluncurkan, Dukung Penutupan PLTU

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
BRIN Fokus Riset Pengelolaan Sampah, Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Energi
BRIN Fokus Riset Pengelolaan Sampah, Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Energi
Pemerintah
Menteri LH Hanif Nilai Indonesia Belum Siap Hadapi Krisis Iklim, Sibuk Cari Cara Turunkan Emisi
Menteri LH Hanif Nilai Indonesia Belum Siap Hadapi Krisis Iklim, Sibuk Cari Cara Turunkan Emisi
Pemerintah
Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
LSM/Figur
Menteri LH Hanif Soal COP30, Negara Dunia Masih Berdebat dan Krisis Iklim Terabaikan
Menteri LH Hanif Soal COP30, Negara Dunia Masih Berdebat dan Krisis Iklim Terabaikan
Pemerintah
Ketika Alam Dirusak, Jangan Salahkan Alam
Ketika Alam Dirusak, Jangan Salahkan Alam
Pemerintah
Perluasan Kota Ancam Akses Air Bersih pada 2050, Ini Studinya
Perluasan Kota Ancam Akses Air Bersih pada 2050, Ini Studinya
Swasta
Ratusan Ilmuwan Tandatangani Deklarasi Dartington, Desak Pemimpin Dunia Atasi Perubahan Iklim
Ratusan Ilmuwan Tandatangani Deklarasi Dartington, Desak Pemimpin Dunia Atasi Perubahan Iklim
Pemerintah
Tak Lepas dari Ancaman, Bahan Kimia Abadi Ditemukan di Hewan Laut
Tak Lepas dari Ancaman, Bahan Kimia Abadi Ditemukan di Hewan Laut
LSM/Figur
Kemenhut Bantah Tudingan Bupati Tapsel soal Beri Izin Penebangan Hutan Sebelum Banjir
Kemenhut Bantah Tudingan Bupati Tapsel soal Beri Izin Penebangan Hutan Sebelum Banjir
Pemerintah
SCG Pangkas Emisi lewat Semen Rendah Karbon dan Efisiensi Energi
SCG Pangkas Emisi lewat Semen Rendah Karbon dan Efisiensi Energi
Swasta
Banjir Sumatera Dipicu Deforestasi, Mayoritas Daerah Aliran Sungai Kritis
Banjir Sumatera Dipicu Deforestasi, Mayoritas Daerah Aliran Sungai Kritis
LSM/Figur
Industri Manufaktur Sumbang 17 Persen PDB, Kemenperin Kembangkan Industri Hijau
Industri Manufaktur Sumbang 17 Persen PDB, Kemenperin Kembangkan Industri Hijau
Pemerintah
UNDP: Kesenjangan Pembangunan Antarnegara Bisa Melebar akibat AI
UNDP: Kesenjangan Pembangunan Antarnegara Bisa Melebar akibat AI
Pemerintah
Banjir, Illegal Logging, dan Hak Publik atas Lingkungan yang Aman
Banjir, Illegal Logging, dan Hak Publik atas Lingkungan yang Aman
Pemerintah
Bencana Sumatera: Refleksi Kolektif untuk Taubat Ekologis
Bencana Sumatera: Refleksi Kolektif untuk Taubat Ekologis
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau