KOMPAS.com - Keberadaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive di sejumlah smelter nikel dikritik keras oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) karena berdampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat.
PLTU batu bara captive adalah pembangkit yang dioperasikan oleh perusahaan tertentu untuk menyuplai pasokan listriknya sendiri.
Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tengah Sunardi Katili mengatakan, beroperasinya PLTU captive di dua smelter di Kabupaten Morowali memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat.
Baca juga: PLTU Kawasan Industri Dinilai Hambat Indonesia Tarik Investasi Hijau
Berdasarkan investigasi Walhi Sulawesi Tengah, PLTU captive di salah satu smelter disinyalir menyebarkan gas beracun di sejumlah dusun di Desa Bunta, Kabupaten Morowali.
Sunardi menambahkan, pembangunan PLTU captive tersebut juga turut membendung sungai tanpa sepengetahuan warga.
"Dikahawatirkan bila hujan deras, sugai meluap dan mengancam merendam sawah dan permukiman di sekitarnya," kata Sunardi dalam konferensi pers bertajuk "Operasi PLTU Captive Merusak Ekologi dan Kehidupan Rakyat Pulau Sulawesi" yang digelar oleh Walhi, Senin (12/6/2023).
Sunardi menambahkan, para nelayan terpaksa berhenti menangkap ikan di sekitar gerbang masuk mobilisasi batu bara untuk menyuplai bahan bakar ke PLTU captive tersebut.
Baca juga: Ini 12 PLTU yang Bisa Dipensiunkan Dini Tahun Ini
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tenggara Andi Rahman turut menyampaikan dampak dari PLTU captive di smelter nikel di Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Utara.
Andi menuturkan, Walhi Sulawesi Tenggara melakukan investigasi selama lima bulan terkait dampak PLTU captive terhadap lingkungan dan masyarakat.
Berdasarkan data dari Puskemas Morosi, Konawe, ada peningkatan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dalam tiga tahun terakhir.
Baca juga: Pembatalan PLTU Batu Bara Efektif Pangkas Emisi, Ini Alasannya
Pada 2020, penderita penyakit ISPA di puskesmas tersebut sebanyak 440 kasus. Pada 2021, jumlahnya naik menjadi 704 kasus. Dan pada 2022, jumlahnya naik lagi menjadi 796 kasus.
"Berdasarkan pendalaman kami dengan mengajak ahli dan akademisi berdiskusi, paparan debu hitam pembakaran batu bara di PLTU kemungkinan penyebab meningkatnya angka penyakit ini (ISPA)," kata Andi.
Andi menuturkan, kebutuhan air bersih masyarakat di sekitar PLTU captive juga tidak terpenuhi karena tercemar debu pembakaran batu bara.
Selain itu, 151 hektare tambak milik masyarakat juga tercemar dan tidak bisa digunakan lagi.
Baca juga: Taksonomi Terbaru ASEAN Diluncurkan, Dukung Penutupan PLTU
Walhi Sulawesi Tengah, Walhi Sulawesi Tenggara, dan Walhi Sulawesi Selatan membentuk aliansi yang dinamakan Aliansi Sulawesi Terbarukan.
Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Selatan Muhammad Al Amin menyampaikan, investigasi dampak PLTU captive tersebut merupakan langkah awal Aliansi Sulawesi Terbarukan untuk mengawal isu tersebut.
Dia menambahkan, pihaknya berharap dapat mendorong pemerintah menghentikan PLTU captive di Sulawesi, baik yang sudah ada maupun yang akan dibangun.
Al Amin mendesak pemanfaatan energi terbarukan untuk menyuplai kebutuhan energi di smelter yang ada.
"Mulai dari (energi) angin, matahari, dan lain-lain. Kami berharap pemanfaatan energi tetap tidak mengorbankan hak rakyat dan lingkungan," kata Al Amin.
Baca juga: PLTU Kawasan Industri Dinilai Hambat Indonesia Tarik Investasi Hijau
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya