Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/03/2023, 06:00 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Limbah batu bara tak lagi masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Hal ini menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Limbah batu bara yang dikeluarkan dari kategori B3 adalah limbah yang bersumber dari proses pembakaran batu bara pada fasilitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau dari kegiatan lain yang menggunakan teknologi selain stocker boiler dan/atau tungku industri.

Untuk diketahui, PP tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Berdasarkan lampiran 14 PP Nomor 22 Tahun 2021 disebutkan, jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash (FABA).

Pada bagian penjelasan Pasal 459 huruf C PP 22/2021 diatur FABA hasil pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tak termasuk sebagai limbah B3, tetapi non-B3.

Baca juga: Inovasi Toyota: Sulap Kotoran Ayam Jadi Bahan Bakar Kendaraan

Apa yang dimaksud dengan FABA?

Dikutip dari pemberitaan Kompas.com pada 2021 lalu, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iwan Setiawan mengatakan, FABA merupakan produk sisa dari pembakaran batu bara.

"Batu bara yang dibakar itu menghasilkan produk sisa berupa material-material yang 'terbang' dan 'terendapkan', yang terbang itu disebut fly ash, yang mengendap di bawah itu bottom ash," kata Iwan.

Iwan mengatakan, secara fisik, FABA terlihat seperti debu halus atau pasir halus, mirip seperti abu yang dikeluarkan oleh gunung api.

Bedanya, FABA memiliki tekstur yang sedikit lebih halus jika dibandingkan dengan abu vulkanik yang kasar seperti pasir. Dia menambahkan, wujud fisik dari limbah tersebut juga dapat dengan mudah dilihat oleh mata manusia.

Pro-kontra

Pengeluaran limbah batu bara FABA dari daftar limbah B3 menuai sejumlah pro-kontra di kalangan masyarakat.

Sebagian pihak secara vokal menyuarakan bahwa penghapusan kedua jenis limbah itu dari daftar limbah B3 justru akan berdampak kontraproduktif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat yang tinggal di dekat area PLTU.

Di sisi lain, sebagian pihak lainnya mengatakan bahwa FABA tidak hanya membawa dampak negatif saja, karena kedua jenis limbah itu juga bisa diolah menjadi sesuatu yang bernilai, salah satunya untuk membuat batako.

Senyawa berharga di dalam limbah Iwan membenarkan, FABA memang masih bisa dimanfaatkan atau diolah kembali sebagai salah satu campuran untuk membuat batako.

"Abu terbang dan abu yang terendapkan itu memang masih bisa diolah. Itu bisa jadi media partisi ruangan, dan batu bata ringan itu bisa," kata Iwan.

Baca juga: Limbah Batu Bara FABA Bisa Jadi Beton Mutu Tinggi

Namun menurut Iwan, saat ini ada temuan menarik terkait potensi pemanfaatan limbah FABA yakni ditemukannya kandungan REE atau unsur tanah jarang (rare earth) pada kedua jenis limbah batu bara tersebut.

"Sekarang itu yang lebih menariknya untuk ini REE, atau unsur tanah jarang. Jadi pada abu itu, menurut para peneliti kandungan REE-nya 10 kali lebih kaya dari REE pada batu bara-nya," katanya lagi.

Temuan soal kandungan REE yang kaya pada FABA itu, membuat kedua jenis limbah batu bara tersebut menjadi menarik untuk diolah kembali, namun tidak hanya sekadar untuk membuat batako.

"REE atau unsur tanah jarang itu adalah unsur strategis yang sekarang itu sedang viral-lah ya. Jadi itu (REE) yang dibicarakan oleh Pak Luhut Binsar Pandjaitan (Menko Kemaritiman dan Investasi) sama pak Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan), untuk kepentingan material industri pertahanan," kata dia.

Unsur tanah jarang itu dapat digunakan sebagai bahan untuk banyak industri maju, termasuk untuk smartphone dan teknologi pertahanan, seperti radar, persenjataan, laser, dan pesawat anti-radar.

Meski demikian, Iwan tidak menampik, limbah FABA memang memiliki potensi negatif memengaruhi kualitas lingkungan hidup dan masyarakat.

"Saya tidak tahu persis kalau dampaknya ke lingkungan. Ya ada, tapi bisa di-treatment. Cuma kalau treatment-nya seperti apa saya kurang tahu," kata Iwan.

Sehubungan dengan pengeluaran FABA dari daftar limbah B3, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, kebijakan tersebut merupakan bentuk kejahatan sistematis terhadap masyarakat pesisir.

Koordinator JATAM Merah Johansyah mengatakan, FABA memiliki potensi mencemari sungai dan laut yang menjadi pusat kehidupan masyarakat pesisir.

"Limbah ini kalau tercemar ke air membuat biota ikan mati, itu terjadi baik di masyarakat yang hidup di pesisir sungai dan laut. Padahal 82 persen perusahaan batu bara di Indonesia letaknya di wilayah pesisir. Jadi ini kejahatan sistematis pemerintah pada masyarakat pesisir," kata Merah, seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (12/3/2021).

Menurut Merah, pemerintah hanya menghitung potensi investasi yang didapat dari pengeluaran FABA dari daftar limbah B3, namun mengabaikan ancaman kerusakan lingkungan yang dapat terjadi sebagai implikasi dari penerbitan aturan tersebut.

Padahal masyarakat di sekitar PLTU batu bara itu menghadapi kematian dini. Mereka paru-parunya hitam, dan juga terkena kanker," ujar Merah.

Saat ini pengawasan hukum pada pengelolaan limbah FABA masih bermasalah. Apalagi, kata dia, jika dua jenis limbah batu bara tersebut dikeluarkan dari kategori limbah B3.

"Penegakan hukumnya akan keropos, pengawasan lemah, akan membuat perusahaan batu bara makin ugal-ugalan. Jadi peraturan pemerintah ini tidak tepat dikatakan untuk perlindungan lingkungan hidup," kata Merah.

 

Penulis: Jawahir Gustav Rizal | Editor: Sari Hardiyanto

 

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com