JAKARTA, KOMPAS.com - Upaya-upaya yang tengah dilakukan Indonesia dalam mencegah kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius adalah dengan mengendalikan perubahan iklim melalui sektor kehutanan.
Komitmen Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contributions (NDC) sektor kehutanan memiliki presentase terbesar yakni 17,4 persen dibandingkan dengan sektor lainnya. Sebut saja sektor Energi 12,5 persen, Industri 0,2 persen, Pertanian 0,3 persen, dan Limbah 1,4 persen.
Hutan Indonesia dengan pepohonan di dalamnya, dapat menyerap sumber utama emisi yaitu karbon dioksida atau CO2 dan mengubahnya menjadi oksigen atau O2.
Pemerintah pun telah bertekad untuk meningkatkan ambisi penurunan emisi melalui Strategi Jangka Panjang Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim atau Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050).
Sektor kehutanan dan lahan atau Forest and Other Land Use (FOLU) akan mencapai net sink pada tahun 2030 dan selanjutnya sektor FOLU juga akan berfungsi sebagai penyerap karbon sektor lain.
Baca juga: Jelang Pemilu 2024, Risiko Perusakan Hutan Dikhawatirkan Meningkat
Dalam dokumen LTS-LCCR 2050, Indonesia membangun skenario dengan hitungan yang cukup rumit, diproyeksikan bahwa sektor FOLU akan mampu mencapai kondisi Net Sink mulai tahun 2030.
Skenario ini dibangun berdasarkan hasil kinerja bersama dalam melakukan koreksi kebijakan dan koreksi aksi sektor kehutanan.
Termasuk mangrove, gambut, karhutla, dan sebagainya selama lebih dari tujuh tahun terakhir, yang didukung oleh hasil pencermatan mendalam atas berbagai persoalan sektor kehutanan yang telah berlangsung selama belasan hingga puluhan tahun.
FOLU Net Sink 2030 adalah sebuah kondisi yang ingin dicapai melalui aksi mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan lahan dengan kondisi dimana tingkat serapan sudah lebih tinggi dari tingkat emisi pada tahun 2030.
Menurut Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Ruandha A Sugardiman, kebijakan ini lahir sebagai bentuk keseriusan Indonesia dalam rangka mengurangi emisi GRK serta mengendalikan perubahan iklim yang terjadi beserta dampaknya.
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 diamanatkan di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Baca juga: El Nino Bikin Potensi Kebakaran Hutan Berlipatganda
Pada Pasal 3 Ayat (4) disebutkan, pengurangan emisi GRK utamanya didukung oleh sektor kehutanan sebagai penyimpan karbon dengan pendekatan carbon net sink (penyerapan karbon bersih yang merujuk pada jumlah penyerapan emisi karbon yang jauh lebih banyak dari yang dilepaskannya).
"Program ini menggunakan empat strategi utama, yaitu menghindari deforestasi; konservasi dan pengelolaan hutan lestari; perlindungan dan restorasi lahan gambut; serta peningkatan serapan karbon," kata Ruandha.
Komitmen Indonesia melalui Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 mendorong tercapainya tingkat emisi GRK sebesar minus (-) 140 juta ton CO2e pada tahun 2030 dan dilaksanakan melalui pendekatan yang terstruktur dan sistematis.
Sektor FOLU memiliki peran besar dalam upaya pencapaian target Net Zero Emission (NZE) nasional, dari net emitor menjadi penyerap bersih GRK.
Baca juga: 65 Persen Wilayah IKN Dijadikan Hutan Tropis, Jumlah Penduduk Maksimal 1,9 Juta Jiwa
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168 Tahun 2022, terdapat 5 bidang dalam susunan tim FOLU Net Sink 2030 di antaranya: Bidang I Pengelolaan Hutan Lestari; Bidang II Peningkatan Cadangan Karbon; Bidang III Konservasi; Bidang IV Pengelolaan Ekosistem Gambut; dan Bidang V Instrumen dan Informasi.
Ada 15 kegiatan aksi mitigasi Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, yaitu:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya