BANGKA, KOMPAS.com - Pemerintah sedang menggodok tiga lokasi pertambangan rakyat (WPR) di Kepulauan Bangka Belitung.
Ditargetkan pada Semester Pertama 2024, WPR sudah terealisasi yang selanjutnya bakal diikuti dengan izin pertambangan rakyat (IPR).
Berbekal cadangan timah yang melimpah, WPR di Bangka Belitung ini merupakan bagian dari upaya pertanggungjawaban lingkungan dan penerimaan negara.
Kepala Dinas Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) Bangka Belitung Amir Syahbana mengatakan, pemerintah daerah sedang menunggu proses anggaran untuk mematangkan konsep WPR hingga diterbitkannya IPR.
Baca juga: Polemik Tambang dalam Kawasan Hutan Lindung
Karena saat ini sudah menjelang akhir tahun, maka realisasi program kerja diperkirakan baru tercapai pada pertengahan 2024.
"Untuk konsultasi dan lelang misalnya, kita tunggu anggaran. Paling memungkinkan itu realisasinya pertengahan 2024," kata Amir di Bangka, Senin (7/8/2023).
Amir mengungkapkan, tiga lokasi WPR yakni di Belitung Timur, Bangka Selatan dan Bangka Tengah yang mencakup 123 Blok dengan luasan mencapai 8.606 hektar.
Rinciannya Bangka Tengah dengan konsesi terluas 89 blok (6.521 hektar). Kemudian Kabupaten Bangka Selatan dengan jumlah 17 blok (1.105 hektar), dan Belitung Timur dengan 17 blok (980 hektar).
Sebelum dikeruk, pengguna WPR terlebih dahulu harus mengantongi IPR yang diterbitkan gubernur.
Perpres No 55 Tahun 2022 mendelegasikan pada gubernur untuk menerbitkan IPR. Untuk itu ada sejumlah dokumen yang harus dilengkapi para calon penambang.
Baca juga: Sedotan Purun Belitung, dari Lahan Bekas Tambang ke Panggung Dunia
"Timah sebagai material tambang di Bangka Belitung adalah anugerah yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya," ujar Amir.
Konsep WPR ini telah terakomodasi dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 116.K/MB.01/MEM.B/2022. Selanjutnya diperbarui lagi dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 46.K/MB.01/MEM.B/2023 tentang Wilayah Pertambangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dengan adanya WPR dan IPR, kata Amir, kegiatan penambangan akan lebih terarah dan memiliki pertanggungjawaban. Masyarakat tidak perlu lagi merasa was-was karena sudah dilegalkan pemerintah.
"Ini bisa menjadi percontohan juga secara nasional," beber Amir.
Sebagai gambaran, kata Amir, proses penambangan di WPR akan memiliki standart operating procedure (SOP) yang wajib dipatuhi.
Para penambang pun diprioritaskan masyarakat setempat dan adanya surat keterangan dari pemerintahan desa.
Direktur Utama PT Timah Tbk Ahmad Dani Virsal mengatakan perusahaan siap untuk mendukung sistem tambang rakyat.
Melalui pola kemitraan, kata Dani, harus ada sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi salah satunya soal standar keselamatan kerja.
Baca juga: BRIN Siap Gandeng Ady, Petani Padi di Lahan Bekas Tambang Bauksit
"Kemitraan di PT Timah sudah berjalan sejak lama. Tentunya dengan WPR semuanya akan lebih terarah dan baik bagi masyarakat dan juga lingkungan," ujar Dani.
Proses penambangan pada masa depan, akan lebih mengedepankan inovasi. Sebab cadangan timah semakin berada di dalam lapisan tanah.
Dalam waktu bersamaan, perusahaan juga harus menerapkan efisiensi guna menghadapi kondisi global yang kerap berubah.
"Memang kita harus berinovasi tapi juga harus efisien. Kondisi saat ini memang butuh teknologi. Seperti di perairan dalamnya cuma satu meter, tapi yang harus digali 35 meter," pungkas Dani.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya