KOMPAS.com – Luas es laut Antarktika di Kutub Selatan terus mencair. Penyusutannya pada Juli tahun ini memecahkan rekor, 15 persen di bawah rata-rata bulanan.
Sepanjang Juni, batas es laut Antarktika juga masih jauh di bawah rata-rata luas tahunan.
Laporan tersebut disampaikan layanan pemantau iklim bentukan Uni Eropa, Copernicus Climate Change Service (C3S), dalam laporan terbarunya.
Baca juga: Luas Es Laut Antarktika Pecahkan Rekor Terendah pada Juni
Wilayah es laut yang konsentrasinya paling rendah di bawah rata-rata adalah di Weddell utara, Bellingshausen timur, dan Laut Ross utara.
Sementara itu, ada juga wilayah yang komposisi es lautnya di atas rata-rata, yakni di sektor Laut Amundsen yang luas.
Di belahan Bumi lain, yakni di Arktik di Kutub Utara, luas es lautnya pada Juli tahun ini juga menyusut di bawah rata-rata.
Sebagian besar Samudra Arktik konsentrasi es lautnya di bawah rata-rata. Akan tetapi, di utara pantai Siberia utara, konsentrasi es lautnya masih di atas rata-rata.
Baca juga: Juli 2023 Dinobatkan Sebagai Bulan Terpanas, Darat dan Laut Dilanda Suhu Tinggi
Wakil Direktur C3S Samantha Burgess mengatakan, dunia baru saja menyaksikan pecahnya rekor baru suhu udara global dan suhu permukaan laut global.
“Rekor ini memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi manusia dan planet yang terpapar peristiwa ekstrem yang semakin sering dan intens,” kata Burgess dalam keterangan persnya, Selasa (8/8/2023).
Burgess mengatakan, 2023 saat ini menjadi tahun terhangat ketiga dengan rata-rata suhu naik 0,43 derajat celsius.
“Rata-rata suhu global pada bulan Juli sebesar 1,5 derajat celsius di atas tingkat praindustri,” ucap Burgess.
Baca juga: Penelitian: 4 dari 5 Orang di Seluruh Dunia Merasa Juli 2023 Sangat Panas
“Meski hanya sementara, ini menunjukkan urgensi upaya ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global, yang merupakan pendorong utama di balik rekor ini,” sambungnya.
Dari Januari hingga Juli 2023, rata-rata suhu global tahun ini adalah rekor tertinggi ketiga, yakni meningkat 0,43 derajat celsius dibandingkan rata-rata tahun 1991 hingga 2020.
Rekor tahun dengan suhu rata-rata tertinggi pertama dan kedua masing-masing terjadi pada 2016 yaitu menghangat 0,49 derajat celsius dan 2020 dengan kenaikan 0,48 derajat celsius.
“Perbedaan suhu antara 2023 dan 2016 diperkirakan akan menyempit dalam beberapa bulan mendatang, karena bulan-bulan terakhir tahun 2016 relatif dingin,” kata Burgess.
“Sedangkan sisa tahun 2023 diperkirakan akan relatif hangat karena saat ini El Nino masih berkembang,” sambungnya.
Baca juga: Senin 3 Juli, Bumi Alami Hari Terpanas Sepanjang Sejarah
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya