Penelitian mengatakan, hutan dengan pohon berdaun jarum mampu membuat 60 persen air hujan terserap tanah.
Sedangkan hutan dengan pohon berdaun lebar mampu membuat 80 persen air hujan terserap tanah.
Makin rapat pohon yang ada dan makin berlapis-lapis strata tajuknya, makin tinggi pula air hujan yang terserap kedalam tanah, bahkan hampir 100 persen air hujan terserap tanah.
Oleh karena itu, dalam penyediaan bibit dengan jumlah yang cukup banyak dengan karakteristik jenis berbeda-beda seperti di Mentawir diperlukan persemaian modern yang tidak saja untuk menghasilkan bibit berkualitas tinggi, tetapi juga bibit dalam jumlah massal.
Salah satu ciri khas persemaian modern adalah bibit yang dihasilkan dari biji tidak menggunakan media tanah dan polybag (kantong plastik), tetapi dengan media khusus (seperti serabut kelapa, ampas tebu dan sejenisnya) dicampur dengan hara tanaman berdosis tinggi yang dimasukkan dalam tabung-tabung plastik.
Saat siap tanam, bibit-bibit tersebut dapat langsung dicabut dari tabungnya. Berat bibit dari persemaian modern ini akan lebih ringan 10 kali dibanding dengan bibit dengan media tanah dan polybag-nya.
Ciri lain persemaian modern adalah kebutuhan air untuk tanaman tidak akan pernah putus dan selalu tersedia sprinkle air yang selalu menyemprot setiap saat.
Di samping itu, cahaya matahari yang masuk dapat diatur dengan net (jaring) khusus sesuai dengan prosentase cahaya yang dikehendaki jenis tanaman.
Beberapa jenis Dipterocarpaceae merupakan jenis intoleran. Maka sejak anakan membutuhkan cahaya terbatas dibanding jenis-jenis toleran.
Teknologi persemaian modern ini telah dikenal di Indonesia pada saat Departemen Kehutanan bekerja dengan pemerintah Finlandia awal 1990, dengan membangun persemaian modern di beberapa daerah di Indonesia.
Biaya membangun persemaian modern memang lebih mahal dibanding dengan persemaian konvensional. Namun bibit yang akan dihasilkan jauh lebih berkualitas dan dalam jumlah massal. Akankah Mentawir nantinya juga menggunakan teknologi modern seperti ini?
Tidak mudah membangun dan mengembangkan hutan tropika basah dengan jenis endimik asli Kalimantan seperti enis meranti, kapur/kamper, blangeran dan sejenisnya, yang masuk dalam keluarga Dipterocarpaceae dengan pertumbuhan lambat.
Meskipun bibit yang disiapkan berkualitas tinggi dari hasil persemaian modern, namun dalam proses penanaman di lapangan perlu pemeliharaan, pengawasan, dan pengawalan ketat hingga bibit tumbuh, besar, dan menjadi pohon dewasa.
Paradigma rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang selama ini digunakan, yakni hanya dipelihara dan dikawal sampai umur tanaman 3 tahun dan selebihnya diserahkan pada mekanisme alam, nampaknya tidak sesuai dengan pembangunan hutan di IKN.
Intinya adalah pastikan bibit tanaman pohon yang ditanam harus dapat tumbuh sampai menjadi pohon dewasa sehat bagaimanapun caranya dan berapapun biayanya.
Khusus untuk jenis intoleran seperti Dipterocarpaceae, waktu yang dibutuhkan untuk menjadi pohon dewasa tidak sama dengan jenis toleran seperti eukaliptus yang minimal cukup 15 tahun menjadi pohon dewasa.
Bisa jadi jenis intoleran menjadi pohon dewasa membutuhkan waktu lebih lama lagi minimal 30 – 40 tahun lagi.
Jadi untuk melihat wajah forest city IKN Nusantara yang sesungguhnya, kita harus bersabar menunggu proses dan waktu yang cukup panjang, apalagi luas hutan yang dibangun 975 – 1.275 kalinya luas Kebun Raya Bogor. Kita tunggu saja progres lebih lanjut.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya