KOMPAS.com – Koalisi Keadilan Iklim menilai pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disampaikan pada 16 Agustus belum menunjukkan urgensi pemerintah mewujudkan keadilan iklim.
Koalisi Keadilan Iklim diinisiasi oleh sejumlah organisasi seperti Yayasan Pikul, Yayasan Madani Berkelanjutan, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Kelola.
Direktur Eksekutif Yayasan Pikul Torry Kuswardono menuturkan, rancangan APBN 2024 hanya mengangkat capaian pertumbuhan ekonomi dan tahun politik.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim Sangat Nyata, Banyak Wilayah Indonesia Tergenang Permanen
“Namun luput mengedepankan komitmen dan upaya nyata dalam penanganan perubahan iklim yang berkeadilan,” ujar Torry dalam siaran pers bersama Koalisi Keadilan Iklim, Senin (21/8/2023).
Torry menilai, lingkungan hidup dan perubahan iklim masih dilihat secara sektoral. Sementara, pertumbuhan ekonomi diperlakukan sebagai semata pertumbuhan.
“Pemerintah tidak memperhitungkan kerusakan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim sebagai faktor pengurang pertumbuhan ekonomi,” kata Torry.
“Padahal kenyataannya, kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim cukup besar, serta berdampak pada progres ketahanan dan kesejahteraan masyarakat,” imbuhnya.
Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Kebakaran Hutan di Eropa Makin Ganas
Torry menambahkan, ide-ide besar dalam pidato presiden belum menjawab persoalan mendasar terkait perwujudan keadilan.
“Salah satunya manfaat bagi kelompok paling rentan di masyarakat seperti petani dan nelayan, masyarakat adat dan komunitas lokal, penyandang disabilitas, anak-anak dan lansia, dan kaum miskin perkotaan,” tutur Torry.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menyampaikan, pihaknya mengapresiasi arahan presiden soal transformasi ekonomi hijau.
Dia bertutur, pemanfaatan nilai ekonomi hayati dan investasi hijau memang harus didorong sepenuh tenaga.
Baca juga: Pidato Jokowi tentang Hilirisasi Nikel, Walhi: Tak Peduli Krisis Iklim
“Namun, kami melihat bahwa fakta di lapangan, niatan tersebut dijalankan secara sebaliknya. Ekonomi hijau kerap disederhanakan sebagai perdagangan karbon, dengan penguasaan ekonomi masih berada pada kekuatan elite,” tutur Nadia.
Sementara, ujar Nadia, rakyat yang paling berpotensi terkena dampak malah tetap terpinggirkan.
“Ditambah belum adanya kerangka pengaman yang harus diterapkan untuk memastikan mekanisme ini benar-benar akan menurunkan emisi. Akhirnya, ekonomi hijau hanya menjadi sebuah alat untuk menyejahterakan elite, tapi mengabaikan urusan emisi,” ucap Nadia.
Nadia berujar, konsep pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau seharusnya dilandaskan pada kesadaran batas ekologis dan ketersediaan sumber daya alam yang tidak kekal.
Baca juga: Krisis Iklim Berpotensi Turunkan GDP Indonesia hingga 11 Persen
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya