Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Wajah "Forest City" IKN Nusantara

Kompas.com - 22/08/2023, 17:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KITA membayangkan forest city yang dibangun dalam IKN Nusantara adalah dalam skala mini seperti Kebun Raya Bogor (KRB) yang luasnya hanya 80 hektare.

Salah satu yang menarik dalam pembangunan dan pengembangan ibu kota negara (IKN) baru Nusantara yang dimulai sejak 2022, adalah membangun dengan konsep kota hutan (forest city).

Dalam beberapa kali pemaparan Presiden Joko Widodo, nampak dalam film animasi yang ditayangkan menggambarkan wajah IKN Nusantara begitu indah, sejuk dengan rindangan pohon-pohon hijau dan antipolusi.

Serasa kita diajak hidup dalam lingkungan kota yang sangat ideal dan nyaman dengan daya dukung dan daya tampung sangat memadai.

Secara administratif wilayah IKN terletak di dua kabupaten eksisting, yakni Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah IKN berada di sebelah utara Kota Balikpapan dan sebelah selatan Kota Samarinda.

Secara keseluruhan, wilayah IKN luasnya mencapai 256.143 hektare. IKN terdiri dari tiga wilayah perencanaan, yakni Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) yang merupakan bagian dari KIKN seluas 6.671 hektar, Kawasan IKN (KIKN) seluas 56.181 hektare, dan Kawasan Pengembangan IKN (KPIKN) seluas 199.962 hektare (Kompas, 24/02/2022).

Kota hutan dipilih karena IKN berlokasi di wilayah yang di dalamnya terdapat kawasan hutan dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.

Dalam konsep Bappenas, IKN dibangun dan dikembangkan hanya menggunakan 20 persen kawasan lahan yang ada. Sisanya akan dipertahankan sebagai kawasan hijau berupa kawasan hutan.

IKN Nusantara, juga bagian dari komitmen Indonesia dalam penanggulangan perubahan iklim dengan pengurangan temperatur 2 derajat.

Bahkan dalam perbincangan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dalam President’s Corner di Metro TV tanggal 22 Oktober 2022, Siti Nurbaya menyebut bahwa pemerintah akan mengembalikan hutan tropika basah asli Kalimantan di ibu kota negara (IKN) baru.

Dalam kondisi aslinya, kawasan IKN dahalu adalah hutan alam primer tropika basah yang telah mencapai tahap klimaks yang telah terbentuk ratusan tahun.

Hutan klimaks adalah komunitas hutan yang berada dalam tahap puncak pemantapan suksesi alam sesuai dengan kondisi alam setempat.

Tahap klimaks dari hutan ditunjukkan dengan berbagai ragam jenis yang ditemukan di dalam hutan tersebut sehingga keseimbangan ekosistem semakin baik dan tinggi.

Termasuk di dalam keseimbangan ekosistem adalah keseimbangan tata air yang ada di dalam tanah yang membentuk ekosistem lingkungan holistik.

Vegetasi asli hutan tropika basah di Kalimantan banyak didominasi jenis-jenis Dipterocarpaceae seperti meranti, kapur, belarengan dan sejenisnya, yang pertumbuhannya lambat, membutuhkan naungan dalam pertumbuhan (toleran), dan silvikulturnya.

Jenis-jenis tersebut belum dapat dikuasai sepenuhnya oleh para ahli kehutanan sehingga pengembangan dan pertumbuhannya lebih banyak tergantung dari alam. 

Lain halnya dengan jenis eukaliptus yang ditanam di lokasi IKN sebagai vegetasi hutan tanaman. Jenis tersebut mudah dan cepat tumbuh, monokulutur dan tidak membutuhkan naungan dalam pertumbuhannya (intoleran).

Sebagai rimbawan yang pernah mendalami ekologi, silvikultur hutan tropika basah dan pernah bermukim selama lima tahun (1999-2004) di Palangkaraya Kalimantan Tengah, saya bertanya mungkinkah kawasan IKN yang aslinya adalah hutan tropika basah dengan ratusan jenis pohon/tanaman dan telah menyatu membentuk ekosistem seimbang (equilibrium ecosystem) melalui proses ratusan tahun, kemudian diubah menjadi hutan tanaman yang monokultur, akan dikembalikan lagi seperti aslinya sebagai hutan tropika basah (humida) asli Kalimantan?

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun forest city yang ideal dan nyaman itu?

Eksisting tata guna lahan dan hutan IKN

Dalam rapat kerja Komisi IV DPR RI dengan Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2022 lalu, Menteri LHK menjelaskan, berdasarkan kawasan fungsi hutan wilayah IKN terdiri dari hutan lindung 0 persen, hutan produksi terbatas 1 persen, hutan produksi yang dapat dikonversi 16 persen, hutan produksi biasa 17 persen, hutan konservasi 25 persen, areal penggunaan lain (APL) 41 persen.

Sementara itu, berdasarkan peta tutupan lahan skala 1 : 5000 tahun 2019; kawasan IKN yang masih berhutan seluas 42,31 persen (hutan lahan kering 38,95 persen, hutan mangrove 2,15 persen, hutan rawa gambut 1,21 persen), semak belukar dan tanah kosong 13,74 persen, perkebunan 29,18 persen, tanaman campuran dan tegalan/ladang 8,97 persen.

Sisanya berupa sawah, padang rumput, pertambangan dan sebagainya dengan luasan yang relatif kecil rata- rata di bawah 1 persen.

KLHK telah melakukan proses alih fungsi lahan hutan produksi biasa menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 41.493 hektare tahun 2019.

Kawasan hutan ini yang akan menjadi KIKN melalui proses pelepasan kawasan hutan menjadi APL dan akan dilakukan atas usul otorita IKN.

Secara legal formal, kawasan IKN (KIKN) sudah siap dan tidak menjadi masalah karena kawasan tersebut adalah bekas HTI yang 0 persen konflik tenurial. Tutupan hutannya pun secara ekologis luasnya masih sangat memadai, yakni 42,31 persen.

Sebagai kota yang mengusung konsep kota hutan dan berbasis lingkungan yang sesedikit mungkin atau tidak ada penebangan hutan, luasan tutupan hutan 42,31 persen dirasa belum cukup dan harus ditingkatkan lagi luasannya menjadi 70 – 80 persen.

Dengan demikian, luas hutan yang akan dibangun dan dikembangkan lagi dari nol menjadi hutan endemik asli Kalimantan sekitar 30 – 40 persen lagi dari luas total IKN 256.143 hektare atau sekitar antara 76.842 hektare hingga 102.457 hektare.

Untuk mempertahankan keanekaragaman hayati di kawasan IKN yang sebarannya meliputi Tahura Bukit Soeharto, kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Samboja, Tutupan Hutan dan Kawasan Buffer Zone hutan Lindung Sungai Wain, Teluk Balikpapan, Hutan Mangrove Kelurahan Mentawir, IUPHHK PT. Inhutani II Batu Amapar- Mentawir dan IUPHHK- HT PT. ITCI Hutan Manunggal, maka KLHK telah menyiapkan koridor-koridor satwa.

Koridor yang dimaksud adalah koridor sebelah utara (kawasan Tahura Bukit Soeharto- PT IHM yang telah diadendum menjadi hutan produksi) dan koridor sebelah selatan (kawasan Tahura Bukit Soeharto- Hutan Lindung Sungai Wain).

Desain koridor telah disiapkan berdasarkan tutupan hutannya, yakni hutan sekunder, semak belukar, hutan tanaman, areal terbuka, jalan pengelolaan termasuk jalan underpass dan flyover.

KLHK telah mengantisipasi dengan penanaman pohon serta mempercepat program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di kawasan IKN dan kawasan pengembangan IKN.

Di samping kegiatan RHL reguler yang dilakukan seluas 1.500 hektare setiap tahun, untuk mendukung pembangunan IKN; dilakukan percepatan RHL pada 2023 dan 2024 masing-masing dengan luas 15.000 hektare.

Untuk itu, KLHK sedang dalam proses penyiapan pembangunan persemaian (nursery) modern dengan luas 120 hektare yang mampu menyiapkan dan memproduksi bibit berkualitas tinggi sebanyak 15.000.000 bibit setiap tahun dan diharapkan tahun 2023 sudah dapat berproduksi untuk menyuplai kebutuhan bibit kegiatan RHL di kawasan IKN.

Lokasi pembangunan persemaian modern tersebut terletak di kawasan hutan produksi Desa Mentawir, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim.

Masalah persemaian

Pertama kali dalam sejarah republik ini, persemaian tanaman kehutanan dibangun secara megah dan luas untuk menyediakan bibit, khususnya membangun kota hutan (forest city) IKN Nusantara.

Persemaian Mentawir Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur mempunyai luas 22 hektare yang terdiri dari sarana persemaian 16 hektare dan prasarana air baku 6 hektare dengan kapasitas produksi bibit sebanyak 15 juta batang/tahun.

Sayangnya, meskipun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diklaim megah, luas dan modern, tapi ternyata masih bersifat konvensional.

Kekurangan dan belum idealnya persemaian modern yang dibangun di Mentawir, jelas tergambar dari pernyataan Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Muhammad Naim- dari mulai ketersediaan air yang kontinyu bagi persemaian modern, ukuran polybag yang terlalu kecil, sampai kualitas bibit yang dihasilkan.

Dalam pembuatan persemaian tanaman hutan, apalagi persemaian modern yang menggunakan input teknologi, produksi bibit berkualitas mutlak diperlukan.

Dengan bibit berkualitas, tanaman sudah dapat dianggap mempunyai harapan hidup 40 persen, sisanya 60 persen adalah persiapan lahan tanam, waktu tanam, pemupukan, pemeliharaan dan pengawalan sampai bibit pohon menjadi pohon dewasa.

Dari penelusuran data tipe iklim menurut schmidt dan ferguson, kawasan IKN mempunyai tipe A sampai B yang berarti bulan hujan masuk katagori basah, agak basah sampai sedang.

Dengan demikian, menurut agroklimat, pemilihan jenis pohonnya dapat diarahkan pada jenis-jenis yang berdaun lebar yang mampu menyerap air untuk berinfilitrasi kedalam tanah secara penuh.

Penelitian mengatakan, hutan dengan pohon berdaun jarum mampu membuat 60 persen air hujan terserap tanah.

Sedangkan hutan dengan pohon berdaun lebar mampu membuat 80 persen air hujan terserap tanah.

Makin rapat pohon yang ada dan makin berlapis-lapis strata tajuknya, makin tinggi pula air hujan yang terserap kedalam tanah, bahkan hampir 100 persen air hujan terserap tanah.

Oleh karena itu, dalam penyediaan bibit dengan jumlah yang cukup banyak dengan karakteristik jenis berbeda-beda seperti di Mentawir diperlukan persemaian modern yang tidak saja untuk menghasilkan bibit berkualitas tinggi, tetapi juga bibit dalam jumlah massal.

Salah satu ciri khas persemaian modern adalah bibit yang dihasilkan dari biji tidak menggunakan media tanah dan polybag (kantong plastik), tetapi dengan media khusus (seperti serabut kelapa, ampas tebu dan sejenisnya) dicampur dengan hara tanaman berdosis tinggi yang dimasukkan dalam tabung-tabung plastik.

Saat siap tanam, bibit-bibit tersebut dapat langsung dicabut dari tabungnya. Berat bibit dari persemaian modern ini akan lebih ringan 10 kali dibanding dengan bibit dengan media tanah dan polybag-nya.

Ciri lain persemaian modern adalah kebutuhan air untuk tanaman tidak akan pernah putus dan selalu tersedia sprinkle air yang selalu menyemprot setiap saat.

Di samping itu, cahaya matahari yang masuk dapat diatur dengan net (jaring) khusus sesuai dengan prosentase cahaya yang dikehendaki jenis tanaman.

Beberapa jenis Dipterocarpaceae merupakan jenis intoleran. Maka sejak anakan membutuhkan cahaya terbatas dibanding jenis-jenis toleran.

Teknologi persemaian modern ini telah dikenal di Indonesia pada saat Departemen Kehutanan bekerja dengan pemerintah Finlandia awal 1990, dengan membangun persemaian modern di beberapa daerah di Indonesia.

Biaya membangun persemaian modern memang lebih mahal dibanding dengan persemaian konvensional. Namun bibit yang akan dihasilkan jauh lebih berkualitas dan dalam jumlah  massal. Akankah Mentawir nantinya juga menggunakan teknologi modern seperti ini?

Tidak mudah membangun dan mengembangkan hutan tropika basah dengan jenis endimik asli Kalimantan seperti enis meranti, kapur/kamper, blangeran dan sejenisnya, yang masuk dalam keluarga Dipterocarpaceae dengan pertumbuhan lambat.

Meskipun bibit yang disiapkan berkualitas tinggi dari hasil persemaian modern, namun dalam proses penanaman di lapangan perlu pemeliharaan, pengawasan, dan pengawalan ketat hingga bibit tumbuh, besar, dan menjadi pohon dewasa.

Paradigma rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang selama ini digunakan, yakni hanya dipelihara dan dikawal sampai umur tanaman 3 tahun dan selebihnya diserahkan pada mekanisme alam, nampaknya tidak sesuai dengan pembangunan hutan di IKN.

Intinya adalah pastikan bibit tanaman pohon yang ditanam harus dapat tumbuh sampai menjadi pohon dewasa sehat bagaimanapun caranya dan berapapun biayanya.

Khusus untuk jenis intoleran seperti Dipterocarpaceae, waktu yang dibutuhkan untuk menjadi pohon dewasa tidak sama dengan jenis toleran seperti eukaliptus yang minimal cukup 15 tahun menjadi pohon dewasa.

Bisa jadi jenis intoleran menjadi pohon dewasa membutuhkan waktu lebih lama lagi minimal 30 – 40 tahun lagi.

Jadi untuk melihat wajah forest city IKN Nusantara yang sesungguhnya, kita harus bersabar menunggu proses dan waktu yang cukup panjang, apalagi luas hutan yang dibangun 975 – 1.275 kalinya luas Kebun Raya Bogor. Kita tunggu saja progres lebih lanjut.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau