Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Yale, 75 Persen Responden Tuntut Pemerintah Bisa Tangani Perubahan Iklim

Kompas.com, 6 Oktober 2023, 06:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Cuaca ekstrem panas yang terjadi belakangan ini semakin mempertegas pemanasan global, dan Indonesia termasuk salah satu negara yang paling terdampak.

Hasil studi Pusat Komunikasi Perubahan Iklim Universitas Yale, Amerika Serikat, yang dipublikasikan Senin (3/10/2023) mengungkapkan, sebanyak 75 persen responden berharap pemerintah dapat mengurangi kerusakan lingkungan akibat manusia. Disusul masyarakat (73 persen), dan warga Indonesia sendiri atau individu (71 persen).

Peneliti Utama Yale Program on Climate Change Communication, Development Dialogue Asia, Communication for Change serta Kantar Indonesia Anthony Leiserowitz mengatakan, temuan studi ini mengindikasikan bahwa pemerintah, sektor bisnis, para edukator, dan masyarakat sipil perlu bekerja bersama untuk membangun pemahaman bersama dan mendukung aksi-aksi iklim.

"Meskipun Indonesia termasuk negara yang rentan akibat perubahan iklim, namun penelitian mengenai persepsi masyarakat tentang hal ini belum banyak," ujar Anthony.

Hasil studi Yale ini memberikan arahan yang lebih jelas bagi para pelaku dan aktivis perubahan iklim di Indonesia, termasuk yang bergerak di bidang komunikasi perubahan iklim dan juga bagi pemerintah dalam upayanya melayani masyarakat.

Baca juga: Keterlibatan Masyarakat Jadi Kunci Percepat Penanganan Perubahan Iklim di ASEAN

Studi ini dilakukan pada periode Juni-Juli 2021 dengan metode wawancara terhadap 3.490 orang dewasa Indonesia berusia 16 tahun ke atas secara Nasional di 34 provinsi.

Hasil studi kuantitatif dilanjutkan dengan 14 kegiatan diskusi terbatas selama Juli-Agustus 2022 bersama Communication for Change di Jakarta, Jayapura (Papua), Tarai Bangun (Riau), Kisaran (Sumatera Utara), serta Tegal, Demak, dan Semarang (Jawa Tengah) yang menghasilkan segmentasi audiens dan panduan adaptasi pesan perubahan iklim.

Responden mengaku paling cemas terhadap isu lingkungan dengan urutan yang terkait kekurangan air (91 persen), badai atau puting beliung (88 persen), kekeringan (87 persen), kebakaran hutan (86 persen), polusi air (85 persen), polusi udara (83 persen), banjir (83 persen), naiknya permukaan air laut (77 persen) dan panas ekstrem (69 persen).

Namun, dari semua itu yang unik menurut Enggar Paramita, dari Development Dialogue Asia, 91 persen orang Indonesia merasa melindungi lingkungan dari kerusakan yang manusia lakukan adalah kewajiban moral bagi kepentingan bersama.

“Sebanyak 90 persen merasa bertanggung jawab untuk mengurangi kerusakan demi kepentingan generasi mendatang. Bahkan, 82 persen merasa bersalah terhadap hal-hal negatif yang manusia lakukan terhadap lingkungan,” kata Enggar.

Baca juga: Jelang Tahun ke-14: PT SMI Perkuat Komitmen Atasi Perubahan Iklim

Lalu apakah perasaan bersalah tersebut diwujudkan dalam mendukung aksi peduli lingkungan? Ternyata belum tentu, walau angka rendah ini tidak hanya berlaku di Indonesia.

Dari studi itu terungkap baru sedikit (18 persen) orang Indonesia yang pernah berdonasi kepada kelompok pemerhati lingkungan, kemudian 4 persen responden pernah ikut boikot. Sisanya lebih memilih aksi lewat kanal media sosial.

Mengekspresikan pandangan pribadi, mendorong orang untuk beraksi, menandatangani petisi online, atau mengontak para pejabat via media sosial adalah hal-hal yang responden biasa lakukan.

Secara umum, tergambar dari studi Yale tersebut bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai sadar akan adanya perubahan iklim, namun masih awam harus mengambil langkah apa kemudian.

Sebagai perbandingan, di Brasil dan India sebagai dua negara yang juga padat penduduk dan rentan akan akibat perubahan iklim, kesadaran terhadap perubahan iklim sudah lebih meningkat, namun terdapat penyesuaian terhadap kondisi lokal.

Baca juga: Cegah Krisis Iklim, Indonesia Perlu Hentikan PLTU Secara Bertahap

Misalnya warga Brasil mementingkan perlindungan lingkungan dan hutan tropis Amazon serta tak keberatan jika pertumbuhan ekonomi melambat demi itu.

Sedangkan di India, cuaca lokal menjadi pusat perhatian, sebanyak 76 persen orang responden menyebut adanya perubahan curah hujan sepanjang 10 tahun terakhir dan 41 persen mengatakan musim angin muson terjadi lebih sering, bertambah sampai 17 kali lebih banyak sejak tahun 2011.

Singkat kata, pada saat Indonesia mulai beralih ke arah green policy dengan ditetapkannya target Net Zero Emission (NZE) dan kebijakan lainnya, temuan dari studi diharapkan dapat memberikan sedikit pencahayaan bagi para pelaku bidang perubahan iklim dalam upaya mendorong perubahan.

Hal ini juga sekaligus mendukung pemerintah untuk lebih menjawab aspirasi masyarakat akan lingkungan yang aman dan terjaga dari efek perubahan iklim.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
PGE dan PLN Indonesia Power Sepakati Tarif Listrik PLTP Ulubelu
PGE dan PLN Indonesia Power Sepakati Tarif Listrik PLTP Ulubelu
BUMN
Asia Tenggara Termasuk Sumber Utama Gas Rumah Kaca
Asia Tenggara Termasuk Sumber Utama Gas Rumah Kaca
LSM/Figur
Uni Eropa Bakal Perketat Impor Plastik demi Industri Daur Ulang Lokal
Uni Eropa Bakal Perketat Impor Plastik demi Industri Daur Ulang Lokal
Pemerintah
Pakar Soroti Lemahnya Sistem Pemulihan Pascabencana di Indonesia
Pakar Soroti Lemahnya Sistem Pemulihan Pascabencana di Indonesia
LSM/Figur
Banjir Aceh Disebut Jadi Dampak Deforestasi, Tutupan Hutan Sudah Kritis Sejak 15 Tahun Lalu
Banjir Aceh Disebut Jadi Dampak Deforestasi, Tutupan Hutan Sudah Kritis Sejak 15 Tahun Lalu
LSM/Figur
Pengamat: Pengelolaan Air Jadi Kunci Praktik Pertambangan Berkelanjutan
Pengamat: Pengelolaan Air Jadi Kunci Praktik Pertambangan Berkelanjutan
Swasta
Vitamin C Bantu Lindungi Paru-paru dari Dampak Polusi Udara
Vitamin C Bantu Lindungi Paru-paru dari Dampak Polusi Udara
LSM/Figur
Panas Ekstrem dan Kelembapan Bisa Berdampak pada Janin
Panas Ekstrem dan Kelembapan Bisa Berdampak pada Janin
LSM/Figur
Waspada Hujan Lebat Selama Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
Waspada Hujan Lebat Selama Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
Pemerintah
Pakar Kritik Sistem Peringatan Dini di Indonesia, Sarankan yang Berbasis Dampak
Pakar Kritik Sistem Peringatan Dini di Indonesia, Sarankan yang Berbasis Dampak
LSM/Figur
Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan Dirambah untuk Kebun Sawit
Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan Dirambah untuk Kebun Sawit
Pemerintah
Menteri LH Sebut 4,9 Juta Hektar Lahan di Aceh Rusak akibat Banjir
Menteri LH Sebut 4,9 Juta Hektar Lahan di Aceh Rusak akibat Banjir
Pemerintah
Sebulan Pasca-banjir Aceh, Distribusi Logistik Dinilai Belum Merata Ditambah Inflasi
Sebulan Pasca-banjir Aceh, Distribusi Logistik Dinilai Belum Merata Ditambah Inflasi
LSM/Figur
1.050 Petugas Kebersihan Disiagakan Saat Ibadah Natal 2025 di Jakarta
1.050 Petugas Kebersihan Disiagakan Saat Ibadah Natal 2025 di Jakarta
Pemerintah
2 Nelayan Perempuan Asal Maluku dan Papua Gerakkan Ekonomi Keluarga Pesisir
2 Nelayan Perempuan Asal Maluku dan Papua Gerakkan Ekonomi Keluarga Pesisir
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau