KOMPAS.com – Hampir semua provinsi di Indonesia dinilai belum memiliki kesiapan yang memadai untuk melakukan transisi energi.
Dari 34 provinsi di Indonesia, sebanyak 32 di antaranya atau 90 persen dinilai belum memiliki kesiapan transisi energi yang memadai.
Hal tersebut mengemuka dalam studi terbaru dari Center of Economic and Law Studies (Celios) yakni Indeks Kesiapan Transisi Energi Indonesia.
Baca juga: Dibanding Negara Lain, Indonesia Punya Modal Transisi Energi
Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar mengatakan, kesiapan transisi energi masih jauh dari kemerataan antarwilayah.
“90 persen provinsi di Indonesia belum memiliki kesiapan yang memadai, yakni sekitar 70 persen (24 provinsi) berstatus sedang dan 20 persen (tujuh provinsi) berstatus rendah,” kata Media dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (15/1/2024).
“Belum meratanya kesiapan daerah dalam transisi energi juga bergantung pada tingkat konsumsi per kapita, signifikansi keterlibatan perempuan, dan tingkat kerentanan iklim dan energi di tiap daerah,” sambungnya.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyampaikan, pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk mandiri energi salah satunya dikarenakan belum meratanya fasilitas pendukung ketrampilan tenaga kerja.
Baca juga: Bioenergi Beririsan dengan Pangan dan Lahan, Perlu Tenggat Waktu Transisi Energi
“Terutama ketrampilan yang berkaitan dengan operator dan instalasi energi terbarukan baik mikrohidro, hingga tenaga surya,” papar Bhima.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah dan sektor swasta perlu mendorong lebih banyak sekolah ketrampilan, sekolah vokasi, serta perguruan tinggi yang bisa mempersiapkan keahlian masyarakat dalam transisi energi.
Selain itu, kesiapan transisi energi di provinsi berkaitan erat dengan postur anggaran pemerintah yang lebih besar, rendahnya tingkat korupsi, dan keberpihakan melalui kredit ketahanan energi.
Media berujar, salah satu temuan yang menarik dalam studi tersebut adalah semakin tinggi kerentanan suatu daerah, wilayah tersebut justru memiliki indeks kesiapan transisi energi yang lebih baik.
Baca juga: Perluasan Bioenergi Bukan Solusi Utama Transisi Energi
Hal ini didasarkan pada pengalaman menghadapi kerugian finansial yang besar akibat bencana menjadi pembelajaran untuk lebih cepat melakukan transisi energi.
Selain itu, perempuan menjadi aktor rentan dalam konteks risiko kebencanaan. Perempuan memiliki hubungan erat dengan sektor-sektor pekerjaan yang terdampak langsung oleh krisis iklim.
Keterlibatan perempuan dalam agenda transisi akan memperkaya pemahaman mendalam tentang kebutuhan energi di level rumah tangga dan komunitas.
Indeks Kesiapan Transisi Energi Indonesia dinilai relevan dalam memberikan penilaian atas perkembangan infrastruktur energi, kebijakan, dan praktik transisi energi.
Baca juga: Transisi Energi di Morowali dan Beban Kerusakan Lingkungan
Keberadaan indeks dalam konteks investasi juga menawarkan pertimbangan lingkungan, sosial, dan tata kelola untuk diinternalisasikan dalam komitmen lingkungan berkelanjutan.
Studi yang dilakukan Celios tersebut juga menyentuh aspek ketimpangan dan keamanan energi melalui sinkronisasi penanggulangan disparitas dalam distribusi, aksesibilitas, dan pemanfaatan sumber daya energi.
Studi tersebut juga memberikan kebaruan informasi mengenai tantangan dan peluang yang dapat menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan strategi dan lanskap transisi energi yang lebih berkeadilan.
Baca juga: Transisi Energi di Morowali dan Beban Kerusakan Lingkungan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya