Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/02/2024, 07:00 WIB
Mahardini Nur Afifah,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com - Menyandang predikat Kota Toleran selama beberapa tahun nyatanya tidak membuat Kota Solo, Jawa Tengah, ramah bagi semua penghuninya, terutama bagi kelompok keberagaman gender. Berikut kisahnya.

Suara Ika, 45, sesekali nanar menceritakan kisah pilunya setahun lalu, ketika berbincang dengan Kompas.com, pertengahan Januari 2024.

Beberapa kali, ia mengambil jeda napas panjang untuk mengenang kasus kekerasan yang dialaminya ketika bekerja menjadi pekerja seks di Kota Solo.

Transpuan yang sejak 2001 bekerja menjadi pekerja seks di Kota Bengawan ini sebenarnya tak ingat lagi sudah berapa kali mengalami diskriminasi, saking seringnya.

Sebelumnya, ia kerap dilecehkan dengan diteriaki banci, atau dilempari batu oleh pengendara sepeda motor yang melintasi tempat ia mangkal.

Tapi puncaknya pada Februari 2023, ia mengalami kekerasan fisik dan menjadi korban perampasan sepeda motor oleh salah satu pelanggan yang menggunakan jasanya.

Saat ditanya kondisinya kini, Ika mengaku masih sering sakit kepala dan merasakan trauma dengan kejadian yang menimpanya.

Namun, lantaran perlu uang untuk biaya hidup sehari-hari, ia akhirnya memberanikan diri kembali “turun” ke jalan dan melakoni pekerjaan lamanya.

“Awalnya aku sudah kurang sreg ya dia mabuk, pasti nanti resek. Tapi ya karena dulu sudah
pernah, akhirnya setelah transaksi aku iyakan saja,” kenang Ika.

Baca juga: Pemilu dan Suara Hati Para Penghayat Kepercayaan...

Ia bercerita, kejadian di salah satu jalan protokol di Kecamatan Jebres dini hari itu bermula setelah ia kelar menjalankan pekerjaannya. Tiba-tiba, pelaku menjambak dan menganiaya Ika berulang kali hingga ia tak sadarkan diri.

Ika sebenarnya sempat berulang kali mencoba melawan. Tapi, perlawanan itu justru semakin menyulut emosi pelaku untuk melakukan kekerasan padanya. Tak mandek di situ, sepeda motor Ika juga dibawa kabur.

“Aku berteriak-teriak, tapi enggak ada yang menolong. Padahal jalanan ya masih ada kendaraan lewat. Entah sudah berapa kali pingsan waktu itu karena badan sudah babak belur enggak karuan,” beber dia.

Dengan sisa-sisa tenaganya, menjelang Subuh, Ika menyeberangi jalan protokol yang berjarak sekitar dua kilometer di utara Balai Kota Solo itu. Ia pun meminta pertolongan di lapak makanan yang masih buka.

Salah satu pembeli warung tersebut polisi. Singkat cerita, Ika dibawa ke RSUD Dr Moewardi Solo untuk mendapatkan perawatan medis. Pelaku pun diproses hukum karena melakukan tindak pidana.

Setelah kondisi fisiknya membaik, Ika mengaku tidak berani lagi mangkal di luar tempat mangkal pekerja seks, karena selalu merasa kawasan di luar wilayah tersebut rawan.

“Aku cuma ingin ke mana-mana bisa benar-benar merasa aman,” pinta dia.

Baca juga: Daftar Kota Paling Toleran dan Intoleran 2023

Diskriminasi meninggalkan “luka” mendalam

Kisah lain datang dari Masayu Shinta Aurora (27). Saat ditemui Kompas.com di salah satu warung angkringan di jantung Kota Solo, pada pengujung Desember 2023 lalu, ia tengah duduk di pojokan sembari semringah berbincang bersama empat teman transpuannya.

Masayu terlihat necis. Ia mengenakan setelan kemeja abu-abu pas badan dan celana berwarna senada. Rambut pendeknya disisir rapi, disangga gel rambut yang menjaga penampilannya tetap segar dan apik.

Visualisasi penari sekaligus perias atau make-up artist (MUA) ini kontras dengan tampilannya yang dikenal kenes dengan balutan kebaya modern, rambut disanggul, dan wajah berpoles riasan.

Kala menari di pentas hajatan pernikahan, ia mengaku nyaman sesaat bisa menjadi bintang pertunjukan. Namun begitu turun panggung, ia lagi-lagi kembali menelan pil pahit diskriminasi.

“Orang langsung melihat dengan tatapan enggak kayak orang kebanyakan. Seruan ‘banci’ atau ‘orang mbok yang gagah’ itu sudah biasa. Sering juga dipakai bahan guyonan,” kata dia.

Ketika sebagian orang enteng melontarkan gurauan diskriminatif, Masayu yang merasa sebagai minoritas gender ini biasanya cuma bisa merespons dengan tersenyum kecut.

“Padahal itu bisa membekas sampai bertahun-tahun setelahnya. Tolonglah jangan seperti itu,” pinta Masayu.

Menurut Masayu, diskriminasi yang ia rasakan selama bertahun-tahun sejak masih duduk di bangku sekolah dasar membuat dirinya kerap menghakimi diri sendiri.

“Ada rasa enggak nyaman, sampai di titik takut kalau orang lain enggak menerima kehadiranku,” ujar Masayu.

Saat ditanya keinginannya pada tahun politik, di mana semua orang bisa menitipkan harapan pada perwakilan rakyat sampai presiden terpilih, ia tidak antusias menjawab.

“Rasanya kalau pemilu, suara kami diperlukan. Tapi kami sebenarnya enggak pernah didengarkan,” kata Masayu dengan nada lesu.

Baca juga: 10 Kota Paling Toleran di Indonesia 2023, Ada Singkawang dan Bekasi

Ironi diskriminasi keberagaman gender di Kota Toleran

Diskriminasi yang menimpa Masayu dan Ika, adalah potret kekerasan verbal sampai fisik dialami kelompok keberagaman gender di kota yang masuk 10 besar kota paling toleran di Indonesia 2023 versi Setara Institute.

Berdasarkan catatan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Solo, tercatat sepanjang 2023, ada 34 laporan diskriminasi terhadap minoritas gender di Kota Bengawan.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau