SOLO, KOMPAS.com – Kedua matanya terbuka lebar, alisnya terdorong naik. Ramanto Setro Taruno (58) antusias menyambut kedatangan Dwi Setyo Indratno pada medio Desember 2023.
Itu adalah kali pertama dirinya bertemu dengan kader atau politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Ia sedikit tak menyangka. Karena bagaimanapun, Ramanto telah melihat PKS sebagai partai politik (parpol) yang eksklusif untuk kelompok tertentu, jauh dari penghayat kepercayaan.
Baca juga: Setengah Hati Memenuhi Hak Pilih Penyandang Disabilitas Intelektual (I)
Ketua Paguyuban Pangarso Budi Utomo Roso Manunggal Jati itu mempersilakan Dwi singgah karena memang tak mau menolak siapa pun yang ingin bertemu atau berkunjung ke rumahnya.
Ia paham maksud kedatangan Dwi pada malam itu tak lain adalah untuk menggaet dukungannya dalam kontestasi pemilihan umum legislatif (Pileg) DPRD Kota Solo tahun 2024.
Dirinya terdaftar sebagai pemilih di daerah pemilihan (Dapil) 3 Kecamatan Banjarsari yang menjadi tempat Dwi bertarung memperebutkan suara.
Meski begitu, Ramanto memastikan dirinya tak pernah mengecilkan atau meremehkan ajakan politikus PKS itu untuk bertemu.
Ia justru mengapresiasi dan menyambut baik inisiatif Dwi. Ramanto gembira karena hal itu bisa menjadi indikasi kian banyak pihak yang mau merangkul kelompok penghayat kepercayaan.
Menurutnya, Pemilu memang semestinya dimanfaatkan sebagai ajang pemersatu, bukan malah mempertebal konflik perbedaan.
“Kalau saya, ambil sisi baiknya saja. Jika tak ada pemilu, pertemuan itu belum tentu akan terjadi bukan?” tutur Ramanto ketika bercerita dengan Kompas.com di Solo, Selasa (26/12/2023).
Ia mengatakan, ada beberapa hal yang telah dibahas bersama Dwi saat bersua. Salah satunya, Ramanto mengutarakan unek-unek soal nasib para penghayat yang masih menerima stigma negatif dari publik.
Ia menyesalkan, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) kerap diasosisasikan sebagai aliran sesat dan musyrik. Penganutnya pun seringkali dianggap tidak punya nilai ketuhanan.
Padahal, tidaklah demikian. Pemeluk agama dan penganut kepercayaan pada hakikatnya sama-sama menyembah Tuhan. Letak perbedaannya, masing-masing punya cara beribadah sendiri.
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, ia pun meminta kepada politikus PKS itu untuk dapat membantu meluruskan pandangan keliru di masyarakat.
“Secara umum saya mengajak Pak Dwi untuk turut serta menjaga semangat kebudayaan dan kebinekaan. Perlu dipahami bahwa ibadahnya seorang penghayat itu adalah menjaga dan melestarikan adat dan budaya leluhur sendiri,” terangnya.
Ramanto mengaku senang Dwi secara umum menunjukkan pemikiran yang terbuka terhadap keberadaan penghayat kepercayaan. Menurutnya, itu jauh dari apa yang ia sangka sebelumnya.
Pada gilirannya, Dwi bahkan sempat ikut prosesi jamasan yang diadakan oleh Pangarso Budi Utomo Roso Manunggal Jati, salah satu kelompok penghayat yang masih hidup di Solo, Jawa Tengah (Jateng).
Baca juga: Setengah Hati Memenuhi Hak Pilih Penyandang Disabilitas Intelektual (II)
Ramanto pun menaruh harap kepada Dwi agar tak menunjukkan keterbukaan hanya pada masa kampanye pemilu.
Baik terpilih atau tidak sebagai anggota Dewan, ia meminta Dwi terus menjaga hubungan baik dan mau ikut memperjuangkan pemenuhan hak-hak hidup kelompok penghayat, sebagaimana warga negara Indonesia (WNI) pada umumnya.
Realitasnya, Ramanto menuturkan, pengakuan negara terhadap para penghayat kepercayaan juga belum optimal. Menurutnya, sebagian penghayat masih terkendala untuk mengakses layanan publik.
Misalnya, terkait perubahan identitas kepercayaan di KTP, beberapa aparat di lapangan belum sepenuhnya paham bahwa itu tidak perlu rekomendasi dari RT/RW atau kelurahan. Penghayat seharusnya bisa langsung mengurus KTP di Dispendukcapil.
Bahkan, masih ada juga aparat yang tidak tahu ada penganut kepercayaan sehingga membuat urusan administrasi tidak langsung ditindaklanjuti.
“Ya, tak hanya kepada Pak Dwi, kepada yang lain, saya juga menceritakan sejumlah tantangan yang masih dihadapi para penghayat. Harapannya tentu dapat ditindaklanjuti,” ucap sosok yang menjabat juga sebagai Ketua Majelis Luhur Kepercayaan kepada Tuhan YME Indonesia (MLKI) Cabang Solo itu.
Sepanjang 2023, Ramanto mengaku pernah juga didatangi calon anggota legislatif (caleg) dari parpol lain untuk dimintai dukungan maupun doa, termasuk dari PDI-P, Gerindra, dan Golkar.
Kepada mereka, Ramanto juga mengutarakan harapan, sikap terbuka terhadap penghayat khususnya dan keberagaman pada umumnya, lebih baik bukan hanya ditunjukkan oleh individu kader, melainkan menjadi sikap partai.
Saat dimintai konfirmasi, Dwi Setyo Indratno membenarkan telah menemui Ramanto. Ia tidak menampik kedatanganya memang untuk meminta dukungan dari tokoh penghayat itu dalam agendanya maju Pileg DPRD Solo.
“Bicara politik ya ujung-ujungnya adalah suara, dan bagaimana kita berkomunikasi dengan siapapun tanpa membedakan latar belakang. Yang penting, kita punya visi bersama," kata Dwi.
Sebelum datang ke rumah Ramanto, ia mengaku paham sosok yang akan ditemuinya tersebut adalah seorang penganut aliran kepercayaan.
Dwi memastikan, itu tidak menyalahi aturan PKS yang mengusungnya maju dalam Pileg.
“Walaupun saya dari partai Islam, saya tetap harus berkomitmen memberikan kebermanfaatan bagi semua kelompok masyarakat. Jadi saya berusaha berkomunikasi dengan siapa pun. Basic saya kan juga dari lembaga sosial,” ucapnya.
Lagi pula, kata dia, sebagai orang Jawa, dirinya sudah terbiasa dengan perbedaan dan harus terus membangun semangat saling gotong-royong.
Baca juga: 475 Penghayat Kepercayaan di Magelang Telah Ubah KTP dan KK-nya
Dwi mengakui karakter warga Solo sangat kental, dan untuk mendapatkan dukungan, penting memahami dan menghargai budaya setempat.
Politikus PKS itu pun telah memilih untuk memasang foto diri dengan memakai blangkon di media-media kampanyenya sebagai simbol menjunjung kebudayaan.
Di beberapa pertemuan dengan masyarakat, ia juga kerap mengenakan penutup kepala lelaki dalam tradisi busana adat Jawa itu.
“Intinya, saya mau mengajak semua, yuk kita jadi sedulur (saudara), saling gotong-royong, bantu-membantu. Tak usah melihat latar belakang, yuk kita bersama-sama membangun kota kita, negara kita,” ungkapnya.
Saat disinggung, Dwi mengaku, tak punya target berapa banyak suara yang harus ia peroleh dari kelompok penghayat kepercayaan.
Dia memilih untuk membiarkan dukungan tersebut berkembang secara alami dan tidak memaksakan hasil yang diinginkan.
Meski demikian, Dwi tak menampik punya keinginan agar orang-orang yang telah ditemui bisa membagikan gagasan, program, atau visi-misi yang ia usung kepada komunitas masing-masing.
“Soal kampanye, saya itu lebih suka dengan metode door-to-door. Makanya saya jarang mengundang banyak orang atau mendatangi forum RT/RW. Jadi, saya lebih suka ‘nyekel (pegang)’ orang per orang. Yang saya lihat, komunikasinya jadi lebih enak dan fokus. Tentu menjadi harapan, mereka setelah itu akan mengajak yang lain (untuk memilihnya). Contohnya Pak Ramanto, oh beliau juga punya 35 anggota. Ini kan peluang (memperoleh suara),” ucapnya.
Lebih jauh, Dwi menyatakan komitmen siap mencoba membantu mengatasi setiap persoalan yang dihadapi para penghayat terkait dengan pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara.
"Jika memang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, ya saya akan siap memperjuangkannya. Semisal, soal layanan perubahan identitas kepercayaan di KTP. Kalau memang masih ada kendala, saya dapat membantu berkomunikasi dengan instansi terkait,” ungkap dia.
Secara umum, Dwi membawa misi ingin membantu masyarakat mencapai kesejahteraan ketika maju dalam Pileg DPRD Solo kali ini. Kesejahteraan yang ia maksud yakni masyarakat bisa terpenuhi kebutuhannya.
Diwawancarai terpisah, Ketua DPD PKS Solo Daryono menegaskan, PKS adalah partai berasaskan Islam yang terbuka dan siap menerima siapa saja.
Jadi, terkait ada kader partai yang menangkap suara penghayat kepercayaan, menurutnya, bukan termasuk pelanggaran atau persoalan.
Ia tidak menutup mata bahwa di masyarakat mungkin masih ada pihak yang menganggap PKS sebagai partai politik yang eksklusif. Padahal, Daryono mengatakan, PKS merupakan partai Islam yang membuka diri atau inklusif.
Baca juga: Cerita Penghayat Kepercayaan di Solo: Dianggap Dukun hingga Ingin Bergabung FKUB
“Jadi kadang-kadang ada orang bilang, ‘partai Islam enggak bisa toleransi’. Katanya siapa? Islam itu bahkan paling toleran dalam konteks ketika betul-betul mengaplikasikan nilai-nilai Islam,” terangnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya