SOLO, KOMPAS.com - Menyandang predikat Kota Toleran selama beberapa tahun nyatanya tidak membuat Kota Solo, Jawa Tengah, ramah bagi semua penghuninya, terutama bagi kelompok keberagaman gender. Berikut kisahnya.
Suara Ika, 45, sesekali nanar menceritakan kisah pilunya setahun lalu, ketika berbincang dengan Kompas.com, pertengahan Januari 2024.
Beberapa kali, ia mengambil jeda napas panjang untuk mengenang kasus kekerasan yang dialaminya ketika bekerja menjadi pekerja seks di Kota Solo.
Transpuan yang sejak 2001 bekerja menjadi pekerja seks di Kota Bengawan ini sebenarnya tak ingat lagi sudah berapa kali mengalami diskriminasi, saking seringnya.
Sebelumnya, ia kerap dilecehkan dengan diteriaki banci, atau dilempari batu oleh pengendara sepeda motor yang melintasi tempat ia mangkal.
Tapi puncaknya pada Februari 2023, ia mengalami kekerasan fisik dan menjadi korban perampasan sepeda motor oleh salah satu pelanggan yang menggunakan jasanya.
Saat ditanya kondisinya kini, Ika mengaku masih sering sakit kepala dan merasakan trauma dengan kejadian yang menimpanya.
Namun, lantaran perlu uang untuk biaya hidup sehari-hari, ia akhirnya memberanikan diri kembali “turun” ke jalan dan melakoni pekerjaan lamanya.
“Awalnya aku sudah kurang sreg ya dia mabuk, pasti nanti resek. Tapi ya karena dulu sudah
pernah, akhirnya setelah transaksi aku iyakan saja,” kenang Ika.
Baca juga: Pemilu dan Suara Hati Para Penghayat Kepercayaan...
Ia bercerita, kejadian di salah satu jalan protokol di Kecamatan Jebres dini hari itu bermula setelah ia kelar menjalankan pekerjaannya. Tiba-tiba, pelaku menjambak dan menganiaya Ika berulang kali hingga ia tak sadarkan diri.
Ika sebenarnya sempat berulang kali mencoba melawan. Tapi, perlawanan itu justru semakin menyulut emosi pelaku untuk melakukan kekerasan padanya. Tak mandek di situ, sepeda motor Ika juga dibawa kabur.
“Aku berteriak-teriak, tapi enggak ada yang menolong. Padahal jalanan ya masih ada kendaraan lewat. Entah sudah berapa kali pingsan waktu itu karena badan sudah babak belur enggak karuan,” beber dia.
Dengan sisa-sisa tenaganya, menjelang Subuh, Ika menyeberangi jalan protokol yang berjarak sekitar dua kilometer di utara Balai Kota Solo itu. Ia pun meminta pertolongan di lapak makanan yang masih buka.
Salah satu pembeli warung tersebut polisi. Singkat cerita, Ika dibawa ke RSUD Dr Moewardi Solo untuk mendapatkan perawatan medis. Pelaku pun diproses hukum karena melakukan tindak pidana.
Setelah kondisi fisiknya membaik, Ika mengaku tidak berani lagi mangkal di luar tempat mangkal pekerja seks, karena selalu merasa kawasan di luar wilayah tersebut rawan.
“Aku cuma ingin ke mana-mana bisa benar-benar merasa aman,” pinta dia.
Baca juga: Daftar Kota Paling Toleran dan Intoleran 2023
Kisah lain datang dari Masayu Shinta Aurora (27). Saat ditemui Kompas.com di salah satu warung angkringan di jantung Kota Solo, pada pengujung Desember 2023 lalu, ia tengah duduk di pojokan sembari semringah berbincang bersama empat teman transpuannya.
Masayu terlihat necis. Ia mengenakan setelan kemeja abu-abu pas badan dan celana berwarna senada. Rambut pendeknya disisir rapi, disangga gel rambut yang menjaga penampilannya tetap segar dan apik.
Visualisasi penari sekaligus perias atau make-up artist (MUA) ini kontras dengan tampilannya yang dikenal kenes dengan balutan kebaya modern, rambut disanggul, dan wajah berpoles riasan.
Kala menari di pentas hajatan pernikahan, ia mengaku nyaman sesaat bisa menjadi bintang pertunjukan. Namun begitu turun panggung, ia lagi-lagi kembali menelan pil pahit diskriminasi.
“Orang langsung melihat dengan tatapan enggak kayak orang kebanyakan. Seruan ‘banci’ atau ‘orang mbok yang gagah’ itu sudah biasa. Sering juga dipakai bahan guyonan,” kata dia.
Ketika sebagian orang enteng melontarkan gurauan diskriminatif, Masayu yang merasa sebagai minoritas gender ini biasanya cuma bisa merespons dengan tersenyum kecut.
“Padahal itu bisa membekas sampai bertahun-tahun setelahnya. Tolonglah jangan seperti itu,” pinta Masayu.
Menurut Masayu, diskriminasi yang ia rasakan selama bertahun-tahun sejak masih duduk di bangku sekolah dasar membuat dirinya kerap menghakimi diri sendiri.
“Ada rasa enggak nyaman, sampai di titik takut kalau orang lain enggak menerima kehadiranku,” ujar Masayu.
Saat ditanya keinginannya pada tahun politik, di mana semua orang bisa menitipkan harapan pada perwakilan rakyat sampai presiden terpilih, ia tidak antusias menjawab.
“Rasanya kalau pemilu, suara kami diperlukan. Tapi kami sebenarnya enggak pernah didengarkan,” kata Masayu dengan nada lesu.
Baca juga: 10 Kota Paling Toleran di Indonesia 2023, Ada Singkawang dan Bekasi
Diskriminasi yang menimpa Masayu dan Ika, adalah potret kekerasan verbal sampai fisik dialami kelompok keberagaman gender di kota yang masuk 10 besar kota paling toleran di Indonesia 2023 versi Setara Institute.
Berdasarkan catatan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Solo, tercatat sepanjang 2023, ada 34 laporan diskriminasi terhadap minoritas gender di Kota Bengawan.
Jumlah ini naik 89 persen dibandingkan 2022, yang menurut data, terdapat laporan 18 kasus sejenis. Dari jumlah tersebut, kebanyakan tidak diselesaikan atau tidak diproses hukum (Selengkapnya lihat infografis).
Paralegal OPSI Solo yang fokus mengadvokasi lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) Uwik menyampaikan, banyaknya kasus diskriminasi pada kelompok keberagaman gender menunjukkan kurangnya keberpihakan politik pemerintah daerah.
“Fakta ini berbanding terbalik dengan yang selama ini digembar-gemborkan kalau ini kota toleran. Toleransi tidak berlaku untuk kelompok ini,” kata dia.
Lebih lanjut Uwik membeberkan, praktik intoleransi ini ada yang berupa kekerasan verbal, ekonomi, fisik, pengusiran, digunduli setelah operasi ketertiban umum, atau sosialisasi kesehatan dengan menyebut keberagaman gender ini sebagai penyimpangan.
Padahal, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan, pada poin F66 menyebutkan, orientasi seksual tidak boleh dianggap gangguan atau masalah kesehatan mental.
Uwik menyampaikan, untuk akses pembuatan KTP, pelatihan ketenagakerjaan, obat, atau alat kontrasepsi untuk komunitas keberagaman gender, selama ini pihaknya bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mendampingi kelompok minoritas di Solo biasanya harus ekstra aktif ke pemerintah.
“Karena enggak ada komitmen tertulis, kalau enggak dikejar-kejar ya teman-teman komunitas (LGBT) enggak diberi kesempatan. Rasanya dipinggirkan dibandingkan kelompok minoritas lain,” ujar Uwik.
Ia berharap ke depan predikat kota toleran yang disandang Kota Bengawan tak sebatas jargon, tapi bisa benar-benar inklusif, termasuk bagi kelompok keberagaman gender.
“Kami juga ingin disetarakan, enggak disiul-siul saat di jalan, enggak dipalak, atau sederhananya enggak diusik seperti orang kebanyakan,” kata dia.
Ditanya harapannya pada legislator atau presiden yang kelak terpilih pada pesta demokrasi tahun ini, Uwik menegaskan keseriusan dalam menjalankan komitmen.
“Kami ingin ada komitmen serius. Kalau perlu dalam bentuk komitmen tertulis, bagaimana teman-teman dari keberagaman gender ini juga bisa mendapatkan hak yang sama dengan yang lain, sehingga tidak ada lagi diskriminasi berulang,” harap dia.
Baca juga: Singkawang, Kota Paling Toleran di Indonesia 3 Tahun Berturut-turut
Organisasi Setara Institute for Democracy and Peace, Selasa (30/1/2024), merilis daftar 10 kota paling toleran di Indonesia.
Kota Solo menempati urutan ke 10 dari 94 kota/kabupaten di Tanah Air yang disurvei lembaga tersebut. Peringkat ini merosot enam peringkat dari tahun sebelumnya. Pada 2022 lalu, Kota Bengawan menduduki peringkat keempat.
Ditanya soal penyebab indeks toleransi di Kota Solo yang merosot, Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan tidak menampik, bahwa salah satu ganjalannya berasal dari praktik intoleransi gender.
“Kalau ditakar dalam relasi gender biner (laki-laki dan perempuan), Solo cukup baik dari aspek perlembagaan regulasi (lewat Perda Pengarusutamaan Gender). Tapi kalau dilihat spesifik, Solo belum mengakomodasi keberagaman gender,” jelas Halili.
Lebih lanjut dia menyampaikan, isu gender masuk dalam dua sub-indikator yang dinilai
dalam penyusunan indeks kota toleran, yakni aspek regulasi pemerintah dan regulasi sosial.
Menurutnya, lemahnya pelembagaan toleransi, termasuk toleransi atas keberagaman gender, membuat kota yang sejak 2021 lalu ini disebut toleran berada di urutan paling buncit dari daftar 10 kota paling toleran. (Selengkapnya lihat infografis).
Padahal sebelumnya posisi Kota Solo di tahun 2022 berada di posisi nomor empat. Posisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berada di urutan kesembilan.
“Salah satu penanda penting kelembagaan toleransi adalah tersedianya regulasi, karena regulasi tersebut menjadi dasar bagi penyusunan program dan alokasi anggaran,” kata dia.
Apabila pemerintah daerah tak kunjung berbenah, sambung Halili, tidak menutup kemungkinan Solo bakal tergelincir ke luar dari daftar 10 besar kota paling toleran.
Dikonfirmasi saat menghadiri agenda tahunan simbol toleransi menyambut Imlek Grebeg Sudiro di pelataran Pasar Gede, Solo, Minggu (4/2/204) sore, Wakil Wali Kota Solo Teguh Prakoso mengaku belum mendengar adanya praktik diskriminasi keberagaman gender di wilayahnya.
“Saya malah baru dengar itu,” kata Teguh, saat menghadiri acara bertema Bersatu dalam Kebhinnekaan tersebut.
Untuk memutus mata rantai intoleransi terhadap kelompok minoritas, Teguh menyatakan pihaknya berencana mengusulkan penyusunan raperda anti-diskriminasi.
Terobosan tersebut, ujar Teguh, telah diterapkan di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Sebagai informasi, pemerintah setempat membuat kebijakan toleransi dalam bentuk peraturan daerah, yaitu lewat Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Toleransi Kehidupan Bermasyarakat.
“Perda ini akan berhubungan dengan kehidupan masyarakat yang istilahnya madani, artinya menghargai keberagaman,” ujar dia.
Disinggung apakah raperda tersebut bakal mengakomodasi kelompok keberagaman gender yang selama ini kerap didiskriminasi, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menjawabnya.
“Oh iya. Nanti ada di situ (perda anti-diskriminasi),” janji Teguh.
Baca juga: Ciptakan Lingkungan Pendidikan Toleran, Peran Guru Harus Diperkuat
Direktur Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spekham) Solo Rahayu Purwaningsih mencermati, langgengnya praktik diskriminasi keberagaman gender di Kota Bengawan karena minimnya ruang aman mengadu ke pemerintah.
“Saya kira karena belum ada tempat mengadu ke pemerintah,” jelas perempuan yang akrab disapa Ayu ini, saat ditemui Kompas.com, di kantornya, awal Januari 2024.
Disinggung respons ideal pemerintah daerah dalam mengantisipasi diskriminasi pada minoritas gender, menurut Ayu, pemerintah daerah perlu menjalankan amanat hukum yang berlaku di level internasional maupun nasional. (Selengkapnya lihat infografis)
“Kami (LSM) sedang mendorong agar unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) bisa membantu saat kelompok keberagaman gender ini menghadapi diskriminasi atau kekerasan. Karena belum ada lembaga yang ditunjuk untuk semua jenis kelamin,” tutur Rahayu.
Terpisah, aktivis LGBT dari perkumpulan SuaraKita Hartoyo menyampaikan, diskriminasi pada kelompok keberagaman gender di banyak daerah, termasuk di Solo, terjadi secara sistemik.
“Cara pandang masyarakat selama ini masih memandang LGBT sebagai liyan. Ditambah kebijakan politik yang tidak menempatkan setiap warga negara setara,” jelas dia, saat berbincang dengan Kompas.com, akhir Januari 2024.
Menurut Hartoyo, kondisi tersebut membuat kelompok keberagaman gender, terutama transgender yang secara eksplisit menampilkan ekspresi gendernya, kerap tersisih dari keluarga dan lingkungan.
Imbasnya, sebagian di antaranya kehilangan hak dasar karena tidak nyaman menempuh pendidikan, atau tidak punya catatan kependudukan (KTP, KK, dll.) karena terusir dari rumah yang seharusnya menjadi ruang aman.
Kondisi tersebut dapat melahirkan kemiskinan struktural karena praktik diskriminasi membuat putus sekolah, susah mengakses layanan kesehatan gratis karena tidak punya BPJS Kesehatan, tidak bisa membuka rekening di bank, hingga akses pekerjaan formal yang terbatas.
“Satpol PP yang garang saat operasi penertiban, masyarakat menolak, atau mengusir LGBT dari indekosnya, atau praktik diskriminasi lainnya itu ekses. Itu wajah transfobia. Mereka enggak melihat kenapa banyak transgender yang ngamen atau terjun di prostitusi,” kata dia.
Hartoyo menyampaikan, selama ini banyak politisi, pejabat, atau pemangku kepentingan yang hanya mengakomodasi suara mayoritas yang konservatif demi alasan pragmatis, seperti elektabilitas.
“Homofobia ini sangat politis untuk pencitraan norma. Padahal mungkin ada persoalan mendasar yang tidak bisa diselesaikan. Kemiskinan yang sulit diatasi misalkan,” ujar dia.
Demi membangun iklim inklusif dan tidak diskriminatif, Hartoyo menyarankan pemerintah daerah perlu berani membuat kebijakan progresif yang konkret untuk keberagaman gender.
“Kalau warga negara minimal tamat SMA, ya bikin semua orang tamat SMA. Data, lalu bikin kejar paket untuk yang belum semuanya. Bikin student loan tanpa bunga buat kuliah. Berikan kemudahan bikin KTP. Kasih perlindungan sosial. Latih kewirausahaan, koperasi, dll.,” terangnya.
Dengan menerapkan kebijakan untuk semua warga tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, atau gender di atas, menurut Hartoyo pemerintah sudah selangkah lebih inklusif.
“Kebijakan konkret lewat pendekatan ekonomi, sosial, budaya tanpa memandang identitas ini penting agar kebijakan politik seperti perda anti-diskriminasi tidak sebatas jargon,” tegas Hartoyo.
Baca juga: Setengah Hati Memenuhi Hak Pilih Penyandang Disabilitas Intelektual (I)
Sekretaris Umum Arus Pelangi, organisasi yang bergerak mendukung hak-hak kelompok LGBT Echa Waode menyampaikan, untuk memutus mata rantai diskriminasi gender, pemangku kepentingan publik perlu lebih melek hak asasi manusia (HAM).
“Perspektif HAM harus selesai dulu, tanpa memandang identitas seseorang,” kata Echa, saat berbincang lewat sambungan telepon, Minggu (4/2/2024).
“Teman-teman LGBT ini juga bayar pajak, lho. Saat makan atau belanja, mereka bayar pajak. Jadi juga berhak mendapat perlakuan sama. Selama tidak melakukan tindak kriminal, biarkan mereka berekspresi. Berikan rasa aman, akses kesehatan, pendidikan, ekonomi, dll,” ungkap dia.
Apabila pemerintah tinggal diam atau justru menjadi pelaku diskriminasi terhadap identitas tertentu, Echa berpendapat dalam masyarakat bisa tumbuh iklim yang tidak inklusif atau intoleran.
Menurut Echa yang organisasinya telah merintis penyusunan RUU Anti-diskriminasi sejak 2017, kelompok keberagaman gender yang merasakan diskriminasi pantang diam dan dianjurkan untuk melapor kepada paralegal, LSM, atau aparat setempat.
Jika tidak memungkinkan, Echa juga menyarankan alternatif bagi korban diskriminasi gender, untuk mengunggah kasusnya di media sosial.
“Teman-teman perlu kesadaran kritis bahwa pelaporan ini penting. Gunanya untuk dokumentasi kasus. Nantinya bisa jadi bahan advokasi ke pemerintah,” pesan dia.
Dihubungi terpisah, pakar hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengingatkan, tugas negara lewat pemerintah daerah untuk tidak menutup mata dengan problem diskriminasi terhadap keberagaman gender.
“Kalau ada praktik diskriminasi, pemerintah harus turun memberikan perlindungan bagi setiap orang,” kata dia dengan tegas, Minggu (4/2/2024).
Sependapat dengan Hartoyo, Bivitri juga menyebutkan pentingnya langkah konkret pemerintah dalam melindungi kelompok rentan untuk memutus mata rantai diskriminasi tersebut.
Senada dengan Echa, sebelum melangkah ke aspek legal untuk melindungi kelompok minoritas gender seperti wacana perda anti-diskriminasi, Bivitri berpendapat pemerintah daerah perlu lebih melek HAM dan paham konsep kesetaraan.
“Mau ada 1.000 undang-undang atau peraturan daerah, kalau orang masih punya bias, maka diskriminasi bisa selalu terjadi,” tuntas Bivitri.
Baca juga: Setengah Hati Memenuhi Hak Pilih Penyandang Disabilitas Intelektual (II)
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya