Jumlah ini naik 89 persen dibandingkan 2022, yang menurut data, terdapat laporan 18 kasus sejenis. Dari jumlah tersebut, kebanyakan tidak diselesaikan atau tidak diproses hukum (Selengkapnya lihat infografis).
Paralegal OPSI Solo yang fokus mengadvokasi lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) Uwik menyampaikan, banyaknya kasus diskriminasi pada kelompok keberagaman gender menunjukkan kurangnya keberpihakan politik pemerintah daerah.
“Fakta ini berbanding terbalik dengan yang selama ini digembar-gemborkan kalau ini kota toleran. Toleransi tidak berlaku untuk kelompok ini,” kata dia.
Lebih lanjut Uwik membeberkan, praktik intoleransi ini ada yang berupa kekerasan verbal, ekonomi, fisik, pengusiran, digunduli setelah operasi ketertiban umum, atau sosialisasi kesehatan dengan menyebut keberagaman gender ini sebagai penyimpangan.
Padahal, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan, pada poin F66 menyebutkan, orientasi seksual tidak boleh dianggap gangguan atau masalah kesehatan mental.
Uwik menyampaikan, untuk akses pembuatan KTP, pelatihan ketenagakerjaan, obat, atau alat kontrasepsi untuk komunitas keberagaman gender, selama ini pihaknya bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mendampingi kelompok minoritas di Solo biasanya harus ekstra aktif ke pemerintah.
“Karena enggak ada komitmen tertulis, kalau enggak dikejar-kejar ya teman-teman komunitas (LGBT) enggak diberi kesempatan. Rasanya dipinggirkan dibandingkan kelompok minoritas lain,” ujar Uwik.
Ia berharap ke depan predikat kota toleran yang disandang Kota Bengawan tak sebatas jargon, tapi bisa benar-benar inklusif, termasuk bagi kelompok keberagaman gender.
“Kami juga ingin disetarakan, enggak disiul-siul saat di jalan, enggak dipalak, atau sederhananya enggak diusik seperti orang kebanyakan,” kata dia.
Ditanya harapannya pada legislator atau presiden yang kelak terpilih pada pesta demokrasi tahun ini, Uwik menegaskan keseriusan dalam menjalankan komitmen.
“Kami ingin ada komitmen serius. Kalau perlu dalam bentuk komitmen tertulis, bagaimana teman-teman dari keberagaman gender ini juga bisa mendapatkan hak yang sama dengan yang lain, sehingga tidak ada lagi diskriminasi berulang,” harap dia.
Baca juga: Singkawang, Kota Paling Toleran di Indonesia 3 Tahun Berturut-turut
Organisasi Setara Institute for Democracy and Peace, Selasa (30/1/2024), merilis daftar 10 kota paling toleran di Indonesia.
Kota Solo menempati urutan ke 10 dari 94 kota/kabupaten di Tanah Air yang disurvei lembaga tersebut. Peringkat ini merosot enam peringkat dari tahun sebelumnya. Pada 2022 lalu, Kota Bengawan menduduki peringkat keempat.
Ditanya soal penyebab indeks toleransi di Kota Solo yang merosot, Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan tidak menampik, bahwa salah satu ganjalannya berasal dari praktik intoleransi gender.
“Kalau ditakar dalam relasi gender biner (laki-laki dan perempuan), Solo cukup baik dari aspek perlembagaan regulasi (lewat Perda Pengarusutamaan Gender). Tapi kalau dilihat spesifik, Solo belum mengakomodasi keberagaman gender,” jelas Halili.
Lebih lanjut dia menyampaikan, isu gender masuk dalam dua sub-indikator yang dinilai
dalam penyusunan indeks kota toleran, yakni aspek regulasi pemerintah dan regulasi sosial.
Menurutnya, lemahnya pelembagaan toleransi, termasuk toleransi atas keberagaman gender, membuat kota yang sejak 2021 lalu ini disebut toleran berada di urutan paling buncit dari daftar 10 kota paling toleran. (Selengkapnya lihat infografis).
Padahal sebelumnya posisi Kota Solo di tahun 2022 berada di posisi nomor empat. Posisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berada di urutan kesembilan.
“Salah satu penanda penting kelembagaan toleransi adalah tersedianya regulasi, karena regulasi tersebut menjadi dasar bagi penyusunan program dan alokasi anggaran,” kata dia.
Apabila pemerintah daerah tak kunjung berbenah, sambung Halili, tidak menutup kemungkinan Solo bakal tergelincir ke luar dari daftar 10 besar kota paling toleran.
Dikonfirmasi saat menghadiri agenda tahunan simbol toleransi menyambut Imlek Grebeg Sudiro di pelataran Pasar Gede, Solo, Minggu (4/2/204) sore, Wakil Wali Kota Solo Teguh Prakoso mengaku belum mendengar adanya praktik diskriminasi keberagaman gender di wilayahnya.
“Saya malah baru dengar itu,” kata Teguh, saat menghadiri acara bertema Bersatu dalam Kebhinnekaan tersebut.
Untuk memutus mata rantai intoleransi terhadap kelompok minoritas, Teguh menyatakan pihaknya berencana mengusulkan penyusunan raperda anti-diskriminasi.
Terobosan tersebut, ujar Teguh, telah diterapkan di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Sebagai informasi, pemerintah setempat membuat kebijakan toleransi dalam bentuk peraturan daerah, yaitu lewat Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Toleransi Kehidupan Bermasyarakat.
“Perda ini akan berhubungan dengan kehidupan masyarakat yang istilahnya madani, artinya menghargai keberagaman,” ujar dia.
Disinggung apakah raperda tersebut bakal mengakomodasi kelompok keberagaman gender yang selama ini kerap didiskriminasi, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menjawabnya.
“Oh iya. Nanti ada di situ (perda anti-diskriminasi),” janji Teguh.
Baca juga: Ciptakan Lingkungan Pendidikan Toleran, Peran Guru Harus Diperkuat
Direktur Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spekham) Solo Rahayu Purwaningsih mencermati, langgengnya praktik diskriminasi keberagaman gender di Kota Bengawan karena minimnya ruang aman mengadu ke pemerintah.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya