Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mata Garuda Banten
Perkumpulan Alumni Beasiswa LPDP di Provinsi Banten

Perkumpulan alumni dan awardee beasiswa LPDP di Provinsi Banten. Kolaborasi cerdas menuju Indonesia emas 2045.

Perubahan Iklim, Fisika, dan Darurat Fikih Lingkungan

Kompas.com - 28/02/2024, 15:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Yasir Arafat, S.Si., M.Si.*

MASJID itu kini tak lagi digunakan warga untuk beribadah. Bangunannya telah hancur terendam dan terus-menerus dihantam gelombang lautan. Bagian yang tersisa hanya dinding lapuk dan atap yang tak lagi berkubah.

Sayangnya, ini bukan cuplikan film azab atau kisah fiksi apokalips akhir zaman. Ini adalah fakta empiris kondisi terkini yang dapat diamati di Penjaringan, Jakarta Utara.

Masjid Waladuna di Muara Baru itu tenggelam disebabkan naiknya permukaan laut seiring dengan terjadinya amblesan tanah (land subsidence) di sepanjang kawasan pesisir ibu kota.

Para ahli mencatat dalam empat dekade terakhir, laju penurunan muka tanah di Jakarta sebesar 15 cm per tahun.

Sementara itu, kenaikan permukaan air laut di berbagai belahan dunia rata-rata telah mencapai 20 cm.

Kondisi itu disebabkan mencairnya es di kutub dan memuainya perairan samudera (ocean water expansion) sebagai dampak dari pemanasan global.

Pada tahun 2023, suhu bumi naik 1,4 derajat celcius atau mendekati proyeksi 1,5 derajat pada tahun 2100.

Fakta perubahan iklim telah memiliki legitimasi ilmiah yang sangat kuat dari berbagai disiplin, terutama fisika.

Dalam artikelnya berjudul “Climate Change is Physics” (2022), Gabriele C. Hegerl, seorang pakar geosains dari University of Edinburgh menegaskan bahwa pertanyaan ‘apakah Anda percaya pada pemanasan global?’ akhirnya menjadi meaningless, tidak relevan, alias ketinggalan zaman.

Peneguhan prinsip science-based policy terhadap isu megatrend ini mendapatkan momentumnya ketika Nobel Fisika tahun 2021 dianugerahkan kepada saintis yang sumbangsih keilmuannya mengenai perubahan iklim.

Syukuro Manabe dan Klaus Hasselmann, dua orang klimatolog diberi penghargaan bergengsi tersebut berkat keberhasilan mereka dalam melakukan pemodelan numerik terhadap dinamika fluida pada lapisan atmosfer dan laut sehingga mampu mengukur variabilitas dan memprediksi pemanasan global yang sangat kompleks.

Ini adalah penghargaan nobel fisika pertama dalam sejarah yang disematkan kepada ilmuwan iklim.

Dua abad yang lalu, ilmuwan telah mulai memperhatikan fenomena perubahan iklim yang dikembangkan dari Teori Fisika Iklim.

Atensi ilmuwan terhadap climate change dirintis oleh Joseph Fourier, seorang fisikawan dan matematikawan Perancis pada 1827.

Fourier seakan-akan mendapatkan “nubuwah saintifik” ketika menangkap tanda-tanda bumi yang terasa lebih hangat, lalu muncul gagasan awal dari apa yang sekarang dikenal sebagai “Efek Rumah Kaca”.

Konsep ERK dibuktikan di laboratorium oleh John Tyndall pada 1861, dan dipublikasikan pertama kali pada 1901 oleh Nils Gustaf Ekholm.

Setengah abad berikutnya, pada 1956 seorang fisikawan dari Kanada, Gilbert Plass secara akurat sukses menghitung “radiative forcing” (dinyatakan dalam watt/m2) yang merepresentasikan ketidakseimbangan energi di atmosfer.

Dalam buku “The Physics of Climate Change”, Lawrence M. Krauss (2021) menyatakan bahwa radiative forcing menjadi tool standar bagi ilmuwan untuk mengukur perubahan penyerapan sinar inframerah di atmosfer dan pengaruhnya terhadap keseimbangan antara energi radiasi matahari yang masuk dan radiasi yang keluar dari bumi.

Manabe dan Hasselmann melanjutkan legacy yang telah didedikasikan oleh pendahulu mereka. Pada 1960, dia menjadi orang pertama yang mempelajari bagaimana keseimbangan energi yang diserap dan dipancarkan bumi, berinteraksi dengan massa udara yang bergerak secara vertikal di lapisan atmosfer.

Satu dasawarsa berikutnya, Hasselmann menciptakan model yang menghubungkan iklim dan cuaca, serta mengidentifikasi sinyal dan jejak yang dihasilkan oleh fenomena alam dan aktivitas manusia dalam data iklim.

Teknik inilah yang digunakan untuk membuktikan bahwa peningkatan temperatur atmosfer merupakan akibat dari emisi karbon yang dihasilkan oleh manusia.

Di antara penjelasan para fisikawan tersebut, satu hal yang mendasar bahwa sirkulasi radiasi panas di udara tetap patuh pada Hukum Termodinamika Kedua.

Bumi dapat dipandang sebagai heat engine raksasa yang menggerakkan sirkulasi udara di atmosfer, sebagaimana pendekatan Mesin Carnot pada model termodinamika sederhana.

Pertanyaan berikutnya ialah bagaimana menekan laju entropi yang terus meningkat akibat global warming agar tetap sustain demi keberlangsungan hidup umat manusia. Di situlah letak krusial serta kondisi darurat yang perlu diperhatikan penduduk planet ini.

Masalahnya, pembuktian ilmiah akan kebenaran perubahan iklim belum cukup diterima oleh sebagian orang.

Kesadaran kolektif terhadap urgensi dari permasalahan iklim perlu didekati dari pendekatan lain, yaitu dari sisi moral spiritual atau nilai-nilai agama.

Menurut Emile Durkheim (1995), sebagai sistem sosial, agama dipandang sebagai sistem nilai yang berperan dalam memberikan kontrol sosial. Agama menjadi basis nilai moralitas yang membuat masyarakat bisa berfungsi dan menghindari chaos.

Pada gilirannya, agama memenuhi kebutuhan riil masyarakat dan kemudian mampu mengonversi nilai ketuhanan menjadi kemaslahatan universal.

Dalam konteks Indonesia dengan mayoritas Muslim, umat Islam seharusnya menyadari bahwa mereka menjadi bagian dari entitas penduduk bumi yang sangat terdampak krisis lingkungan.

Naiknya air rob di kota-kota pesisir di Indonesia dan banjir yang menghajar negara-negara seperti Bangladesh adalah contoh dari betapa dirugikannya umat Islam akibat alam yang semakin tidak kondusif.

Termasuk kekeringan di negara-negara sub Sahara, serta konflik akibat perebutan sumber daya alam dan krisis air di negara-negara timur tengah.

Beberapa penyelidikan mengungkap bahwa dalam konflik Palestina-Israel ada yang terkait dengan global warming. Terdapat alasan lingkungan yang membuat Israel bersikukuh memperebutkan daratan tinggi Golan karena terkait suplai air baku di kawasan itu.

Di Afrika, perang saudara di Darfur yang meletus dua dekade silam juga dipicu perubahan iklim sehingga oleh pengamat disebut sebagai "the first climate change conflict".

Contoh lain krisis kemanusiaan di Rakhine, Myanmar yang menimpa etnis muslim Rohingya. Hasil investigasi menguak adanya permasalahan keadilan lingkungan (environmental justice) yang pada akhirnya memaksa etnis Rohingya terusir dari tempat tinggalnya.

Sesuai dengan karakter agama yang universal dan moderat, Islam memiliki perspektif sendiri dalam melihat lingkungan.

Perhatian seorang Muslim terhadap lingkungan berangkat dari pesan teologis dari Al Qur’an surat Ar Rum ayat 41, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia”.

Begitu pula tuntunan Nabi Muhammad SAW tentang bagaimana umat Islam seharusnya menjadi pihak yang terdepan dalam urusan lingkungan.

Beliau pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menetapkan daerah Naqi’ sebagai daerah konservasi, begitu pula Umar menetapkan daerah Saraf dan Rabazah sebagai daerah konservasi”.

Para ulama dan komunitas Muslim modern telah merumuskan konsep Fikih Lingkungan (Fiqhul Bi’ah), yakni ketentuan-ketentuan Islam tentang prilaku manusia terhadap lingkungan hidup dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan.

Dalam bukunya berjudul Ri’ayatul Bi’ah fi Syari’atil Islam (diterjemahkan dengan judul ‘Islam Agama Ramah Lingkungan’), Syaikh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa sesungguhnya Islam sangat concern terhadap isu lingkungan hidup.

Secara normatif, pemeliharaan lingkungan dalam perspektif Islam berada pada kerangka 5 khazanah ilmu, di antaranya ilmu etika atau tasawuf yang kemudian melahirkan konsep etika lingkungan.

Mengenai etika lingkungan, pada 2010 seorang aktivis lingkungan asal Amerika Serikat, Ibrahim Abdul-Matin meluncurkan buku “Green Deen: What Islam Teaches about Protecting the Planet”.

Dalam formulasi “Agama Hijau” yang digali dari tafsir ekologi, terdapat enam prinsip: tauhid, ayat, khalifah, amanah, adil, dan mizan (keseimbangan).

Prinsip tauhid (understanding the oneness of God and his creation) menjelaskan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Dialah yang menciptakan sekaligus memelihara dan mengatur tatanan alam semesta.

Lalu prinsip ayat (seeing signs of God everywhere) menegaskan bahwa segala penciptaan di alam raya ini merupakan tanda adanya Tuhan beserta kebesaran-Nya.

Sedangkan prinsip khalifah (being a steward of the earth) dan prinsip amanah (honoring the trust we have with God) merupakan prinsip yang saling berkaitan, menekankan bahwa manusia sebagai ciptaan Allah yang menjadi wakil-Nya di bumi (khalifah) menanggung tugas inti dalam menjaga keberlanjutan dalam membangun peradaban di muka bumi.

Terakhir prinsip adil (moving towards justice) dan mizan (living in balance with nature) menjadi pilar terhadap perspektif Green Deen bahwa adanya keadilan atau perilaku tidak zalim dapat membuat alam lebih harmonis dan lestari.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan saat ini adalah perbuatan nyata. Penjelasan ilmiah yang terang benderang dan acuan kredibel dari teks kitab suci telah diuraikan.

Para pendakwah harus mulai membawa tema climate change ke forum-forum pengajian atau bahkan melalui mimbar khutbah.

Umat beragama didorong untuk menjalankan praktik baik yang ramah lingkungan. Dimulai dari hal-hal kecil seperti menghemat penggunaan air wudhu dan mendaur ulangnya untuk pembuangan kloset toilet, menanam pohon di area pusat kegiatan keagamaan, hingga mengondisikan rumah ibadah agar hemat energi.

Sedekah lingkungan juga bisa didorong sebagai ragam baru dalam penganggaran dari hasil pengumpulan dana umat.

Selain yang tak kalah penting, perlunya menjalin kolaborasi dengan berbagai elemen sehingga persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) menjadi landasan penting dalam bergerak untuk menyikapi krisis iklim.

*Pusat Analisis Kebijakan dan Kinerja, Kementerian PPN/Bappenas

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com