KOMPAS.com - Pekan ini, Dubai Uni Emirat Arab (UEA) dan Oman diterjang banjir bandang yang menyita perhatian internasional.
Berbagai pihak mempertanyakan, mengapa dua negara di padang pasir ini bisa dilanda cuaca ekstrem berupa badai dan hujan lebat hingga memicu banjir bandang.
Banjir awalnya melanda Oman pada Minggu (14/4/2024). Beberapa hari kemudian Dubai diterjang air bah pada Selasa (16/4/2024).
Baca juga: Terjebak Banjir Terparah dalam 75 Tahun di Dubai, Anang Hermansyah Belum Bisa Kembali ke Indonesia
Kedua negara lumpuh seketika akibat bencana tersebut. Air bah menggenangi jalan raya, permukiman, menyebabkan kemacetan lalu lintas, dan mengurung orang-orang di rumah.
Banjir bandang di UAE juga memutus aliran listrik dan menyebabkan gangguan besar pada penerbangan karena landasan pacu tenggelam oleh air.
Banjir bandang di kedua negara tersebut menjadi lebih parah karena kurangnya sistem drainase untuk mengatasi hujan lebat.
Di Oman, 20 orang dilaporkan tewas. Sedangkan di UEA satu orang meninggal, sebagaimana dilansir Reuters.
Baca juga: Dubai Banjir, KJRI Berikan Bantuan ke WNI yang Terjebak di Bandara
Terletak di wilayah gurun pasir dengan iklim kering, UEA dan wilayah lain di Semenanjung Arab sangat jarang diguyur hujan.
Untuk mengatasi kekeringan, Reuters melaporkan UAE sering melakukan penyemaian awan atau cloud seeding untuk menghasilkan hujan.
Cloud seeding adalah metode untuk meningkatkan curah hujan dengan cara menaburkan mineral tertentu ke awan.
Di Semenanjung Arab, UEA menjadi negara pepolor cloud seeding sebagai upaya menciptakan awan dan meningkatkan curah hujan.
Baca juga: Terkenal Gersang, Mengapa Dubai Bisa Dilanda Banjir Besar?
Setelah air bah menerjang dua negara tersebut, muncul pertanyaan apakah cloud seeding memicu cuaca ekstrem hingga memicu banjir bandang?
Pusat Meteorologi Nasional UEA lantas mengatakan kepada Reuters, tidak ada penerapan cloud seeding sebelum cuaca ekstrem terjadi.
Friederike Otto, dosen senior ilmu iklim di Imperial College London, mengatakan, cloud seeding tidak akan mungkin bisa menciptakan cuaca ekstrem karena metode tersebut tidak bisa menciptakan awan dari ketiadaan.
"(Cloud seeding) mendorong air yang sudah ada di langit mengembun lebih cepat dan menjatuhkan air di tempat-tempat tertentu. Jadi pertama-tama, Anda memerlukan kelembapan. Tanpanya, tidak akan ada awan," ucap Otto.
Baca juga: Banjir Dubai, Kemenlu Sebut Tak Ada WNI Jadi Korban
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya