Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Belajar dari Musibah Tanah Longsor di Tana Toraja

Kompas.com, 18 April 2024, 14:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM Kolom di Kompas.com berjudul “Intensitas Hujan Tinggi sebagai Kambing Hitam Bencana” (7/03/2023), saya mencoba menjelaskan bahwa bencana hidrometeorogi tanah longsor dan banjir banding terjadi bukan semata-mata karena intensitas hujan tinggi.

Bencana tersebut juga terjadi karena faktor buruknya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), pengelolaan drainase yang kurang maksimal, dan kebijakan penataan ruang yang kurang tegas.

Saya sependapat bahwa kasus tanah longsor di Kabupaten Tanah Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan yang menelan korban 20 orang meninggal dan ambrolnya jalan tol Bocimi yang menghubungkan antara Jakarta-Bogor dan Sukabumi, akibat tingginya intensitas hujan.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bahwa curah hujan harian yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia mencapai puncaknya dalam kategori intensitas hujan tinggi. Bahkan ada daerah yang curah hujannya melampaui 300 mm.

Intensitas hujan tinggi

Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dalam satuan waktu tertentu. Ketika intensitas tinggi, maka berarti hujan lebat.

Intensitas juga dapat menjadi dasar untuk memperkirakan efek hujan seperti banjir, tanah longsor, dan pengaruhnya terhadap makhluk hidup.

Curah hujan merupakan jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm) di atas permukaan horizontal.

Normal curah hujan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah (0 – 100 mm), menengah ( 100 – 300 mm), tinggi (300 – 500 mm), dan sangat tinggi (>500 mm).

Dalam kasus Bocimi maupun Tanah Toraja, nampaknya jenis dan tekstur tanahnya merupakan tanah labil yang banyak mengandung pasir dibanding tanah liatnya.

Dalam kasus curah hujan yang intensitasnya normal (rendah dan menengah), tanah labil semacam ini masih mampu menginfiltrasi air hujan yang masuk kedalam tanah secara bertahap dan mengalir dalam sungai dan anak-anak sungai yang ada.

Beda masalahnya, apabila tanah labil ini digujur hujan dengan intesitas tinggi, sudah barang tentu kemampuan menginfiltrasi air kedalam tanah tidak seimbang dengan volume air hujan yang ada.

Akibatnya tanah-tanah labil mengalami kejenuhan air di atas batas toleransi dari kemampuan tanah menginfiltrasi air. Pada akhirnya jebol menjadi tanah longsor yang meluncur kedaerah-daerah lebih rendah.

Kasus Tanah Toraja

Di samping faktor curah hujan tinggi dan tanahnya jenuh, topografi daerah Kabupaten Toraja pada umumnya berbukit-bukit dan bergunung-gunung.

Dalam dialog di Metro TV, 15 April 2024 lalu, Wakil Bupati Tana Toraja Zadrak Tombeg menjelaskan bahwa 19 Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Tana Toraja topografi berbukit-bukit dan bergunung-gunung dan rawan terhadap bencana tanah longsor apabila terjadi hujan yang berlangsung terus menerus.

Pertanyaannya adalah kemiringan bentang lahan itu dinyatakan derajat atau persen?

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
KLH Serahkan Dokumen National Adaptation Plan di COP30
KLH Serahkan Dokumen National Adaptation Plan di COP30
Pemerintah
COP30: Perlindungan Masyarakat Adat, Jawaban Nyata untuk Krisis Iklim
COP30: Perlindungan Masyarakat Adat, Jawaban Nyata untuk Krisis Iklim
LSM/Figur
Menjaga Lawu di Tengah Ambisi Geothermal
Menjaga Lawu di Tengah Ambisi Geothermal
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem, WBN Reklamasi 84,86 Hektare Lahan Bekas Tambang di Weda
Pulihkan Ekosistem, WBN Reklamasi 84,86 Hektare Lahan Bekas Tambang di Weda
Swasta
IWIP Percepat Transisi Energi Lewat Proyek PLTS dan PLTB di Weda Bay
IWIP Percepat Transisi Energi Lewat Proyek PLTS dan PLTB di Weda Bay
Swasta
Bapeten Musnahkan 5,7 Ton Udang Ekspor yang Terkontaminasi Cesium-137
Bapeten Musnahkan 5,7 Ton Udang Ekspor yang Terkontaminasi Cesium-137
Pemerintah
IESR: Revisi Perpres 112 Tahun 2022 Ancam Target Transisi Energi
IESR: Revisi Perpres 112 Tahun 2022 Ancam Target Transisi Energi
LSM/Figur
8 Juta Anak Indonesia Memiliki Darah Mengandung Timbal Melebihi Batas WHO
8 Juta Anak Indonesia Memiliki Darah Mengandung Timbal Melebihi Batas WHO
Pemerintah
Bobibos Diklaim Lebih Ramah Lingkungan, Ini Penjelasan BRIN
Bobibos Diklaim Lebih Ramah Lingkungan, Ini Penjelasan BRIN
LSM/Figur
IWIP Libatkan UMKM dalam Rantai Pasok Industri, Nilai Kerja Sama Tembus Rp 4,4 Triliun
IWIP Libatkan UMKM dalam Rantai Pasok Industri, Nilai Kerja Sama Tembus Rp 4,4 Triliun
Swasta
Celios: Pembatasan Izin Smelter Harus Disertai Regulasi dan Peta Dekarbonisasi
Celios: Pembatasan Izin Smelter Harus Disertai Regulasi dan Peta Dekarbonisasi
Pemerintah
COP30 Buka Peluang RI Dapatkan Dana Proyek PLTS 100 GW
COP30 Buka Peluang RI Dapatkan Dana Proyek PLTS 100 GW
Pemerintah
Kemenhut: 6.000 ha TN Kerinci Seblat Dirambah, Satu Orang Jadi Tersangka
Kemenhut: 6.000 ha TN Kerinci Seblat Dirambah, Satu Orang Jadi Tersangka
Pemerintah
Masa Depan Keberlanjutan Sawit RI di Tengah Regulasi Anti Deforestasi UE dan Tekanan dari AS
Masa Depan Keberlanjutan Sawit RI di Tengah Regulasi Anti Deforestasi UE dan Tekanan dari AS
Swasta
Negara di COP30 Sepakati Deklarasi Memerangi Disinformasi
Negara di COP30 Sepakati Deklarasi Memerangi Disinformasi
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau